Listed Articles

Tak Semudah Just Do It

Oleh Admin
Tak Semudah Just Do It

Just do it. Slogan inspiratif yang diperkenalkan raksasa bisnis sepatu dan pakaian olah raga Nike Inc., sepertinya sudah menjadi milik publik lantaran saking populernya. Sama populernya dengan lambang Swoosh pada produk dari perusahaan yang bermarkas pusat di Beaverton, Oregon, AS ini. Dan, nama Nike beserta aneka produk sepatu dan aparel olah raga kini memang identik dengan nama-nama top di jagat olah raga.

Tengok saja Olimpiade Athena 2004 lalu. Banyak atlet peraih medali yang disponsori Nike. Tiga pemenang medali lari 1.500 meter di arena olimpiade lalu — yakni Hicham El Guerrouj (Maroko), Bernard Lagat (Kenya), dan Rui Silva (Portugal) — memakai Air Zoom Miller, sepatu khusus untuk pelari jarak jauh produksi Nike. Lalu, sprinter Shawn Crawford dari AS, yang menggaet emas lomba lari 200 meter, memakai Monsterfly, sepatu beralas runcing yang didesain khusus untuk para sprinter, juga buatan Nike. Begitu pula, empat pelari yang menduduki urutan terdepan dalam lomba 100 meter putra juga mengenakan pakaian bertanda Swoosh. Bahkan, untuk Olimpiade Beijing empat tahun lagi, Nike telah ditunjuk sebagai sponsor resmi tim olimpiade AS.

Slogan Just do it seolah-olah juga merefleksikan agresivitas dan percaya diri perusahaan yang didirikan pada 1964 ini. Buktinya, ekspansinya ke pasar-pasar baru juga tak sia-sia. Ketika perhelatan terbesar sepak bola World Cup 1994 digelar di AS, pendapatan Nike di seluruh dunia dari segmen sepak bola baru US$ 45 juta. Sekarang, di lahan ini Nike berhasil menggaet omset hampir US$ 1 miliar, atau sekitar 25% dari pasar global. Dan, di pasar sepatu sepak bola Eropa, tahun ini untuk pertama kalinya dengan pangsa pasar 35% Nike berhasil mengungguli Adidas (31%). Sebagai perbandingan, di segmen pasar bola basket Amerika Utara, Nike memegang 60% pangsa pasar. Namun, semua itu juga berkat pemasaran ekstra agresif yang dikembangkan Nike, semisal mengikat Manchester United untuk menjalankan operasional bisnis merchandise dan seragamnya, dengan bayaran US$ 450 juta selama 14 tahun.

Lahan bisnis sepak bola bukan satu-satunya ekspansi perusahaan yang awalnya bernama Blue Ribbon Sports ini. Karena itulah, sekarang Nike bukan sekadar produsen sepatu olah raga, tapi menjelma sebagai raksasa di bisnis fashion olah raga. Dengan menghadirkan pakaian olah raga yang fashionable, penjualan pakaian olah raga Nike melonjak 30% dalam tiga tahun, menjadi US$ 3,5 miliar pada tahun fiskal 2004.

Portofolio bisnisnya pun sudah merambah merek dan produk lain, yakni sepatu pesta Cole Haan, sepatu bergaya retro Converse, peralatan skateboard Hurley, dan sepatu hoki es dan roller-blade Bauer. Catatan yang juga menarik, tahun 2003, pertama kalinya penjualan internasional mengalahkan penjualannya di AS (yang hingga kini masih merupakan area bisnis paling basah bagi Nike).

Boleh dibilang, Nike kini merupakan simbol kemapanan di bisnis sport marketing dunia. Pada tahun fiskal 2004 yang berakhir 31 Mei, tercatat penjualannya mencapai US$ 12,3 miliar, atau naik 15% dibanding tahun sebelumnya. Rekor laba tertinggi dalam setahun pun diraihnya, yakni hampir US$ 1 miliar, atau naik 27% dari tahun sebelumnya.

Semua itu, tak bisa dipungkiri, sebagai hasil dari kepemimpinan Philip H. Knight, co-founder, Chairman dan CEO Nike, yang dianggap sebagai tokoh visioner dalam hal desain, teknologi dan pemasaran. Setelah wafatnya co-founder Bowerman, pada 1999 Phil comeback untuk kembali memimpin Nike yang ketika itu terseok-seok menghadapi tudingan eksploitasi buruh di mancanegara. Lantas, apa yang dilakukannya untuk menata strategi pemasaran dan teknologi yang dulu membuat Nike amat digdaya?

Pertama-tama, membentuk tim manajemen eksekutif baru. Knight merekrut Donald W. Blair dari PepsiCo. untuk duduk sebagai Chief Financial Officer, setelah pada 1997-99 Nike tak mempunyai orang yang memimpin disiplin keuangan ini. Juga, membawa masuk Mindy F. Grossman dari Polo Ralph Lauren Corp. untuk memimpin bisnis pakaian global Nike yang bernilai pasar US$ 3,5 miliar. Dan, yang paling mengejutkan –lantaran tak biasa — adalah menunjuk dua orang sebagai co-president (presdir bersama), yakni Mark G. Parker (pakar desain dan merek) dan Charles D. Denson (pakar operasional bisnis).

Di bawah tim eksekutif ini, selain melakukan langkah ekspansi merek dan merapikan portofolio bisnis hasil akuisisinya, Nike juga menertibkan disiplin keuangannya (antara lain agar tak asal dan jorjoran berpromosi), membentuk unit ventura baru, dan memperbaiki operasional bisnisnya yang berbasis sistem teknologi informasi (TI).

Di antara inisiatif TI-nya, yang paling signifikan adalah langkah memperbarui sistem rantai pasokan (supply chain management/SCM)-nya. Maklum, lantaran perkembangan bisnisnya, para mitra peritelnya sampai menunggu-nunggu kiriman produk Nike yang laris (semisal sepatu Air Jordan dengan endorser legenda hidup bola basket Michael Jordan); di sisi lain mereka juga sering kesulitan menyingkirkan produk yang tak begitu diminati pasar. Sistem rantai pasokan lama mencakup 27 sistem aplikasi manajemen pesanan (order management) yang berbeda di seluruh dunia, dan repotnya kebanyakan tak bisa saling berkomunikasi.

Nah, di bawah kepemimpinan Denson dan CIO Gordon Steele, dengan perkiraan anggaran US$ 400-500 juta, Nike berusaha membangun sistem TI baru — yang terintegrasi mencakup ERP, CRM, dan SCM-nya sekaligus. Sistem baru ini memang baru sebagian selesai, tapi manajemen Nike sudah mengklaim sistem barunya telah berhasil mempercepat waktu desain dan manufakturing, serta meningkatkan margin kotor perusahaan (menjadi 42,9% tahun lalu, naik dari 39,9% lima tahun lalu). Selain itu, interval waktu dari pemesanan hingga pengiriman sepatu baru (lead time) ke pasar juga berkurang dari 9 bulan menjadi 6 bulan. Nike pun mengklaim persentase sepatu tanpa pesanan pasti dari para peritel juga sudah turun drastis dari 30% menjadi 3%.

Meskipun buah manis TI-nya sudah bisa dipetik, sesungguhnya dalam proses pengembangan sistem barunya tak semulus slogannya Just do it. Malah, investasi sistem baru ini hampir membawa bencana bisnis bagi jawara sepatu olah raga ini. Apa pasalnya? Tak lain karena tak bekerjanya sistem rantai pasokan yang baru — khususnya aplikasi demand-forecasting dari i2 (vendornya) — secara ideal. Akibatnya, Nike tak bisa mengirimkan order secara akurat ke pabrik-pabriknya; di sisi lain juga tak bisa memenuhi secara pas kebutuhan para mitra peritelnya. Tak mengherankan, ada produk yang kelebihan pasokan ketimbang permintaannya, tapi sebaliknya juga ada yang kekurangan suplai dari yang diminta peritel. Puluhan ribu sepatu produksi Nike pun keleleran di pabrik-pabriknya di Asia lantaran tak ada peritel yang menginginkannya. Itulah mengapa Nike melego sepatu-sepatu kelebihan produksi itu dengan harga banting, alias harga pokok produksinya . Buntutnya, profit usaha pun tergerus dan permintaan terhadap merek-merek hot macam Air Jordan jadi ikut tersumbat. ?Tren memang membuat industri ini unpredictable,? kata John Shanley, analis dari Wells Fargo Securities. ?Tapi, tak memiliki kepastian berapa sepatu yang dibutuhkan toko-toko adalah bencana.?

Musibah ini tersebar ke publik ketika pada Mei 2001 Nike mengumumkan penjualan kuartal I/2001 US$ 100 juta lebih rendah dari yang diharapkan, lantaran ada kebingungan dalam rantai pasokannya. Wall Street langsung menanggapi pengumuman itu dengan anjloknya harga saham Nike sampai 20%, hingga memicu tuntutan class action, terutama dari para pemegang saham. Tak ayal, dalam sebuah conference call, Phil Knight pun meledak, ?This is what you get for US$ 400 million, huh?? Kegusarannya yang menyebut-nyebut nilai investasi total sistem baru Nike itu, kemudian sampai dikutip oleh banyak media. Tentu, hanya Nike, yang punya pangsa pasar dunia sebesar 32% (dua kali dari Adidas, rival terdekatnya) dan kapitalisasi pasar senilai US$ 20 miliar, yang masih bisa ajeg dengan kerugian penjualan US$ 100 juta.

Yang lebih menyakitkan, boleh dibilang ini salah satu kegagalan implementasi aplikasi korporat sekelas SCM yang terburuk — selain yang pernah terjadi pada Cisco (yang sampai menghapus buku inventori tak terpakai senilai US$ 2,2 miliar, juga akibat problem rantai pasokan). ?Untuk yang mengikuti masalah ini, kami seperti jadi poster (contoh) kegagalan,? ujar Roland Wolfram, VP Teknologi dan Operasional Global Nike, mengakui.

Mengapa instalasi sistem rantai pasokan bisa gagal? Menengok ke belakang, buat Nike sistem rantai pasokan sebenarnya bukan barang baru. Dengan pola sentralisasi, semua desain produk, kontrak dan pengiriman, selama ini direncanakan dari Beaverton. Rantai pasokan Nike sendiri dibangun sejak 1975 dengan siklus order 6 bulan, yang disebut Program Futures. Namun, ketika bisnis Nike makin mengglobal, rantai pasokannya mulai terfragmentasi. Pada 1998, perusahaan ini punya 27 aplikasi manajemen order, yang masing-masing amat customized dan sulit terkoneksi ke kantor pusat di Beaverton.

Nah, untuk mengontrol siklus manufakturingnya yang berpola 9 bulan, Nike juga butuh sistem tersentralisasi seperti pada proses perencanaannya. Untuk itu software ERP — dalam hal ini SAP R/3 — menjadi tulang punggungnya, dilengkapi aplikasi supply and demand forecasting (biasa disebut SCM) dari i2, dan aplikasi CRM dari Siebel, dengan menggunakan middleware dari STC (kini SeeBeyond).

Kendati sudah membeli software Apparel and Footwear Solution (AFS) — versi awal software SAP R/3 khusus untuk industri aparel dan sepatu pada 1998 — Nike cukup bersabar untuk tidak menginstalnya sampai SAP mengembangkan versi yang lebih stabil. ?Kami sampai mengirimkan orang ke Jerman (markas SAP) untuk memberitahukan apa yang kami inginkan pada versi kedua,? cerita Steele.

Sayangnya, kesabaran yang sama tidak diperlihatkan Nike ketika mengimplementasi bagian awal dari sistem SCM-nya, yakni modul aplikasi demand and supply forecasting. Ketimbang menunggu instalasi software i2 sebagai bagian dari proyek ERP SAP (karena menggunakan strategi implementasi single instance), Nike dengan tak sabar lebih memilih menginstal i2 pada awal 1999, sembari menggunakan sistem legacy (warisan lama)-nya.

Nah, menurut dokumen class action yang dikirimkan oleh pemegang saham Nike dan i2, gejala datangnya masalah sudah terasa pada Juni 2000. Aplikasi demand and supply planner dari i2 ini menggunakan aturan bisnis berbeda dan menyimpan data dalam format berbeda dibanding sistem legacy, sehingga kedua sistem ini sulit diintegrasikan. Jadi, software i2 mesti amat dikustomisasi untuk bisa dioperasionalkan dengan sistem legacy. Setidaknya butuh satu menit untuk setiap kali input agar bisa dicatat oleh software lama itu. Dan karena jumlah produk yang ditangani mencapai puluhan juta, maka sistem itu sering crash.

Parahnya, sistem tersebut seperti mengabaikan beberapa order, tapi justru menduplikasi order lainnya. Aplikasi demand planner malah menghapus data order 6-8 minggu setelah order dimasukkan, sehingga sulit mengetahui apa yang mereka minta pada setiap pabrik untuk diproduksi. Akibatnya, seperti sudah disinggung, catatan order ke pabrik-pabrik di Asia untuk produk seperti Air Garnetts berlebihan, sementara order Air Jordan berkurang atau bahkan terhapus sebagian.

Untuk mengatasi keruwetan ini, Nike sampai mempekerjakan beberapa programmer tambahan, petugas quality assurance, dan dari bagian bisnis. Konsultan pun diminta untuk membuat database dan aplikasi penghubung agar aplikasi i2 bisa berbagi data. Manajemen Nike memang mengklaim sudah mengatasi kekusutan ini pada November 2000. Namun itu sudah agak terlambat, karena dampaknya pada penjualan dan inventori kelihatan pada kuartal berikutnya (I /2001).

Menurut analisis Wolfram, letak masalahnya karena pihaknya agak meremehkan proyek instalasi i2 mengingat nilai proyeknya hanya US$ 10 juta (ada yang bilang US$ 40 juta). Bandingkan saja dengan nilai total implementasi yang mencakup ERP, SCM dan CRM yang menelan US$ 400-500 juta. ?Kami memang merasa (implementasi i2) itu jauh lebih mudah dan tak akan mengubah apa pun,? ujar Wolfram. ?Tapi, jelas pekerjaan itu ternyata juga sangat rumit.?

Kendati terpukul bencana implementasi TI, manajemen Nike mengaku tak ragu-ragu meneruskan pekerjaan membangun sistem baru, termasuk menggunakan strategi single-instance (implementasi sebagai satu kesatuan). Para pimpinan proyek, seperti CIO Steele dan Shelley Dewey, VP Supply Chain Nike, masih menjalankan roda kepemimpinan proyek ini. Alasan keduanya meneruskan proyek ini — meski sempat gagal di sebagian sistem — karena adanya manfaat bisnis yang jelas jika implementasi sistem ini berhasil. Mereka berdua sesumbar, jika berhasil, biaya investasi US$ 400 juta yang sempat diresahkan Phil dan kerugian US$ 100 juta, bakal terbayar.

Dalam perhitungan mereka, kalau proyek SCM ini berhasil, siklus manufakturing 9 bulan bisa disingkat menjadi 6 bulan. Ini akan berdampak besar, karena akan cocok dengan siklus pemesanan barang dari para peritel. Pasalnya, sekitar 90% peritel memesan produk Nike dengan pola 6 bulan di muka. Nah, menurut keduanya, mengubah pola rantai pasokan dari make-to-sell menjadi make-to-order jelas bakal menjadi keunggulan kompetitif perusahaan — seperti sudah ditunjukkan oleh Dell di bisnis PC.

?Kami sebenarnya berharap Phil (Knight) tidak mengatakan apa yang dia pernah keluhkan,? kata Steele sambil tertawa. Memang, setelah ledakan amarahnya pada 2001 itu, Knight sungguh-sungguh berujar, ?Saya juga berpikir, dalam jangka panjang, proyek itu akan menjadi keunggulan kompetitif kami.?

Mungkin berkat dukungan pimpinan puncak seperti itu, selanjutnya kesabaran tampak mulai tersemai di antara manajemen Nike dan personel proyek. ?Yang tadinya proyek itu kami pikir cuma butuh upaya 2-3 tahun mungkin akan jadi 5-7 tahun,? kata Wolfram, menggambarkan kerelaan mereka. Ia juga mengungkapkan, sekarang sudah diperkirakan proyek implementasi sistem baru ini selesai di tahun 2006, dengan total biaya dari sebelumnya US$ 400 juta diperhitungkan melonjak jadi US$ 500 juta.

Nike juga tampaknya belajar banyak dari kesalahannya terdahulu. Karena itulah, para pemimpin proyek nampak tidak grusah-grusuh lagi dalam implementasi ERP SAP. Mereka menginginkan roll out implementasi SAP dilakukan secara bertahap berdasarkan geografis. Kendati begitu, mereka tetap menghindari kustomisasi yang terlalu spesifik di setiap wilayah, yang nantinya malah membutuhkan dukungan khusus dan merepotkan. Maka, dibuat template proses bisnis yang bersifat global, dengan semua wilayah setuju pada batasan bisnisnya.

Kanada, dengan nilai bisnis US$ 300 juta, menjadi sasaran roll out pertama, bertepatan dengan hari Thanksgiving pada 2000. Berikutnya, wilayah AS dan European Middle East & Africa (EMEA) pada akhir 2002. Adapun dua wilayah lagi, Amerika Latin dan Asia Pasifik direncanakan sebelum akhir 2006.

Pelajaran yang juga kemudian diperhatikan Nike adalah respeknya pada pelatihan –kelemahan yang dulu terjadi pada implementasi i2. Sekarang, menurut Andy Russlell, Direktur Transisi Global Nike, petugas customer service Nike AS misalnya, memperoleh pelatihan rata-rata 140-180 jam dari para pengguna terlatih. ?Mereka tak bisa masuk ke sistem tanpa mengikuti pelatihan itu secara penuh,? katanya. Steele mengakui prosesnya belum selesai. ?Kami memang belum mengubah proses kami terlalu banyak, karena tidak ingin menambah komplikasi proses implementasi,? ujarnya.

Soal manfaat yang sudah mereka petik, seperti sudah disinggung, Wolfram mengklaim ada pengurangan pesanan tak pasti dari 30% menjadi hanya 3% , berkat kolaborasi yang makin baik dengan pabrik-pabrik Nike di Timur Jauh (Asia Pasifik). Siklus manufakturing pun sudah dipersingkat dari 9 bulan menjadi 6 bulan. Steele malah yakin dari siklus 6 bulan masih bisa diturunkan menjadi tiga bulan. Menurut dia, ada syaratnya. ?Butuh perubahan signifikan pada mitra peritel dan pemasok kami, seperti proses yang dijalani Nike,? kata Steele.

?

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved