Column

Bolehkah Iri di Tempat Kerja?

Oleh Editor
Ilustrasi iri (foto: istimewa).
Ilustrasi iri (foto: istimewa).

Apa jawaban Anda terhadap pertanyaan di atas? Saya yakin mayoritas dari Anda akan mengatakan, “Tidak boleh”. Alasannya jelas. Iri itu tidak baik, tidak sehat, bahkan jahat. Dan, karena alasan itu pulalah, tidak ada orang yang mau mengakui bahwa ia sering iri kepada rekan kerjanya.

Padahal ―dan saya berani memastikan hal ini― setiap orang itu sesungguhnya iri terhadap rekan kerjanya. Saya menyimpulkan hal ini dari pembicaraan dan diskusi yang saya lakukan dengan banyak profesional di banyak kantor dengan jenis industri yang berbeda-beda. Kita sesungguhnya iri kepada rekan kerja yang lebih hebat, lebih kompeten, dan lebih sukses. Namun, karena merasa iri bukanlah hal yang baik, kita tidak mau mengakuinya. Kita menyimpan rasa iri tersebut dalam-dalam, menguncinya rapat-rapat di “ruangan rahasia” dalam diri kita.

Padahal, sesungguhnya tidak ada yang salah dari rasa iri. Justru yang aneh itu adalah orang yang tidak punya rasa iri. Seorang profesional sejati ketika melihat orang lain lebih sukses pasti ingin mendapatkan hal yang sama. Itulah ciri seorang profesional. Profesionalisme selalu ditandai dengan keinginan untuk menjadi lebih sukses, lebih hebat, dan lebih berprestasi. Tanpa keinginan seperti itu, kita justru perlu mempertanyakan profesionalisme seseorang.

Jadi, marilah kita melihat iri dalam kacamata yang positif. Iri itu bukan emosi negatif, tetapi emosi yang positif. Iri memberikan sebuah informasi bahwa ada sesuatu yang kita inginkan yang belum bisa kita capai. Iri juga memberikan informasi bahwa sesuatu yang kita inginkan itu sangat penting bagi kita. Bukankah informasi seperti ini sangat berharga untuk pengembangan diri kita?

Intinya, iri itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah keinginan. Ingin sesuatu yang lebih baik, lebih berarti, lebih berharga. Ingin mendapatkan perubahan nasib. Dan, itu semua adalah tanda bahwa Anda adalah orang yang sehat.

Apa beda iri dengan keinginan? Iri itu adalah keinginan yang baru terjadi setelah kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Jadi, ada proses komparasi di sini. Kita menginginkan sesuatu setelah melihat ada orang lain yang mendapatkan sesuatu itu. Tanpa adanya proses komparasi, yang terjadi semata-mata adalah keinginan. Saya ingin makan, ingin minum, itu terjadi tanpa perlu melakukan komparasi. Yang menarik, biasanya keinginan yang tidak didahului oleh proses komparasi itulah yang sesungguhnya disebut sebagai kebutuhan. Saya ingin mempunyai rumah, ingin punya kendaraan sendiri. Ini adalah kebutuhan ―karena dorongan terhadap hal tersebut datang dari dalam.

Yang membuat kita maju itu sesungguhnya adalah keinginan, bukan kebutuhan. Jadi, ini membutuhkan sebuah proses membandingkan dengan seseorang yang berada di luar diri kita. Ini yang sering disebut dengan studi banding atau benchmarking. Tanpa adanya proses komparasi, kita hanya akan sekadar memenuhi kebutuhan, dan sekadar memenuhi kebutuhan akan membuat hidup kita berjalan secara biasa-biasa saja. Yang membuat kita maju dan berkembang bukanlah kebutuhan, tetapi keinginan.

Jadi, proses komparasi itu sesungguhnya sangatlah penting untuk menciptakan kemajuan. Lihatlah apa yang terjadi dengan bangsa Korea. Mereka membandingkan dirinya dengan bangsa Jepang dan berusaha mengungguli Jepang sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan, kini semua perjuangan mereka telah membuahkan hasil. Paling tidak, Samsung sekarang bisa mengungguli Sonny, Hyundai menyaingi Honda, dan drakor jauh lebih digemari daripada drama Jepang.

Keinginan yang didahului proses komparasi itulah yang disebut dengan iri. Jadi, iri itu sangatlah positif. Namun, mungkin Anda bertanya, “Bukankah rasa iri itu sering membuahkan sesuatu yang negatif seperti ketidaksukaan, atau keinginan untuk mengganggu bahkan menghancurkan orang lain?”

Kalau Anda mengatakan demikian, Anda salah. Iri itu selalu positif. Tidak ada iri yang negatif. Perilaku-perilaku negatif yang saya contohkan di atas itu sama sekali bukan iri. Itulah yang dimaksud dengan dengki.

Iri sungguh berbeda dengan dengki. Iri itu selalu positif, sementara dengki selalu negatif. Iri adalah sebuah energi yang sangat dahsyat, yang bisa menggerakkan apa pun menuju situasi yang diinginkan. Namun, itu hanya terjadi bila energi itu diarahkan ke dalam diri kita. Bila energi iri itu diarahkan keluar, menuju orang yang kita irikan, itulah yang dimaksud dengan dengki.

Ada kalanya energi yang dahsyat itu kita diamkan begitu saja. Ketika melakukan hal itu, kita sesungguhnya sedang melawan hukum alam. Dan, kita sedang menentang hukum energi yang selalu mengalir. Maka, ketika energi tidak mengalir, kita akan merasa galau, rendah diri, tak berdaya, dan tak berharga. Bila Anda pernah merasakan emosi-emosi tersebut, itu pertanda bahwa Anda menyimpan energi iri yang sama sekali tidak Anda salurkan.

Salah satu tanda bahwa iri Anda sehat adalah Anda berani mengakuinya secara jujur, bahkan kalau perlu langsung kepada orang yang Anda irikan. Anda mendekati orang ini dan mengakui bahwa Anda ingin seperti dia, bahkan ingin belajar dan berguru kepadanya. Saya berani menjamin bahwa orang itu akan bersedia untuk berbagi rahasia suksesnya kepada Anda.

Namun, boleh jadi Anda justru merasa takut dengan anjuran saya tadi. Anda berkata, “Mana mungkin saya berterus terang kepada orang yang saya irikan?” Nah, kalau Anda mempunyai pikiran seperti ini, jangan-jangan yang Anda rasakan itu sesungguhnya bukan iri. Inilah yang disebut dengan dengki.

Arvan Pradiansyah*) Motivator Nasional Leadership & Happiness.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved