My Article

Abundance Mentality: Spirit Kapitalisme Baru

Ekuslie Goestiandi, Pemerhati dunia manajemen, penulis buku Trilogi Pembelajaran.

Ekuslie Goestiandi, Pemerhati dunia manajemen, penulis buku Trilogi Pembelajaran.

Mendiang Michael D. Ruslim, mantan orang nomor satu di Astra International suka berpesan, “Kalau tak bisa membuat orang lain gembira, jangan membuat mereka susah.” Intinya sederhana: jadikanlah kehadiran kita sebagai sumber kegembiraan, bukan kejengkelan ataupun ketidaknyamanan orang lain. Boleh jadi almarhum berpesan seperti itu, karena melihat ada orang yang justru merasa bangga jika bisa menjadi trouble maker. Semakin bisa mendatangkan kejengkelan pada orang lain, semakin sukacitalah hatinya. Juga, semakin bisa menghadirkan ketakutan pada orang lain, semakin merasa terhormatlah yang bersangkutan.

Tak heran, Aa Gym pernah mengatakan bahwa banyak orang yang susah lihat orang senang, dan senang lihat orang susah. Dalam konteks pekerjaan, apa yang disampaikan dai kondang ini mendapatkan pengukuhan, ketika kita melihat banyak orang yang bekerja dengan mengusung prinsip jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah. Apa pun jargon yang beredar, semua berujung pada sifat yang selfish alias mementingkan diri sendiri. Dikatakan selfish, karena hanya mau senang, menang dan happy sendiri, sekalipun itu harus menyusahkan, menyedihkan dan menjengkelkan orang lain.

Orang-orang selfish akan merasa dirinya hebat, jika melihat orang lain jatuh terkapar. Mereka juga kecanduan untuk merayakan kegembiraan diatas kesusahan orang lain, karena berpandangan my win is your loose. Kita mungkin mengernyitkan dahi ketika merenungkan kalimat ini, tetapi boleh jadi kitapun termasuk salah seorang yang berpikiran seperti itu.

Baru-baru ini saya mendapat kesempatan berdiskusi dengan seorang sahabat dekat William Soeryadjaya, pendiri konglomerasi Astra International. Yang menarik perhatian saya dalam diskusi tersebut bukanlah tentang kepiawaian William dalam berbisnis dan membangun perusahaan sekelas Astra. Justru perilaku keseharian si Om (panggilan akrab segenap karyawan dan kerabat kepada William) yang mendatangkan pencerahan kehidupan. Di antara begitu banyak karakter dan perangainya, salah satu yang paling menonjol adalah sifatnya yang murah hati alias generous. Di mana pun berada, beliau sangat antusias untuk berbagi. Yang dibagikan bisa berupa uang, makanan ataupun oleh-oleh lainnya. Ringkasnya, beliau ingin membagikan kegembiraan kepada sebanyak mungkin orang yang dijumpainya. Tak heran, bahkan seorang Teddy Rachmat, bos Grup Triputra mengatakan, “Om William adalah sosok yang karismatis, yang kehadirannya mendatangkan aura positif dan kesukacitaan bagi orang-orang di sekitarnya.”

Karena kemurahan hatinya, banyak pihak yang berbondong-bondong mengajukan proposal permohonan bantuan kepada William. Ada proposal yang memang faktual adanya, tetapi tak jarang pula terselip proposal bodong, yakni proposal tipuan yang memanipulasi kemurahan hati William. Terhadap proposal bodong itu, William juga kerap mengulurkan tangan untuk memberikan santunan. Apakah dia bodoh dan naif? “Sama sekali tidak!” kata sahabat dekat di atas. William justru adalah sosok yang cerdas. Saat diprotes oleh sang teman karena mengabulkan proposal bodong – dan itu berarti dirinya sedang ditipu – William hanya menjawab ringkas dalam bahasa Belanda, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berarti: “Let ‘em have a good day.” Kemurahan hati William begitu melimpah, bahkan hingga dia merelakan dirinya ditipu sekalipun.

Para pakar psikologi menyebut mentalitas kemurahan hati yang besar itu sebagai abundance mentality alias mentalitas kelimpahruahan. Orang dengan mentalitas seperti ini tak pernah merasa kekurangan, dan oleh karenanya tak ragu untuk berbagi kepada orang-orang di sekitarnya. Ini berbeda dari kebanyakan orang yang cenderung memiliki scarcity mentality atau mentalitas kelangkaan. Mentalitas kelangkaan melihat hidup sebagai zero-sum game, yakni penjumlahan nihil dari dua hal yang saling bertentangan. Jika mau mendapatkan lebih, harus ada pihak yang dikorbankan. Demikian pula, jika mau bergembira, harus ada pihak yang dibuat bersedih hati. Dengan teropong mentalitas seperti ini, menang semata-mata berarti mengalahkan orang lain. Tak heran, orang yang memiliki mentalitas kelangkaan akan sulit berbagi kepada orang lain. Karena dengan berbagi, mereka merasa ada bagian miliknya yang terkurangi.

Sebaliknya, abundance mentality menyikapi hidup dari perspektif yang sama sekali berbeda. Orang seperti ini percaya bahwa apa yang ada di dunia ini lebih dari cukup untuk menghidupi semua makhluk di dalamnya. Mahatma Gandhi mengatakan, “Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed.” Dengan demikian, tak ada alasan untuk ragu berbagi, ataupun takut miliknya akan terkurangi. Justru dengan berbagi, mereka akan mendapatkan kembali. Ini tak ada hubungannya dengan status dan peran seseorang, sekalipun dia adalah pengusaha, yang acap kali diasosiasikan dengan sosok petarung yang suka bersaing dan mengumpulkan kekayaan.

William adalah salah satu contoh terbaik pelaku kapitalisme baru yang dilansir oleh Patricia Aburdence dalam bukunya Megatrends 2010 (Hampton Roads, 2005), yang disebut conscious capitalism alias kapitalisme sadar diri. Kapitalisme jenis ini tak melulu bicara soal transaksi, uang dan kekayaan, tetapi justru sangat peduli dengan perkara semisal etika, kemaslahatan sosial dan kepedulian pada sesama. Dalam hal ini, keuntungan usaha dan kekayaan pemiliknya dimaknai sebagai sarana untuk memperjuangan tujuan kehidupan yang lebih tinggi (higher purpose), yakni kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Dalam hal ini, alam sudah memberikan pertanda yang luar biasa bagi kita. Mari kita bandingkan air yang ada di empang dan di sungai. Air di empang umumnya keruh dan berbau, karena empang hanya menampung air yang masuk dan tak pernah mengalirkan kembali ke tempat lain. Sebaliknya, air di sungai selalu jernih dan segar, karena sungai mengalirkan kembali air yang diterimanya ke tempat lain. Ibarat sungai yang mengalirkan kembali air yang diterimanya, orang yang memiliki abundance mentality juga membagikan kembali rezeki dan kegembiraan hidup yang didapatkannya kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi, seperti kata Om William, “Let ‘em have a good day!”

Ekuslie Goestiandi, Pemerhati dunia manajemen, penulis buku Trilogi Pembelajaran.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved