Listed Articles

Strategi Airbus Empaskan Boeing

Oleh Admin
Strategi Airbus Empaskan Boeing

Jagat bisnis memang sungguh tak mengenal matra. Buktinya, pertarungan abadi dalam meraup rezeki tak hanya terjadi di darat atau laut, tapi juga di udara. Fakta mutakhir — selain adanya pertempuran antara budget airlines (sering disebut penerbangan murah) versus penerbangan jarak panjang yang berbiaya mahal — yang masih jadi perbincangan pemerhati bisnis adalah tumbangnya Boeing di tangan Airbus.

Pertengahan Januari lalu, Airbus mengumumkan warta kemenangan tersebut. ?Finally, we bested US rival in number of planes delivered.? Disebut ?akhirnya mengalahkan? adalah karena memang baru pertama kali perusahaan Eropa itu menjungkalkan Boeing, jagoan Amerika Serikat berusia 89 tahun. Di akhir 2003 itu, Airbus sanggup mengirim 305 pesawat komersial, sementara Boeing hanya 281. Padahal — sekadar untuk menggambarkan kebesarannya — tahun 1998, Boeing mampu menjual 560 pesawat ke pasar, dua kali lipat ketimbang para pesaingnya, termasuk Airbus.

Berita ini jelas memunculkan diskusi sekaligus pertanyaan: Apa yang membuat Airbus demikian perkasa? Dan sebaliknya, apa yang membuat Boeing turun kasta menjadi pesakitan? Ya, pesakitan karena tahun ini saja, Airbus, perusahaan beraset US$ 20,3 miliar dan berawak 48.500 orang, harus menyelesaikan order pembuatan 1.500 pesawat sementara Boeing hanya 1.100.

Layaknya maraton, prestasi Airbus bukanlah kerja semalam. Fortune November 2003 mencatat ada sejumput alasan mengapa ?Si Nyonya Tua? Boeing terkapar di tangan Airbus. Semuanya berpulang pada dua kata sakti di dunia bisnis: vision and gut (visi dan nyali) para eksekutif puncaknya.

Dipimpin CEO-nya, Noel Forgeard, Airbus melihat bahwa sejatinya, pasar telah mengalami fragmentasi. Di satu sisi, membludaknya pesawat low cost yang melayani rute-rute pendek (point-to-point) — seperti Southwest, Frontier, AirTan dan JetBlue di AS, serta Ryanair dan EasyJet di Eropa — memang membutuhkan pesawat berbadan kecil, setidaknya berkapasitas 150 penumpang. Namun, di sisi lain, selain tren itu tidak akan berlangsung lama, ia juga yakin maskapai yang melayani rute-rute panjang juga membutuhkan pesawat-pesawat berbadan lebar dengan spesifikasi canggih: menggunakan bahan bakar relatif lebih sedikit, lebih murah dioperasikan, menurunkan kongesti bandara, dan menghilangkan tekanan terhadap lingkungan sekitar.

Kalaupun sekarang ada krisis dunia penerbangan akibat Tragedi WTC, menurut Forgeard, itu hanyalah gejala sesaat. ?Dua tahun lalu, saya percaya pesawat low cost, tapi saya tak percaya mereka telah menguasai pangsa pasar. Seperti halnya dotcom, mereka tak akan tumbuh hingga ke langit. Pertumbuhan maskapai low cost akan melambat begitu kondisi maskapai besar pulih,? katanya.

Akibat bervisi seperti itu, manajemen Airbus pun tampak seperti segerombolan orang yang menantang arus sungai yang menderas. Mereka bukan cuma berani, tapi juga punya nyali untuk sesuatu yang mereka yakini. Maka, sementara pabrikan lain bertiarap atau terpaku membuat pesawat berbadan kecil, Airbus justru melahirkan diferensiasi melalui lini-lini produk baru, baik di pesawat narrow body maupun wide body. Tidak itu saja, demi menarik pasar, semua pesawat dilengkapi dengan fitur-fitur modern.

Dalam hal lini produk, satu yang tengah menjadi sorotan adalah dibuatnya pesawat A380 yang kini menjadi pesawat komersial terbesar dalam sejarah penerbangan di dunia. Bagaimana tidak? A380 sanggup mengangkut 555 orang, 35% lebih banyak ketimbang Boeing-747. Namun, sekalipun besar, pesawat ini juga lebih ekonomis dengan biaya US$ 2,5 sen per seat mile, lebih murah 20% ketimbang B-747. Adapun dalam hal fitur modern, salah satu yang menonjol adalah kokpit yang didesain bisa digunakan lebih dari satu jenis pesawat.

Kondisi ini boleh dibilang sangatlah kontras dengan Boeing. Sementara Airbus telah meluncurkan empat tipe baru pesawat berbadan lebar, sejak 1988, Boeing hanya asyik mengutak-atik dua tipe pesawat lawasnya: B-777 dan B-737. Melihat ini, tak mengherankan, Forgeard pun gatal untuk tidak menyindir pesaingnya itu. ?Boeing tak begitu dinamis beberapa tahun terakhir,? katanya. Dan itu semua terjadi karena satu hal: Boeing tak fokus!

Tak seperti Airbus yang anteng membuat pesawat, raksasa AS itu terdiversifikasi ke dalam aneka bisnis, mulai dari pabrikan pesawat sampai sistem pertahanan luar angkasa. ?Diversifikasi mendemoralisasi karyawan Boeing,? ujar Forgeard enteng.

Menariknya, secara tak langsung, pernyataan itu dibenarkan pihak Boeing. Vice President Pemasaran Boeing Randy Baseler mengungkap bahwa apa yang membuat perusahaannya terjengkang adalah karena diversifikasi menguras banyak tenaga dan dana, yang repotnya justru terjadi di tengah industri penerbangan yang sedang dilanda kemarau. ?Apa yang memengaruhi moral kami sekarang adalah kami di siklus yang menurun,? katanya. Alhasil, tak seperti Airbus yang sanggup mengalokasikan 8%-9% pendapatannya buat riset dan pengembangan, Boeing hanya mampu mengucurkan 3%-3,5% saja.

Forbes, dalam kupasannya di akhir Desember 2003 mencatat bahwa apa yang membuat Boeing terjungkal adalah karena manajemennya salah memprediksi dan melihat masa depan. Di bawah kepemimpinan Phil Condit, Chairman merangkap CEO-nya, manajemen Boeing memprediksi bahwa pesawat yang akan disukai adalah yang lebih kecil, lebih cepat, yang terbang dari satu titik ke titik lain dengan frekuensi yang kekerapannya tinggi.

Lagi-lagi ini persoalan visi, atau cara pandang. Yang jelas, dengan beragam kreativitas yang lahir dari visi para eksekutifnya, pesawat Airbus ternyata tidak hanya diserbu maskapai rute-rute panjang seperti Singapore Airlines. Maskapai low cost pun turut mencicipi. JetBlue, misalnya, akan segera memesan 115 pesawat Airbus 320 untuk melengkapi 41 pesawat yang sudah ada dan 46 pesawat sejenis yang sudah dipesan sebelumnya. Menurut CEO JetBlue David Neeleman, ia suka pesawat Airbus karena aman, ekonomis serta nyaman. Asal tahu saja, eksekutif JetBlue banyak yang sebelumnya mengabdi sebagai karyawan Boeing!

Toh, sekalipun laris manis, bukan berarti Airbus tak dipandang nyinyir sama sekali. Tetap gencarnya Airbus ke pasar maskapai low cost, pasar yang juga digerayangi Boeing habis-habisan, membuat para analis ragu sejauh mana dan seberapa besar kedua pemain besar ini sanggup meraup untung. Richard Aboulafia, VP Analis Teal Group, konsultan penerbangan, menaksir baik Boeing maupun Airbus mendiskonto harga katalognya hingga 40% atau bahkan lebih.

Satu kasus yang mencuatkan kecurigaan ini adalah kemenangan Airbus dalam tender low cost carrier, Easy Jet, tahun 2003. Di tahun itu, Airbus ditengarai jual rugi untuk melayani pesanan 125 pesawat berbadan kecil buat Easy Jet, plus opsi untuk 125 pesawat tambahan. Spekulasi yang jelas memancing kemarahan eksekutif Airbus. ?Ini tunai, kok, dan ini deal yang menguntungkan,? ujar John Leahy, VP Eksekutif Airbus menepis segala sas-sus yang tak sedap.

Sebagai penguat fakta kepada publik dan investor bahwa mereka tak mendiskonto harga demi memenangi tender, Forgeard bahkan mewartakan kebijakan: memangkas 10% dari US$ 17,4 miliar cost base Airbus tahun 2006. Dia juga menegaskan akan fokus pada penurunan waktu (lead time) untuk merangkai pesawat. Misalnya, pembuatan A320 akan ditekan dari 9 bulan menjadi 6 bulan.

Terlepas dari apakah lead time tersebut bisa dipenuhi atau tidak, Airbus kini tengah asyik dengan kemenangannya. Kini, Forgeard memerintahkan anak buahnya ngebut menyelesaikan pesanan A380 untuk Singapore Airlines. Mereka tak bisa bermain-main karena pesanan ini sungguh sebuah kepercayaan di tengah industri yang sedang sendu.

Sebagai catatan, sejak Tragedi WTC, dalam hitungan Aboulaifa, industri penerbangan merugi sekitar US$ 30 miliar dan membuat banyak maskapai gulung tikar. Kepercayaan untuk pemesanan A380 jelas bukan perkara enteng karena ongkos pembuatannya saja terbilang paling mahal: US$ 286 juta. Hanya kepercayaan maskapai besar bahwa dunia penerbangan akan pulih yang membuat pesanan ini hadir sehingga tak boleh disia-siakan. Apalagi, sebagai catatan tambahan, Airbus telah menerima 129 order untuk pesawat superbesar dan supermahal ini. Jelas ini benar-benar menggiurkan, terlebih di depan publik Forgeard sudah menegaskan bahwa tak ada potongan harga apa pun untuk pesawat yang disebut-sebut sebagai bioskop terbang karena fasilitas home theatre-nya yang canggih itu.

Lantas, apa yang akan dilakukan Boeing untuk menghadang laju pesaingnya?

Sekalipun manajemen berganti karena Condit mengundurkan diri pada akhir Desember 2003 akibat skandal yang membelit CFO Boeing Michael Sears (dituduh menawarkan pekerjaan bagi seorang petinggi Pentagon, yang belakangan menjadi Kepala Procurement di salah satu Angkatan Bersenjata AS), manajemen baru tampaknya tak terpengaruh pemikiran lama. Mereka tetap berkeyakinan bahwa pesawat yang akan disukai adalah yang lebih kecil, lebih cepat, yang terbang dari satu titik ke titik lain dengan frekuensi yang kekerapannya tinggi.

Untuk pesawat besar, mereka tetap memprediksi kebutuhan pasar hanyalah 320 superjumbo untuk dua dekade mendatang. Ini sangat kontras dengan Airbus yang memprediksi bahwa maskapai akan membeli sedikitnya 1.144 superjumbo (pesawat dengan lebih dari 500 tempat duduk) di tahun 2020, dan perusahaan ini berharap mampu menjual 750 pesawat. Akibat pandangan seperti ini, tak mengherankan, upaya Boeing mutakhir adalah membuat 7E7, pesawat 200-250 tempat duduk. Dibuat dari fiber karbon yang ringan, pesawat ini didesain untuk terbang dengan 20% bensin lebih sedikit dan 10% biaya lebih murah ketimbang sekarang.

Itulah jawaban Boeing terhadap ?kudeta? yang telah diluncurkan Airbus. Bagaimana kebenaran prediksi masing-masing manajemen di masa mendatang, memang sukar ditebak mengingat industri penerbangan menjadi sangat rentan sejak didera terorisme dan terimbas mewabahnya penyakit SARS dan flu burung. Namun, Forgeard yakin, sampai beberapa tahun mendatang Airbus adalah sang penguasa udara. Di mana ada bandara, di situ ada Airbus.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved