Listed Articles Editor's Choice

Nyaringnya Penjualan Album Langsung

Nyaringnya Penjualan Album Langsung

Cinta Laura sungguh beruntung. Album lagu perdananya, Uang Atau Cinta, hanya dua minggu setelah rilis, laku 125 ribu kopi pada Februari 2010. Kini, lagu yang mengusung genre electro pop dan didominasi irama energik dan nge-beat itu sudah terjual sekitar 1 juta kopi melalui jaringan 400 resto cepat saji KFC. Dengan keberhasilan itu, Cinta diganjar 12 Platinum Award. Belum pernah ada angka penjualan sebesar itu dalam empat tahun terakhir, laku 40 ribu keping CD saja sudah hebat.

“Semua ini berkat KFC & Sony Music. Jika nggak ada KFC, mungkin CD aku nggak akan terjual hingga segitu,” ujar artis cantik keturunan Indo-Jerman itu. Selain meraih penjualan fantastis, single Cinta ini juga dipakai untuk kompetisi dance program SCTV yang bertajuk KFC Ayo Ngedance Bareng Cinta Laura.

Strategi penjualan album secara langsung (direct selling) tidak hanya milik Cinta. Ibarat suara sang penyanyi yang nyaring, penjualan langsung juga nyaring laju bisnisnya. Beberapa penyanyi lain juga melakukan. Contohnya, grup band Gigi, yang menggandeng hypermarket Carrefour; Gita Gutawa, bekerja sama dengan Bank Bukopin; Sherina, bermitra dengan Indosat; dan grup Yovie & Nuno, merangkul Bank Mandiri.

Mengapa strategi direct selling kini banyak dilirik?

Ya, sulitnya memberantas pembajakan kaset dan CD justru mendorong pelaku industri musik lebih kreatif. Penjualan album lewat channel alternatif makin diminati. Sebelumnya, pemasaran ring back tone (RBT) banyak dilakukan, sedangkan kini pilihannya bertambah lagi dengan sistem penjualan langsung.

Munculnya fenomena penjualan langsung dianggap Bens Leo sebagai respons atas tren anjloknya penjualan kepingan CD akibat pembajakan. “Bayangkan, selama 2009 penjualan CD dengan stiker lunas pajak hanya 15 juta keping,” ujar pengamat industri musik itu, prihatin. Jadi, ketika album Cinta terjual sekitar 700 ribu kopi, itu memberikan kontribusi signifikan. Sebagai gambaran, penjualan kaset dan CD tertinggi terjadi tahun 2000-05. Lihat saja, saat itu lagu Bintang di Surga milik Peterpan mampu terjual lebih dari 2 juta keping. Dan penjualan tertinggi dicapai oleh album band rock Zamrud yang mencetak rekor 2,4 juta keping. Setelah itu, menurut Bens, tidak ada lagi penjualan kaset dan CD yang mencapai angka dahsyat.

Akibat penurunan tersebut, label musik mencari jalan lain untuk menutupi arus kas pengeluaran. “Itulah mengapa ada band yang keluar dari label karena pihak label kesulitan menutupi cash flow yang berdampak bagi promosi band atau penyanyi tersebut,” ungkap Bens.

Di luar negeri penjualan album secara langsung sudah lama dilakukan. Namun, mereka tetap mengandalkan penjualan melalui toko-toko musik. Nah, karakter konsumen Indonesia berbeda. Buktinya, pelaku indsutri musik kita tidak bisa hanya mengandalkan penjualan konvensional melalui toko musik. Ini dipengaruhi rendahnya daya beli lantaran adanya pajak sebesar 20%-25% yang dikenakan manajemen toko pada setiap penjualan keping CD. Intinya, melalui penjualan langsung, margin yang didapat artis akan lebih besar.

Di sisi lain, pengunduhan RBT melonjak tajam selama tiga tahun terakhir. Akan tetapi, bagi penyanyi, RBT tidak menunjukkan apresiasi terhadap kerja keras mereka membuat lagu. Mengapa? “Penghasilan dari potongan lagu RBT yang hanya 30-40 detik itu tidak lebih berharga jika dibandingkan penjualan CD,” kata Bens. Dia mencontohkan kasus pengunduhan RBT band Wali yang mencetak rekor tertinggi, kondisinya justru tidak sebaik jika sukses menjual CD.

Bagi PT Sony Music Entertainment Indonesia (SMEI), menjalankan program pemasaran direct selling bukanlah hal yang baru. Tahun ini, selain Cinta Laura, juga ada Gita Gutawa yang bekerja sama dengan Bank Bukopin dalam promosi album religi Balada Shalawat. “Penjualan album langsung ke pasar yang dituju terbukti membuahkan hasil yang memuaskan,” kata Muhammad Soufan, Marketing Associate Director Sony Music. Maraknya pembajakan mendorong label melakukan pemasaran yang lebih serius. “Pemasaran yang serius adalah pemasaran 360 derajat atas sebuah materi musik secara digital, fisik, endorsement dan pertunjukan,” kata pria yang kerap disapa Munna itu.

Menurut Munna, pemasaran 360 derajat yang dimaksudkan adalah menjadikan Gita sebagai talent produk tabungan Siaga Bukopin tahun 2008. Pola kerja samanya, Bukopin membeli sejumlah CD dan memberikan CD tersebut secara gratis kepada nasabah yang telah membuka rekening minimal Rp 1 juta. Secara digital, SMEI dan Bukopin berbagi keuntungan atas teraktivasinya setiap RBT Gita. Itu semua dicantumkan dalam setiap material promosi Bukopin yang ditayangkan. Kadang-kadang Bukopin mengundang Gita untuk show di berbagai acara yang digelar untuk nasabah.

Metode penjualan langsung menguntungkan semua pihak. Produsen mendapatkan banyak wadah untuk branding dan bounding. Pihak SMEI, misalnya, memperoleh lebih dari satu pintu income, yaitu management fee dari artis, penjualan fisik CD, digital dan show. Si artis pun mendapatkan bagian keuntungan lebih gede dari penjualan langsung. “Sebelumnya kami juga menjalankan sistem penjualan langsung untuk artis naungan Sony Music, seperti Glee, Sheila On 7, Yovie & Nuno, Glenn Fredly,” ucap Munna menambahkan.

Keberhasilan direct selling akan diulang kembali oleh SMEI. Direncanakan, pada akhir November ini SMEI bersinergi dengan sebuah produk pengharum tubuh. Pola kerja samanya sangat mirip dengan Bukopin. Ide tercetus dari pihak produsen setelah melakukan focus group discussion. Hasilnya, Gita Gutawa tidak hanya talent, tetapi juga pantas mewakili produk tersebut sebagai duta mereknya dengan kontrak tiga tahun.

Melihat situasi yang berkembang, strategi direct selling di jalur musik ini tampaknya akan semakin mewarnai industri musik. Laiknya industri kreatif, inilah jalan bila tidak ingin melongo menyaksikan produk yang terus dibajak.

Reportase: Rias Andriati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved