Column

ABS (Asal Bapak Senang)

Oleh Editor
Ilustrasi : Foto istimewa.

“Keyakinan diri itu tak bersuara. Ketidak-amanan diri itu nyaring bunyinya.”

Presiden Sukarno suka musik dan menari. Ia pernah punya ajudan bernama Nelson Tobing yang pandai bernyanyi. Nelson adalah saudara penyanyi Gordon Tobing. Adapun tari kesukaan Sukarno adalah tari Lenso, tarian muda-mudi dari daerah Maluku dan Minahasa.

“Ia (Sukarno) memilih tari Lenso sebagai saluran pergaulan,” kata salah satu mantan ajudannya, Bambang S. Widjanarko, dalam Sewindu Dekat Bung Karno (1988:83). Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Howard Jones pernah ikut menari Lenso bersama Sukarno beserta istrinya.

Untuk mengiringi tarian kesukaan Sukarno yang sering digelar di istana, Resimen Cakrabirawa pengawal Sukarno membentuk sebuah band bernama Asal Bapak Senang (ABS). Dan, nampaknya dari sinilah lahir idiom ABS (Asal Bapak Senang) yang kita kenal hingga kini.

Istilah ABS ini dalam perjalanannya berbelok menjadi istilah yang berkonotasi negatif. Istilah ini ditujukan kepada segenap kebiasaan dan perilaku anak buah terhadap atasannya, yang akan melakukan apa pun (baik dan buruk), yang penting bos gembira ria.

Dalam konteks yang buruk, istilah ABS nyaris identik dgn pemahaman perilaku “menjilat” atasan. Mengatakan ucapan atau melakukan tindakan yang diperkirakan akan menyenangkan sang atasan. Sebuah petuah menuturkan, “Berhati-hatilah terhadap para penjilat. Merekalah orang-orang yang paling pertama bicara yang bukan-bukan dan suka membuat drama.“

Contoh paling fenomenal dalam sejarah kenegaraan bangsa ini adalah gaya Harmoko, Menteri Penerangan zaman Orde Baru, yang begitu cemerlang mengumbar gaya ABS-nya. Konon ia menteri yang amat disayang oleh Presiden Soeharto (Harmoko satu-satunya Menteri Penerangan yang menjabat dua periode). TVRI yang waktu itu memonopoli penyiaran visual secara nasional, plus RRI yang cukup dominan, banyak diisi dengan wajah Harmoko yang selalu tampil dengan senyum dan memulai ucapannya dengan kalimat standar ABS-nya, “Sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden … ,” dan seterusnya.

Dan, puncak kisah gaya ABS ini adalah saat menjelang lengsernya Pak Harto. Beberapa selang waktu sebelumnya, Harmoko secara terbuka, terlihat di seluruh media massa, “memohon’” kesediaan Soeharto untuk menjadi presiden kembali. Dikatakan Harmoko, itu karena rakyat menghendaki demikian.

Soeharto pun menjawab dengan kata yang kini pun menjadi kata populer, “Saya miris mendengar harapan rakyat itu.” Dan, Soeharto pun terpilih kembali menjadi Presiden ke-7 kalinya pada Sidang Umum MPR, 10 Maret 1998.

Ternyata, perkembangan politik yang terjadi, rakyat, yang sudah tak tertahan, makin meningkatkan aksi-aksi turun ke jalan. Mereka menghendaki Soeharto lengser. 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menduduki gedung MPR. Dan bak petir di siang bolong, pada tanggal yang sama Harmoko meminta Soeharto mundur dari jabatannya.

Cukup dua bulan bagi Harmoko, sang penganut ABS terhadap bosnya, untuk berbalik arah, menjatuhkan sang bos tanpa ampun. Mungkin benar pendapat ini, “Penggemar berat Anda itu hakikatnya orang asing. Pembenci sejati Anda adalah orang yang Anda kenali luar-dalam.”

Gaya ABS, sejatinya, dalam takaran yang wajar adalah sesuatu yang normal. Wajar bahwa bawahan ingin menyenangkan atasan. Bukankah memang secara hakiki, dianjurkan kepada segenap umat manusia untuk selalu berusaha menyenangkan orang lain? Wajar, atasan juga senang bisa disenangkan oleh orang lain, termasuk oleh bawahannya.

Sejauh mana batasan sikap ABS yang negatif itu memang tak mudah dirumuskan. Dalam kehidupan kerja keseharian, banyak terjadi bawahan yang melakukan suatu hobi menyesuaikan dengan hobi atasan. Bermain golf, misalnya. Ada banyak kasus, hanya karena si bos penggemar berat golf, sang bawahan pun turut bermain.

Karena bos senang karaoke, bawahan pun ikut-ikutan berkaraoke (meski pasangan di rumah sangat tidak menyukai hobi ini). Indikasi ABS negatif lainnya dapat dilihat dalam keseharian kerja. Sikap selalu mengiyakan permintaan atasan, tanpa berusaha mengingatkan bahwa permintaan itu tak benar, atau sikap sebagai “yes man”, adalah indikasi nyata ABS.

Perilaku sikut-menyikut terhadap kolega agar ia sendiri yang nampak hebat di mata atasan, juga satu indikasi lain. Dan, banyak lagi tutur kata dan perilaku yang menunjukkan seseorang adalah penganut ABS. Semua dapat dirasakan oleh lingkungan kerjanya. Kadang terlihat secara kasat mata, kadang hanya auranya yang dapat dirasakan secara tersamar. Dan pada dasarnya, sikap keseharian seorang penganut ABS adalah sikap palsu. Tidak asli, tidak genuine.

Mungkin karena soal-soal semacam ini, Don Corleone (Marlon Brando) menyatakan, “Dekatlah dengan kawan-kawanmu. Tapi lebih dekatlah dengan musuh-musuhmu.” Atau dalam kalimat lain, “Jangan takutkan orang yang menyerang Anda. Tapi waspadalah terhadap kawan palsu yang memeluk Anda.” Atau, “Jangan biarkan orang yang bodoh mencium Anda atau sebuah ciuman membodohi Anda,” kata Joey Adams.

Karena memang, pada ujungnya, orang-orang ABS inilah yang berpotensi besar untuk menyusahkan atasan, ketika waktunya tiba.

Demikianlah kenyataan soal negatif ini, terjadi dan ada di mana-mana. Konon, kepalsuan (sikap dan perilaku) adalah tren baru dan banyak orang yang mengikuti tren ini. Wallahualam. (*)

Pongki Pamungkas


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved