My Article

2018: Choose Happiness

2018: Choose Happiness

Oleh: Arvan Pradiansyah, Motivator Nasional – Leadership & Happiness

Arvan Pradiansyah

Tahun 2017 telah berlalu membawa berjuta kenangan dan pembelajaran. Ketika sebuah tahun berakhir, hanya ada dua perasaan yang akan menggelayuti kita: bersyukur atau menyesal. Kita bersyukur bila telah melakukan yang terbaik. Sebaliknya kita menyesal bila melakukan banyak kesalahan dan kealpaan sepanjang tahun.

Lantas, bagaimana agar kita dapat melalui 2018 dengan penuh syukur dan terhindar dari penyesalan yang tak berkesudahan? Jawabnya sederhana saja: Anda harus memilih jalan kebahagiaan.

Memilih jalan kebahagiaan nampak begitu mudah. Bukankah ini adalah naluri setiap orang? Bukankah kebahagiaan adalah sebuah pilihan yang alami dan terjadi begitu saja? Bukankah manusia senantiasa mengejar kenikmatan dan menghindari penderitaan?

Namun, persoalannya ternyata tidaklah sesederhana itu. Masalahnya, ada banyak sekali pilihan dalam hidup ini yang mirip-mirip kebahagiaan, seperti kesenangan (pleasure), kenyamanan (comfort), kesuksesan (success), kepuasan (satisfaction), dan nafsu (lust). Saya menyebut pilihan-pilihan ini sebagai pseudo happiness (kebahagiaan yang semu).

Ambilah kesenangan sebagai contoh. Kesenangan sering berbentuk sesuatu yang menggairahkan dan menuntut kita untuk segera memuaskannya, tetapi ketika kepuasan tercapai, yang tinggal hanyalah sebuah penyesalan. Ini tentu saja berbeda jauh dengan jalan kebahagiaan yang pasti akan meninggalkan rasa syukur.

Hal yang serupa juga terjadi pada kenyamanan. Kenyamanan sering membuat orang menolak perubahan dan mempertahankan status quo. Kenyamanan membuat kita berhenti belajar dan tumbuh. Ini tentu saja berbeda dengan kebahagiaan. Kebahagiaan justru terjadi ketika kita berubah, berkembang, dan tumbuh menjadi manusia yang sehebat-hebatnya, atau mencapai Flourish. Istilah yang terakhir ini adalah terminologi yang dikembangkan Martin Seligman, seorang pakar Happiness dari University of Pensylvania.

Kesuksesan juga demikian. Banyak orang yang mengejar kesuksesan menyangka sukses itulah tiket untuk mencapai kebahagiaan. Persoalannya, fakta menunjukkan betapa banyaknya orang yang sudah mencapai puncak kesuksesan memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Padahal, bukankah bunuh diri itu adalah puncak ketidakbahagiaan (unhappiness)?

Nah, kalau perasaan-perasaan yang menyerupai kebahagiaan yang saya sampaikan di atas tergolong ke dalam pleasant feeling, ternyata ada juga perasaan yang tergolong unpleasant feeling tetapi sering juga terlihat sebagai kebahagiaan: kemarahan (anger) dan kebencian (hatred).

Hanya dua perasaan inilah yang menyerupai kebahagiaan. Adapun unpleasant feeling yang lainnya berbeda jauh dengan kebahagiaan sehingga tidak mungkin bisa tertukar, seperti kesedihan (sadness), kekecewaan (disappointment), ketakutan (fear), dan kekhawatiran (anxiety).

Kemarahan dan kebencian sering menyerupai kebahagiaan. Bukankah ketika marah, kita memendam emosi yang begitu besar yang menuntut kita untuk segera melepaskannya agar kita merasa lega dan bahagia? Bukankah kebencian begitu bergelora dalam hati kita dan mendesak kita untuk segera menyalurkannya dalam bentuk-bentuk destruktif yang bisa menyenangkan hati kita? Bahkan, bukankah semakin destruktif, kita akan semakin puas dan semakin bahagia?

Hal ini tentu saja berbahaya karena kelegaan dan kepuasan yang terjadi pada diri kita tidaklah akan berlangsung lama. Coba saja perhatikan apa yang akan terjadi setelah kemarahan mereda dan emosi Anda kembali stabil. Bukankah perasaan puas dan lega yang tadinya Anda nikmati telah berubah menjadi penyesalan dan bukan rasa syukur? Itu sebuah pertanda yang demikian jelas bahwa Anda sudah memilih jalan ketidakbahagiaan.

Agar selamat dalam mengarungi 2018 yang penuh dengan tantangan ini, kita harus dapat menemukan jalan kebahagiaan yang sejati. Ada tiga saringan yang harus kita tanyakan kepada diri kita agar kita tidak memilih jalan yang salah.

Pertama, benar atau salah? Sebelum melakukan sesuatu, tanyakan kepada diri Anda sendiri apakah ini benar atau salah. Benar dan salah bersifat universal dan tidak tergantung pada suku, agama, dan golongan apa pun. Kebenaran senantiasa bersifat mutlak. Tuhan sudah menganugerahkan akal dan budi kepada setiap manusia untuk bisa membedakan yang benar dari yang salah. Pilihlah kebenaran dan kita akan selalu berada dalam kebahagiaan.

Kedua, jangka pendek atau jangka panjang? Kebahagiaan yang hanya berjangka pendek sesungguhnya bukanlah kebahagiaan, melainkan hanya kesenangan. Ketika melampiaskan emosi, kita beroleh kenikmatan jangka pendek tetapi kita sedang menuai kesengsaraan jangka panjang. Apa pun yang mementingkan jangka pendek dan mengorbankan jangka panjang itulah yang disebut dengan dosa. Kebahagiaan adalah ketika kita bisa mengorbankan kenikmatan yang hanya sebentar itu untuk sesuatu yang lebih besar dan berjangka panjang.

Ketiga, enak atau bermanfaat? Banyak orang yang memilih sebuah tindakan semata-mata karena hal itu enak untuk dilakukan. Mereka lupa bahwa apa yang enak belum tentu bermanfaat. Bukankah banyak makanan yang enak tetapi berbahaya bagi kesehatan? Orang yang memilih kebahagiaan tidak akan memilih sesuatu berdasarkan enak-tidaknya, tetapi berdasarkan manfaatnya. Sesuatu yang tidak enak sekalipun akan ia lakukan asalkan hal itu mendatangkan manfaat yang besar. Merokok memang enak, tetapi tidak bermanfaat. Olah raga mungkin tidak enak, tetapi bermanfaat. Orang yang bahagia memilih sesuatu karena manfaatnya, bukan karena enaknya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved