Listed Articles

William Adams

Oleh Admin
William Adams

Obrolan asyik sekali. Mulai dari novel-novel Kawabata, Mishima, pertunjukan Kabuki, “Louis Vuitton mania”, musim bunga sakura sampai piza yang mengusung Cool Britania yang kini mengubah pilihan makanan di Distrik Harajuku, Tokyo.

“Di Heathrow tadi, Oyuki sulit mengenali kopor Vuitton yang banyak bertengger di ruang pengambilan bagasi?” tanya saya. “Oh, no, Sir. We can not afford to buy even a lady bag,” ia mengaku dengan menahan rasa tersipu. “Lebih baik buat pesiar ke Bali ketimbang beli kopor Vuitton,” sambung Yuriko. Bak seorang pemandu wisata, saya meyakinkan mereka untuk berkunjung ke Indonesia. “Bali is notIndonesia, my dear friends. Masih banyak tujuan wisata yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Be my guests, Yuriko andOyuki. Bring your young students with you,” saya mencoba sok berpromosi.

Ketika saya menyebut nama William Adams, dua guru yang berpenampilan chic itu saling berpandangan. Mata mereka seperti bertanya, siapa sih Mr. Adams? Saya menjawab sebenarnya mereka tahu, tapi mungkin sedikit lupa. Maklum, cerita menyangkut laki-laki Inggris ini sudah lama sekali terjadi. “Allow me to uncorkyour bottle of mind,” ujar saya seraya memeras ingatan agar tak kelewat salah kalau saya menceritakannya.

Pada 1600 sebuah kapal Belanda, Liefde, terdampar di Teluk Usuki, Provinsi Bungo yang sekarang bernama pawasan (perfektur) Oita-ken. Dari 110 awak kapal hanya 6 orang yang selamat mencapai daratan. Nah, salah seorang dari mereka adalah William Adams. Setiba di Jepang, ia bertemu dan berkenalan dengan Ieyasu Tokugawa yang tengah menyiapkan diri membangun kekerajaan (shogunate Tokugawa. Adams diangkat menjadi penasihat Yokugawa di bidang diplomasi dan perdagangan. Ia dianugerahi rumah tinggal di Edo, sekarang Tokyo, dan sebidang tanah di Hemi, Yokosuka. Adams kemudian berganti nama menjadi Miura Anjin, dan dianugerahi gelar samurai — gelar sosial yang amat mentereng di zaman itu. “Wow, menarik sekali,” kata Yuriko. “Dan Wlliam Adams, eh Anjin-san menikahi seorang perempuan Jepang yang namanya sama dengan nama Anda, Oyuki,” saya menambahkan, dan disambut tawa renyah dua ibu guru yang sungguh cantik paras dan hatinya itu.

Mereka terus tertawa, ketika meniru seorang guru saya berkata: “Nah, anak-anak, sekarang pelajaran hari ini sudah selesai. Ayo berdiri dan ucapkan: Shinse, sayonara!” Saya lalu berdiri dan membungkukkan badan — tata cara memberi penghormatan ala Jepang. “Well ladies, I enjoy the tea, and especially the brief discourse. Have a nice trip, and see you somewhere in Bali or Kyoto. Domo arigato, sayonara!” saya membungkuk satu kali, lalu menyalami mereka. Sebuah pertemuan dan perkenalan yang terasa hangat di telapak tangan saya.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved