My Article

Bisnis dengan Pertumbuhan Eksponensial

Oleh Admin
Bisnis dengan Pertumbuhan Eksponensial

Oleh: Utomo Njoto, Senior Franchise Consultant dari FT Consulting – Indonesia.

Website: www.consultft.com

Email : [email protected]

Trend pertumbuhan bisnis sedang sudah bergeser dari linear menjadi eksponensial. Pertumbuhan linear, yang disebut pula pertumbuhan incremental, cukup puas dengan peningkatan 10-20% per tahun, meski sebagian mungkin mampu membukukan pertumbuhan lebih dari 20% per tahun. Sebaliknya pertumbuhan eksponensial berbicara tentang peningkatan 10x lipat.

Utomo Njoto

Utomo Njoto

Mark Bonchek bahkan menggambarkan dalam Harvard Business Review bahwa pola pikir eksponensial adalah bagaimana menambah input 100% dan menghasilkan output 1000%.

Bila bisnis dengan pertumbuhan incremental harus mengendalikan pertumbuhannya agar tidak melebihi kemampuan supply dari mesin produksinya. Sebaliknya, bisnis dengan pertumbuhan eksponensial tidak perlu melakukan hal tersebut. Dalam hal ini platform digital memindahkan sumber daya dari “mesin industri” yang memiliki keterbatasan menjadi “jaringan” (network) seluas-luasnya. Hal itulah yang dipraktikkan oleh para pemain bisnis aplikasi seperti eBay, Amazon, serta nama-nama beken akhir-akhir ini seperti Airbnb, Uber, Go-jek, dan Grab.

Sebelum gelombang platform digital, beberapa upaya untuk tumbuh melewati kapasitas supply mesin produksi adalah dengan cara pemberian (menjual) lisensi, waralaba, dan upaya-upaya produksi dengan cara maklon (produksi di pabrik pihak lain).

Lisensi

Tingginya biaya penelitian R&D mendorong praktik pemberian lisensi. Pabrik farmasi yang menemukan suatu formula dapat segera memberikan lisensi produksi dan pemasaran kepada pihak lain dengan imbalan royalti. Biasanya lisensi ini diberikan untuk wilayah pemasaran yang tidak mengganggu potensi pasar dari pabrik pemberi lisensi tersebut.

Pemberian lisensi yang lainnya, yang lebih banyak dikenal, adalah lisensi design karakter kartun yang dipasang di berbagai produk. Gambar karakter Mickey Mouse dari Disney misalnya, banyak dijumpai terpasang pada botol minum anak-anak. Perusahaan yang hendak memasang gambar karakter Mickey Mouse pada botol minuman yang diproduksinya harus membayar royalti kepada Disney. Dengan strategi lisensi seperti ini, Disney berpotensi mengecap pertumbuhan yang hampir tanpa batas, karena tidak ada unsur mesin produksi di pihak Disney.

Waralaba

Beberapa ikon waralaba kelas dunia seperti McD dan KFC memiliki tingkat pertumbuhan gerai yang luar biasa tinggi. Setiap tahunnya mereka dapat menambah jumlah gerai hingga puluhan ribu. Alfamart dan Indomaret saja bisa menambah gerai hingga seribu lebih dalam setahun. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, yaitu mereka menerapkan strategi kemitraan dengan para pemasok sehingga terlepas dari kendala mesin produksi, dan mereka menawarkan peluang waralaba kepada para investor sehingga terlepas dari kendala permodalan.

Platform Digital

Pertumbuhan eksponensial memang lebih sering dikaitkan dengan fenomena bisnis digital seperti Airbnb, Uber, Go-jek, dan Grab. Dalam konteks platform digital ini, bisnis yang tumbuh secara eksponensial digambarkan harus mencari sesuatu yang “berbeda”, bukan sekedar menjadi “lebih baik”.

Memang tidak mudah menemukan sesuatu yang “berbeda” ini. Siapa menyangka layanan serba gratis seperti facebook, google, dan youtube akhirnya meraup belanja iklan yang sangat besar untuk membiayai bisnis mereka dan … menghasilkan laba usaha yang signifikan?

Salah satu platform digital lokal Indonesia, Tokopedia, memiliki konsep unik. Mereka tidak memungut komisi dari pembeli dan penjual. Kebijakan ini tentu meninggalkan pertanyaan di benak kita, bagaimana perusahaan ini membiayai operasional hariannya?

Masih misterius memang, seperti apa strategi jangka panjang untuk sumber pendapatan Tokopedia ini. Hingga saat ini Toped, demikian nickname mereka, masih mengandalkan modal yang disuntikkan oleh para pemodalnya yang dikenal sebagai modal ventura. Ada beberapa sumber pemasukan yang resmi dipublikasikan, seperti gold merchant dan TopAds. Adapula yang berspekulasi bahwa sebenarnya ada bagi hasil dari jasa kurir pengiriman. Yang pasti, saat ini tampaknya Tokopedia belum membukukan laba usaha yang signifikan.

Menurut Mark Bonchek, pendiri dan CEO (Chief Epiphany Officer) dari Shift Thinking, para pebisnis seringkali harus mampu merasa nyaman dengan “ketidakpastian” di tahap awal bisnisnya, dengan catatan ia harus mampu menjaga visi jangka panjangnya, walau kadang tidak ada gambaran yang jelas mengenai rencana pertumbuhannya akan menjadi seperti apa di kemudian hari.

Menyimak kurva yang disajikan Mark Bonchek, terlihat bahwa dibutuhkan kesabaran dan visi jangka panjang, yang kadang bisa saja merupakan “perjudian besar”. Bahkan di tengah perjalanannya bisa saja pesaing masuk dengan konsep lebih baik, sebelum pertumbuhan eksponensialnya tercapai. Friendster tanpa disangka-sangka tersisihkan oleh facebook. Ketergusuran bisa pula terjadi di awal atau di tengah pertumbuhan eksponensial suatu bisnis. Yahoo secara perlahan namun pasti tergusur oleh Google.

Sebagaimana saran prinsip positioning untuk membangun kategori produk baru, Airbnb tampaknya melenggang hampir tanpa pesaing yang signifikan karena lambatnya pemain lain masuk kategori ini, kecuali di Tiongkok. Pertengahan 2016 dikabarkan Airbnb memiliki listing sebanyak 2 juta di seluruh dunia, namun hanya 30 ribuan yang berlokasi di Tiongkok. Kompetitor utamanya, Tujia, listingnya mencapai 420 ribu lokasi. Satu lagi kompetitor di Tiongkok, Mayi, mengklaim memiliki listing sebanyak 300 ribu lokasi.

Negara tirai bambu ini memang menjadi momok bagi para kampiun bisnis asal Amerika. Dari bisnis waralaba, tersiar kabar bahwa KFC (Yum) dan McD akhirnya memutuskan untuk keluar dari kepemilikan bisnis di negari tirai bambu tersebut, menjual sahamnya kepada mitra lokalnya. Di bisnis digital, konon eBay tergagap-gagap menghadapi Alibaba di sana. Uber pun memilih untuk merger dengan pesaingnya di sana, Didi Chuxing.

Mengamati kurva dari Mark Bonchek, mungkin dapat disimpulkan bahwa bisnis digital seperti Go-jek, Grab, Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan beberapa Apps lokal Indonesia belum memasuki tahap pertumbuhan eksponensial. Mereka semua masih sedang “membangun” menuju pertumbuhan.

Gugur sebelum berkembang

Untuk bersaing di bisnis dengan pertumbuhan eksponensial sebagaimana yang diungkap dalam kurva tersebut, kita memahami bahwa persaingannya membutuhkan nafas panjang, khususnya dari sisi keuangan. Kehadiran Go-jek sempat melahirkan Blu-jek dan Lady-jek serta mungkin masih ada jek-jek yang lain.

Situs belanja online juga tidak luput dari peristiwa gugurnya pemain sebelum tumbuh berkembang secara eksponensial. Rakuten Belanja Online yang diluncurkan 2011 akhirnya tutup di awal 2016 lalu. Sementara itu, menurut kompas.com, situs belanja online multiply.co.id yang bermula dari jejaring sosial mengibarkan bendera putih di tahun 2013, hanya berselang 2 tahun dari tahun peluncurannya sebagai situs jual beli online yang mengusung konsep “social shopping”.

Tampaknya bisnis dengan pertumbuhan eksponensial akan membutuhkan kehadiran banyak pemodal ventura, yang konon masih langka di Indonesia. Pemodal ventura yang mendanai Apps lokal masih didominasi oleh pemodal ventura dari luar negeri, seperti SoftBank, Sequoia Capital, Vertex Ventures, Farallon, Northstar, dan beberapa nama yang mungkin terdengar asing di telinga kita.***


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved