Column

Di Mana Kalian, Wahai Para Gentleman ?

Oleh Editor
Ilustrasi aksi demo (Istimewa).

Saya hanya mampu mengelus dada, melihat kenyataan bangsa kita yang besar ini, yang tengah dilanda duka, terus direpotkan dengan aksi-aksi politik yang sama sekali tak mencerminkan rasa duka.

Di tengah serbuan virus yang terus mengganas, dalam suasana ancaman resesi ekonomi, tak banyak tokoh politisi yang berjuang dalam fokus penanggulangan virus. Gerombolan demi gerombolan pendemo terus tampil untuk menuntut hal-hal yang tidak relevan dengan situasi duka yang ada. Dengan berdemo, jelas mereka mengabaikan anjuran protokol kesehatan, membuat kerumunan orang yang sangat rentan terhadap penularan virus.

Tak salah bila Gus Dur almarhum menyebut para politisi itu sebagai “gelandangan politik”.

Dari prinsip dasar negara kita yang menganut sistem demokrasi, menyuarakan pendapat adalah hal yang sah untuk dilakukan. Dan dalam karut-marut ini, tak salah kalau banyak pendapat yang minor mengenai sistem demokrasi.

“Demokrasi adalah pemilihan orang oleh orang-orang banyak yang tak kompeten, memilih sedikit orang yang korup,” kata George Bernhard Shaw. “Demokrasi itu indah dalam teori, tetapi merupakan kesesatan dalam praktik,” kata Benito Mussolini. “Demokrasi adalah proses voting dua serigala dan seekor kambing, untuk menentukan menu makan siang,” kata Benjamin Franklin.

Pandangan-pandangan negatif itu cocok dengan realitas, bahwa bila sistem yang sejatinya adalah sistem yang mulia, nguwongke setiap warga negara, tersesat menjadi sistem yang chaos, sistem yang seolah-olah mengizinkan setiap orang boleh bertindak semaunya.

Kepercayaan akan ampuhnya demokrasi pun meluntur. Ia menjadi suatu sistem yang seolah-olah menghargai etika kemanusiaan (one man one vote), vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), menjadi sistem yang tak efektif bagi kemajuan bangsa dan negara.

Mengenai kepercayaan yang meluntur itu, dikatakan, “Kepercayaan itu ibarat penghapus. Ia akan makin mengecil seiring terjadinya kesalahan demi kesalahan.”

Kita bisa lihat, dalam kenyataan, bila ada pelaku demo atau orang-orang yang berbuat ricuh dengan tindakan dan ucapan-ucapannya, lalu ditindak oleh aparat hukum, mereka berdalih dengan lantang, “Kita ini negara demokrasi. Kami punya hak untuk menyuarakan hak-hak kami.”

Belum lagi bila kemudian lebih lanjut, dengan bertamemg isu hak asasi manusia (HAM), seolah-olah mereka semua itu kebal hukum. Tak tersentuh hukum.

Padahal sejatinya, sesuai dengan hukum alam, bila kita berbicara perihal hak, mestinya berimbang dengan kewajiban. Sebagaimana hukum alam yang menyatakan kehidupan itu berpasang-pasangan. Ada siang ada malam. Ada hujan ada panas.

Kewajiban itu tak jauh maknanya dengan soal tanggung jawab. Kita berhak menikahi seseorang, tetapi kita berkewajiban atau bertanggung jawab atas pernikahan itu, sebagai contoh. Dan, itulah watak gentleman.

Di sinilah masalah terbesar kita semua. Semua orang hanya pandai menuntut hak demi hak yang mereka rasakan sebagai miliknya. Namun, di sisi lain mengabaikan dan melupakan, atau berpura-pura abai dan lupa, atas kewajiban dan tanggung jawab kita.

Banyak contoh yang secara gamblang menunjukkan ketidakseimbangan soal hak dan tanggung jawab ini. Para buron politik atau pencoleng ekonomi menunjukkan hal itu. Atau dalam skala lebih kecil, dalam kehidupan netizen, betapa banyak hater atau pembuat hoax, begitu tertangkap, mereka tersedu-sedan minta maaf. Dengan pelbagai alasan untuk mengindari hukuman. Mereka seolah-olah lupa, perbuatan lancung mereka itu dapat mengakibatkan hukuman pemenjaraan.

“Tanggung jawab menemukan solusi. Tak bertanggung jawab mencari-cari alasan,” kata Gene Bedley. “Anda harus selalu bertanggung jawab atas tindakan Anda, tak peduli bagaimana Anda rasakan,” kata Robert Tew.

Kembali dalam konteks demokrasi, “Kapasitas orang tentang (pemahaman) keadilan memungkinkan adanya demokrasi. Tetapi kecenderungan orang untuk tidak adil membuat demokrasi tak bermakna,” kata Reinhold Niebuhr.

Tak dapat disangkal, banyak orang yang tidak fair, tidak adil, tidak gentle, menjustifikasi dirinya selalu benar. Kalau ada yang salah, itu adalah salah orang lain. Buruk muka cermin dibelah. Tak pandai menari, lantai disalahkan. (Idiom “gentleman”, bahasa Inggris, adalah pengartian bagi orang yang berbudi luhur dan selalu bertanggung jawab)

Padahal, “Kebebasan itu bermakna tanggung jawab,” kata George Bernard Shaw. Dan, keberanian serta karakter bertanggung jawab itulah justru indikasi utama karakter positif seorang gentleman. Bak bumi dan langit, kita bisa belajar soal ini dari kasus Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dibandingkan Habib Rizieq, yang tak akan terlupakan dalam sejarah politik negara ini. “Harga dari suatu kehebatan adalah tanggung jawab,” kata Winston Churchill.

Akhirul kalam, “Kita membangun hidup dengan apa yang kita terima, tetapi kita membangun kehidupan dengan apa yang kita berikan,” kata Winston Churchill lagi. Memberi lebih banyak ketimbang mengambil lebih banyak jelaslah suatu kebajikan hidup yang mulia.

Jangan pernah lupakan kewajiban dan tanggung jawab Anda. Itu kalau Anda mau disebut gentleman.

Pongki Pamungkas *) Penulis buku-buku Life and Management Wisdom Series.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved