Listed Articles

Pasang Surut Perjalanan Bisnis Sony

Pasang Surut Perjalanan Bisnis Sony

CEO Sony, Sir Howard Stringer, masih ingat harapan-harapan indah yang ingin ia ukir di 2011. Sebagai perusahaan raksasa asal Jepang, nama Sony memang sangat terpandang. Karena itu, wajar bila perusahaan menyebutkan berbagai rencana untuk bersaing dengan pemain baru seperti Apple, Samsung dan lainnya. Sayang, harapan tak berjalan mulus.

Awalnya, Sony diperkirakan meraup laba operasional tahunan sekitar US$ 2 miliar, angka terbaik dalam kurun tiga tahun terakhir. Harapan yang tak muluk, sepertinya. Apalagi, nama produk baru Sony sudah merajai rak-rak took dengan perangkat computer tablet, kamera kompak 24 MP serta pemutar PlayStation portable. Sony bahkan mempersiapkan peluncuran jaringan global yang memungkinkan koneksi video game, musik maupun film di berbagai perangkat seperti televisi, tablet, PC dan ponsel. Konsep yang sedikit mirip dengan platform digital iTunes.

“Sejujurnya, saya benar-benar berpikir berada di tahun yang benar-benar akan saya ingat,” kata Stringer kepada Bloomberg. Namun, harapan tinggal harapan. Mimpi buruk pun muncul di tubuh Sony. Perasaan kemenangan itu mulai runtuh pada 11 Maret. Saat itu, Stringer berada di New York dan harus segera kembali ke Tokyo. Gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan bagian timur Jepang.

Stringer yang tidak mampu berbahasa Jepang itu pun akhirnya memutuskan untuk tidak ke Tokyo. “Mereka tidak membutuhkan saya disana,” katanya lagi. Dari sambungan telepon, Stringer mendapat informasi bahwa tidaka da pegawai Sony yang terluka. Saking terharunya, Stringer bahkan sempat menulis esai di Wall Street Journal untuk memuji semangat Jepang dengan kata’Fukutsu no seishin’ atau ‘tidak pernah menyerah’.

Sayangnya, gempa bumi dan tsunami memaksa Sony untuk menutup sementara 10 pabrik mereka. Tindakan itu mengganggu pasokan Blu-ray discs, batere dan berbagai perangkat lain. Bencana alam itu pun terpaksa memunculkan kerugian bersih sebesar US$ 3,1 miliar. Inilah defisit perusahaan terbesar sepanjang 16 tahun.

Masalah tak berhenti sampai disana. Muncul serangan hacker yang memaksa perusahaan shutdown PlayStation Network. Nilai mata uang yen yang melemah, penjualan produk yang lesu akibat ekonomi global yang terluka, berbagai toko CD dan DVD yang terbakar akibat kerusuhan di London dan banjir Thailand yang mengguncang rantai pasokan produk, menjadi beberapa belitan masalah di tubuh Sony.

Tidak hanya itu, Sony mungkin mengalami kerugian sekitar 675 miliar yen (US$ 8,8 miliar) di divisi televise dan diperkirakan tetap merugi hingga 2013. Meskipun begitu, Sony tetap mencoba untuk beradaptasi dengan Era Internet dalam kurun satu decade terakhir ini. Perusahaan yang memiliki 168.200 karyawan, 41 pabrik dan lebih dari 2 ribu produk ini, termasuk headphone, printer medis, Hollywood-grade maupun peralatan produksi film 3D.

Stringer paham bahwa perubahan tidak akan pernah muncul dengan mudah di tubuh Sony. Aturan dan budaya di Jepang mengenai kepegawaian telah membatasi perusahaan untuk menutup pabrik di Jepang atau mengurangi jumlah pegawai. Sebagai perusahaan dengan tradisi Jepang yang sangat kental, Sony terkadang tidak mampu bersaing dengan perusahaan lain yang mampu merespon dengan cepat atas perintah sang pemimpin.

“Banyak orang bertanya kepada saya, ‘Mengapa Anda melakukan hal ini? Anda tidak perlu melakukan hal tersebut’,” kata Stringer. “Namun, saya sudah berkomitmen untuk menaruh Sony di sebuah jalan yang memungkinkan perusahaan berada di posisi aman dan terjamin di masa depan. Memang sangat sulit untuk meramalkan keuntungan. Tapi jika kami benar-benar mampu mengambil keuntungan dari kombinasi aset, kami mampu menjadi perusahaan yang kuat.”


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved