Listed Articles

Prihatin Sistem Pendidikan Nasional, Dik Mendirikan Sekolah Alam

Prihatin Sistem Pendidikan Nasional, Dik Mendirikan Sekolah Alam

Berangkat dari keprihatinan Dik Doank atas kondisi pendidikan di Tanah Air, mendorongnya untuk mendirikan Sekolah Alam Kandank Jurank Doank (KJD). Dia prihatin atas stigma pintar-bodohnya seorang anak berdasar dari kemampuan penguasaan ilmu eksakta, lahirnya generasi pintar akademis tapi tumpul secara praktis, serta sekolah formal yang hanya mencetak generasi penjiplak bukan pencipta.

Sesuai dengan namanya, KJD merupakan sekolah yang dilakukan di alam terbuka. Siswanya dibiarkan bersentuhan langsung dengan alam. Angin yang sesekali mendesau pada terik siang hari menjadi salah satu sarana belajarnya. “Kami kembalikan anak-anak ke tempat belajar sesungguhnya,” ujar pemilik nama asli Raden Rizky Mulyawan Kertanegara Hayang ini. Dik memandang pendidikan formal justru membuat anak-anak terkekang di dalam tembok tebal. Akibatnya, anak hanya akan mendapat teori tanpa melihat, apalagi mengerti proses yang terjadi di alam. Pola pendidikan seperti itu membuat anak kehilangan olah rasanya sebagai manusia. “Lihat saja hasil pembangunan, pola sosial yang terbentuk di kota besar. Itu semua akibat kakunya pendidikan formal,” tegasnya.

Maka, di KJD lebih dipentingkan soal olah rasa. Sebagai gambaran, seleksi masuk ke KJD adalah menggambar. Alasannya, menggambar merupakan dasar dari segala ilmu. “Pencipta pesawat itu menggambar pesawat dulu baru menghitung ukurannya,” kata dia. Tujuannya, untuk mendidik anak-anak sebagai generasi pencipta. Menggambar di sini bisa bebas atau tematis. “Yang pasti gambarnya bukan satu matahari di tengah gunung dengan sawah di bawahnya,” ujar Dik menyitir pelajaran menggambar di sekolah formal. Meski judulnya seleksi, nyatanya semua anak masuk ke KJD. “Yang penting mereka tidak nyontek,” kata ayah 3 anak ini. Materi di sekolah alam KJD selain menggambar ada menari, musik, teater. Meski sering melibatkan selebritas sebagai mentor, KJD tidak memungut biaya untuk sekolah alam ini.

Sekadar menengok ke belakang, KJD dirintis Dik sejak tahun 1993 di Angkasa Pura, Kemayoran. Kala itu siswanya hanya 9 sampai 14 anak. Kala itu dia memfungsikan pot-pot besar tanaman sebagai sarana sekolah alamnya. Lantas tahun 1997, dia pindah ke komplek Avita, Sawah Baru, Ciputat. Lokasinya bersebelahan dengan rel kereta Serpong-Tanah Abang dan jalan tol. Tempat itu difungsikan sebagai sarana sekolah. Awalnya, sekolah alam KJD berlangsung di jalanan rumah Dik. “Lama-lama Allah mempercayakan tanah di depan rumah untuk saya kelola,” ujar Dik. Jadilah komplek KJD meluas hingga 2 hektar.

Hamparan tanah berilalang itu pelan-pelan dipermak untuk fasilitas KJD. Secara bertahap dibangun hingga sekarang KJD punya fasilitas Lapank Doank 800 orang, Kampunk Doank 450 orang, Perpustakaan Doank 70 orang, Kandank Jurank Doank 500 orang. Juga ada panggung, musholla, studio, kolam ikan, arena bermain, Kelas A dan Kelas B, dan Kolesium yang bisa menampung kurang lebih 600 orang. Aneka rupa fasilitas itu dapat diakses siapa saja secara gratis oleh peserta didik yang kebanyakan anak kampung dari keluarga kurang mampu.

Dari manakah dana untuk membangun ini semua? “Semua dibangun bertahap. Semakin kita mengurus orang tidak mampu, Allah akan mengurus kita,” ujar murid spiritual Emha Ainun Nadjib. Menurutnya, KJD dibangun dengan uang pribadi Dik. Dia tidak lagi memperhitungkan berapa prosentase dana pribadi untuk aktivitas sosial. Porsinya bisa lebih besar untuk kegiatan sosial ketimbang untuk pribadi. Sebagai seorang muslim dirinya memperlakukan aktivitas sosial sebagai sedekah atau zakat. Dia menggunakan filosofi lima jari untuk menganalogikan rukun Islam.

Sebagai salah satu bukti, di areal KJD seluas 2 hektare itu, rumah pribadi Dik hanya 100-an meter saja. Dia percaya kesejahteraan keluarga akan terbawa seiring semakin banyak dia mensejahterakan orang lain terlebih dulu. “Dalam ucapan Basmallah. Kata ‘rahman’ lebih dulu dibanding ‘rahim’,” ujar dia. Dik kini lebih sering diundang ke berbagai belahan dunia untuk berbicara soal agama ini.

Pada perkembangannya, KJD juga punya area outbound dengan fasilitas flying fox, perahu kampret, jembatan goyang, dan lain-lain. Kalau sekolah alam gratis, khusus untuk outbound dapat disewakan baik perorangan maupun berkelompok dengan harga di kisaran Rp 100 ribuan. Ihwal ini, Dik juga mengaku tidak pernah memperhitungkan soal untung-rugi. “Kalau mau main gratis ya bisa saja. Hasil dari persewaan itu juga untuk pemeliharaan dan kembali ke anak-anak lagi,” kata ambassador beberapa merek ini. Tidak ada maksud bisnis di sini.

Meski mengaku tidak ada donator tetap setiap bulan atau tahun, Dik mengaku pernah mendapat dukungan dari PT Holcim Indonesia yang membangunkan Museum Karya Pustaka di komplek KJD. Dia juga pernah dipercaya Samsung Hope untuk mengelola dana US$ 10 ribu. Namun, satu yang pasti, Dik tidak mau dibebani dengan semacam laporan pertanggung jawaban soal dana yang sudah didonasikan ke KJD. “Karena kita tidak mengandalkan siapapun, kecuali pada cinta dalam hati kita untuk menjadi generasi berilmu,” pungkasnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved