Listed Articles

Software Lokal Makin Digdaya

Oleh Admin
Software Lokal Makin Digdaya

Suatu pagi di Hotel Aston Atrium. Kesibukan di coffee shop terlihat cukup semarak. Para tamu yang menginap, tampak menyantap sarapan. Meski jumlah tamu yang bersantap semakin banyak, pengelola coffee shop hotel itu senantiasa mampu menyediakan menu yang cukup. Maklum, data jumlah tamu yang menginap hampir pasti sesuai dengan data di bagian Logistik dan Food and Beverage.

Bagian F&B hotel ini memang senantiasa mendapatkan informasi akurat mengenai jumlah tamu, sehingga dapat menyajikan variasi makanan dalam jumlah yang memadai. Selain itu, setiap transaksi yang terjadi di coffee shop secara otomatis terkirim ke bagian Accounting, selanjutnya diproses di general ledger. Urusan transaksi secara otomatis ini bukan hanya pada penyediaan menu untuk para tamu, tapi juga beragam transaksi lain semisal data reservasi, pengelolaan ruangan hotel, dan sebagainya.

Jika Anda berpikir beragam proses transaksi yang berlangsung di hotel ini dikelola dengan bantuan aplikasi (software) canggih buatan vendor multinasional, Anda keliru. Kenyataannya, seluruh transaksi yang terjadi di hotel yang berlokasi di kawasan Senen, Jakarta Pusat ini mengandalkan aplikasi Realta Hotel System (RHS) berbasis DOS yang dibuat oleh pengembang software lokal, yakni PT Realta Chakradarma.

Kesediaan perusahaan lokal menggunakan software buatan lokal memang patut diberikan apresiasi lebih. Maklum, tak sedikit perusahaan lokal yang lebih ingin bergagah-gagah dengan software buatan vendor mancanegara. Beragam alasan biasanya akan terlontar, saat perusahaan ditanya soal penggunaan software asing ini. Padahal untuk itu, tak sedikit pula investasi yang harus dikeluarkan baik untuk pembelian lisensi, proses implementasi, maupun pengelolaannya.

Pilihan menggunakan software lokal atau asing memang terletak pada inisiatif manajemen. Umumnya, banyak perusahaan tak mau repot, dan secara turun-temurun menggunakan software mancanegara untuk alasan kepraktisan. Namun belakangan, dengan makin banyaknya software lokal yang mampu bersaing di pasar dengan software buatan vendor multinasional, menarik diperhatikan.

PT Realta Chakradarma merupakan salah satu contoh bagus. Aplikasi perhotelan yang dibuatnya telah digunakan beberapa hotel, baik jaringan hotel asing maupun lokal. Didirikan Hidayat G. Tjokrodjojo pada 1983, Realta Chakradarma sebenarnya bukan pemain baru di bisnis software. Realta kini telah menghasilkan beragam software yang digunakan oleh perusahaan lokal dan PMA. Realta mengawali bisnis software dengan mendesain software akuntansi. Kini, portofolio produk software yang dibuat Realta semakin beragam.

Hidayat memiliki alasan sendiri mengapa memilih mengembangkan software akuntansi lebih dulu. “Pasarnya luas, karena semua perusahaan pasti membutuhkan software akuntansi,” ungkapnya. Pada 1983, software akuntansi pertama produksi Realta diluncurkan dengan nama Realta Accounting System (RAS). Dalam perkembangannya, Hidayat mengembangkan juga software akuntansi yang terintegrasi dengan bagian logistik dengan nama Sakti di tahun 2000. Kini, Sakti telah memasuki versi ke-9.

Selain mengembangkan software akuntansi, Realta kemudian juga menggarap software untuk aplikasi perhotelan. Selain RHS, aplikasi buatan Realta lainnya yang juga banyak digunakan di lingkungan industri perhotelan adalah Rhapsody. “Software ini merupakan pesaing kuat software perhotelan yang umum digunakan jaringan hotel di seluruh dunia, Micros-Fidelio,” ujar Hidayat mengklaim.

Hidayat juga mengklaim Rhapsody berisi fitur yang dimiliki Fidelio. Di antaranya, mampu mengintegrasikan seluruh fungsi pelayanan hotel, mulai dari pemasaran dan reservasi, front office, banquet, point of sales, back office, finance & accounting dan logistik. Hingga saat ini, aplikasi Rhapsody telah dijalankan di beberapa hotel semisal Grup Hilton, Mercure, Novotel, dan Santika.

Selain Realta, pemain lokal lain yang cukup sukses mengembangkan dan memasarkan software-nya adalah PT Andal Peranti Lunak. Perusahaan yang dikembangkan, Indra Sosrodjojo ini mengembangkan beragam software aplikasi perkantoran, perdagangan dan sumber daya manusia. Meski mewarisi trah Sosrodjojo yang dikenal sebagai produsen minuman teh botol dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia, Indra lebih tertarik mengembangkan bisnis sendiri. Kuliahnya di Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti pada 1970-an, menjadi salah satu pemicu langkahnya menggeluti bisnis ini. Terjunnya pria kelahiran Tegal 46 tahun lalu ini ke bisnis software, lantaran melihat peluang pasarnya yang masih terbuka lebar. “Pada 1980-an software lokal belum banyak di pasaran, sedangkan di luar negeri, bisnis software mulai berkembang pesat,” ungkap Indra mengenang. Pada 1992, ia mulai menerima pesanan pembuatan software dalam bentuk paket, yang permintaannya semakin meningkat. Pada 1997, Indra memutuskan fokus dalam aktivitas pengembangan paket software.

Awalnya, Andal mengembangkan banyak aplikasi. Portofolio software-nya pun berjajar — aplikasi general ledger, perdagangan, perpajakan dan sebagainya. Namun, susutnya permintaan terhadap software perdagangan, mendorong Andal lebih berkonsentrasi pada aplikasi SDM, payroll dan perpajakan. Toh, produksi aplikasi perdagangan masih diteruskan hingga kini.

Pesaing produknya, diklaim Indra, adalah pemain besar di bisnis software dunia, semisal SAP atau Oracle. “Karena harganya mahal, software (mancanegara) tadi hanya mampu diserap perusahaan besar,” katanya. Di sini, Indra melihat peluang yang memungkinkan produknya mampu bersaing dengan SAP atau Oracle. “Kami menyasar perusahaan menengah sebagai pasar potensial software Andal,” ia menegaskan.

Produk Andal yang lumayan terkenal adalah Kharisma Win, aplikasi e-HR. Aplikasi berbasis Windows ini dikerjakan sejak 1998, dan dipasarkan tahun 2000. Keunggulan Kharisma dibanding software sekelasnya, menurut Indra, terletak pada fiturnya yang berhubungan erat dengan produk Microsoft. Salah satunya, aplikasi Excel yang bisa langsung dihubungkan dengan software Kharisma.

Kharisma Win juga dilengkapi dengan fitur berbasis Web yang terintegrasi dengan aplikasi desktop. Fasilitas ini diklaim Indra sangat memudahkan pengguna (user). “Lewat fasilitas ini, persetujuan atasan untuk bawahan dapat dilakukan via e-mail, dan datanya bisa langsung dimasukkan ke sistem Kharisma,” ia menguraikan.

Software Kharisma juga memungkinkan pengelolaan data dan informasi karyawan secara terintegrasi. Artinya, pengguna dapat mengetahui siapa saja yang tidak masuk kantor hari ini, siapa yang cuti, siapa saja yang ulang tahun, dan sebagainya. Kini, Indra mengklaim, produk Kharisma Win telah digunakan oleh sekitar 40 perusahaan, dengan rata-rata skala usaha memiliki 100 lebih karyawan.

Selain Realta dan Andal, vendor software lokal yang juga patut diperhitungkan adalah PT Hanbitel Media Jaya yang dikomandani Park Hyung Dong. Dalam ajang APICTA 2003, Hanbitel berhasil meraih juara dalam kategori Best of Industrial Application, lewat aplikasi Sol*eRP Adaptive and Interactive Application. Dengan kemenangan itu, software solusi aplikasi Hanbitel berhak ikut serta dalam APICTA International di Charns Australia September lalu.

Aplikasi Sol*eRP ini, menurut Eddy Ong, Manajer Strategi Perencanaan dan Pemasaran PT Hanbitel, dibuat dan dikembangkan di Indonesia, walaupun diakuinya, tool aplikasinya didatangkan dari Korea. Jadi, bisa dibilang semilokal. Aplikasi ini diklaim Eddy mampu melakukan berbagai fungsi pengelolaan dan pemantauan operasional industri menjadi terintegrasi dan terpusat. Setidaknya, saat ini aplikasi Sol*eRP telah diiimplementasi di beberapa perusahaan: PT Miwon Indonesia, PT Miwon Citra Inti, PT Herlina Indah, dan beberapa perusahaan industri besar-menengah lain.

Aplikasi Sol*eRP terdiri dari 22 modul yang saling terintegrasi, mulai dari finance & accounting, production and dispactching, sales and distribution, material control, HRD, payroll system, hingga executive information system, yang memungkinkan para pengambil keputusan di perusahaan memantau berbagai aktivitas yang terjadi di perusahaannya secara real time. Sebagian besar modul aplikasi Sol*eRP dapat dijalankan di Web.

Melihat kiprah Realta, Andal dan Hanbitel, patut diakui, dari segi konsep, produk dan kualitas, produk software lokal kini makin mampu bersaing dengan software luar dan juga dapat diandalkan. Namun, kalangan praktisi bisnis software di Indonesia menilai, kelemahan mendasar mereka di sisi pemasaran.

Hal ini diakui Hidayat. Ia mengenang, saat pertama kali memasarkan software buatannya, banyak yang memandang sebelah mata. “Sekarang pun keadaannya masih begitu,” ia menjelaskan. Berpijak pada kenyataan ini, salah satu strategi yang kemudian ditempuhnya adalah memasarkan software-nya hanya ke perusahaan-perusahaan yang dinilainya berpikiran maju. Umumnya, Hidayat menyebutkan, pelanggan model begini sudah mengenal produk Realta, sehingga percaya hasilnya akan sama memuaskan. Lewat cara ini pemasaran produk Realta relatif lebih mudah.

Gaya pemasaran Indra dari Andal lain lagi. Awalnya, ia mengaku harus bergerilya memasarkan produk software-nya seorang diri. Sejak 2001, berbagai kiat pemasaran pun ditempuhnya, semisal mengadakan seminar, melakukan bundling promo dengan Microsoft, dan bekerja sama dengan beberapa media. Namun, diakuinya, upaya itu tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.

Sejak tahun ini, Indra mengubah strategi pemasarannya dengan cara merekrut mitra bisnis. Selain menjual, mitra bisnis ini nantinya melakukan implementasi, pelatihan dan pengelolaan. “Kami akan konsentrasi ke produksi, sementara distribusinya dilakukan oleh mitra bisnis kami,” ia memaparkan. Lewat cara ini, model pembagian keuntungan pun bisa diatur sedemikian rupa, yakni sang mitra memperoleh keuntungan dari diskon boks dan layanan yang diterima, biaya implementasi dan pengelolaan.

Adapun Hanbitel lebih memilih perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia sebagai pasar potensialnya. Alasannya, diakui Eddy, lebih karena Park Hyung Dong, CEO Hanbitel, memiliki hubungan historis dan relasi yang cukup kuat di komunitas bisnis Korea di Indonesia, “Namun, bukan berarti produk kami hanya untuk perusahaan Korea,” ia menambahkan. Nyatanya, memang dari daftar perusahaan pengguna software Hanbitel, terlihat tak hanya perusahaan Korea penggunanya.

Selain masalah pemasaran, keberhasilan menghasilkan software yang memenuhi kualifikasi pasar, ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan tenaga kerja (khususnya programmer) yang mumpuni. Untuk keperluan ini, menurut Hidayat, Realta mencarinya lewat komunitas TI, dan menggunakan jasa perusahaan pencari kerja di Internet. Setelah lolos seleksi Realta, mereka harus mengikuti pelatihan, mengenal budaya kerja di Realta, menulis esai pendek tentang Realta, bertemu dengan sejumlah manajer Realta, dan mengenal produk Realta secara intim.

Sementara itu, Andal yang mengawali usaha dengan 7 orang, kini berkembang menjadi 40 karyawan. Turnover karyawan yang tinggi di bisnis TI juga dialami Andal. Karyawan pun sempat berkurang hingga 20 orang. Akibatnya, Indra pun mengubah pola rekrutmen. Dulu, Andal banyak merekrut karyawan fresh graduate, tapi sekarang memilih yang sudah berpengalaman, “Dari segi biaya tidak terlalu beda, tapi kualitasnya bisa jadi lebih bagus,” ujar Indra memberi beralasan.

Selain membenahi strategi pemasaran, dan meningkatkan kemampuan SDM, para pengembang software lokal juga menyeriusi strategi penetapan harga (pricing). Harga Aplikasi Rhapsody, misalnya ditentukan berdasarkan kamar hotel yang di-support. Untuk implementasi aplikasi ini, Realta mensyaratkan minimum 100 kamar. Harganya dibuat berjenjang. Untuk seratus kamar pertama, harganya dipatok US$ 320 per kamar, mencakup tiga modul aplikasi sekaligus, yakni front office, back office, dan logistik. Seratus kamar berikutnya, dibebankan biaya separuhnya: US$ 160/ kamar. Berikutnya, cuma US$ 80/kamar. Bandingkan dengan Fidelio yang menurut seorang praktisi perhotelan bisa menghabiskan dana US$ 3-100 ribu, hanya untuk aplikasi front office.

Sementara itu, Andal memilih menjual dengan harga yang kompetitif. Satu paket software korporat yang dapat digunakan untuk lima PC, harganya dibanderol Rp 95 juta. Saat ini, Kharisma Win buatan Andal telah digunakan oleh sekitar 40 perusahaan, dan dari seluruh produk software-nya telah terjual hingga dua ribu unit (boks). Kebanyakan dijual di dalam negeri. Menurut Indra, omset tahunan Andal saat ini sekitar Rp 1 miliar.

Jika benar, Hanbitel Media Jaya lebih hebat lagi. Untuk bisa mengimplementasi Sol*eRP di satu perusahaan, biaya yang dibutuhkan US$ 480 ribu. Hingga tahun 2004, Eddy menargetkan perusahaannya dapat meraup dana hingga US$ 2 juta dari implementasi solusi korporatnya di beberapa perusahaan lokal dan asing di Indonesia.

Di sisi pengguna, kehadiran software lokal yang dianggap bermutu, jelas menggembirakan. Fendy Tanujaya, Manajer EDP Hotel Aston Atrium memilih menggunakan sistem RHS karena berbagai faktor — harganya murah, spesifikasinya relatif memadai, tak menuntut spesifikasi hardware yang terlalu tinggi, dan support-nya memadai.

Tentu, software lokal bukan tanpa kelemahan. Menurut Fendi, aplikasi RHS yang digunakan Aston Atrium harus selalu berjalan di jaringan. “Sementara kami juga butuh satu PC standalone untuk back up, terutama untuk informasi di awal, sehingga back up datanya bisa dijalankan,” Fendy menguraikan.

Namun, secara keseluruhan, Fendy mengaku cukup puas dengan layanan yang disediakan Realta. “Memang, pada saat pertama kali diimplementasi, ada miskomunikasi, tapi seiring waktu, implementasinya berjalan sesuai dengan yang direncanakan,” ungkapnya. Kini seluruh proses bisnis di Aston Atrium terintegrasi, dari depan hingga belakang.

Riset: Siti Sumariyati.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved