Column

Empati = Radar Sosial

Empati = Radar Sosial

“Pengembangan budaya adalah soal menarik emosi. Anda harus membuat mereka menerima gagasan Anda dengan hati dan perasaan mereka, tidak hanya dengan otak mereka “ (Lou Gerstner – IBM ).

Pongki Pamungkas, PT Serasi Auto Raya, Pernik, empati, radar sosial, leadership

Pongki Pamungkas

Kimberly Clark berusaha benar memahami kebutuhan pasar. Mereka memperhatikan cara para orang tua dan anak-anak balita mengenakan popok. Akhirnya, didapati bahwa anak-anak balita ini memerlukan langkah pertama sebelum mampu berpakaian sendiri. Temuan ini mengantar lahirnya kreasi Hugges Pull-Ups, yang memungkinkan balita mengenakan popok sendiri. Pemahaman yang bersifat empati ini menghasilkan penjualan hingga US$ 400 juta per tahun, sebelum kemudian temuan ini ditiru para produsen lain.

Sebuah bus penuh orang tua dan anak-anak melaju ke hotel, pulang dari suatu taman rekreasi anak-anak. Semua lelah usai seharian bermain. Anak-anak mulai rewel. Orang tua mulai menggerutu. Lalu tiba-tiba, di tengah rengekan anak-anak dan gerutuan orang tua, terdengar nyanyian lembut. Sopir bus, yang suaranya cukup merdu, menyenandungkan lagu Under the Sea dari film The Little Mermaid. Rengekan dan gerutuan lenyap. Semua terbawa alunan nyanyi Pak Sopir. Lalu, seorang gadis kecil ikut mengiringi menyanyi. Kemudian, menyusul beberapa anak lainnya. Dan di akhir perjalanan, semua penumpang menyanyikan The Circleof Life dari film Lion King. Suasana runyam berubah menjadi ceria karena Pak Sopir memahami cuaca hati para penumpangnya.

Konon, perundingan mengenai perceraian antara Kathie Holmes dan Tom Cruise, yang semula diperkirakan akan berlangsung sangat ketat, ternyata dapat dituntaskan dalam waktu yang relatif pendek. Kedua belah pihak bersedia menerima kesepakatan-kesepakatan itu dengan baik. Konon pula, keberhasilan itu, menurut banyak orang, dimungkinkan oleh kemahiran para pengacara mereka. Dikatakan oleh para pengamat hukum, pengacara Holmes ataupun Cruise itu dikenal sebagai pengacara yang empatis.

Daniel Goleman – dalam bukunya Working with Emotional Intelligence – menyatakan, “Negosiator yang efektif dapat merasakan apa-apa yang paling penting bagi pihak lain. Negosiator yang efektif dengan tulus memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memperoleh apa-apa yang mereka harapkan, sembari mengupayakan agar pihak lain juga memberi timbal balik untuk hal-hal yang penting bagi pihaknya sendiri, tanpa mengobarkan emosi. Itu semua memerlukan empati .”

Menurut Goleman, kemampuan mengindera emosi seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya, itulah intisari empati. Orang jarang mengungkapkan emosi lewat kata-kata. Sebaliknya, pada umumnya orang mengemukakan emosi lewat nada suara, ekspresi wajah atau cara-cara nonverbal lain. Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat menyatakan, dari seluruh waktu yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi, 22% digunakan untuk membaca dan menulis, 23% untuk bicara, dan 55% untuk mendengarkan.

Mampu mendeteksi isyarat emosi seperti itu penting dalam situasi-situasi ketika orang memiliki alasan untuk menyembunyikan perasaan mereka sesungguhnya. Misalnya, sikap calon pembeli mobil yang berpura-pura tidak tertarik terhadap mobil yang sebenarnya ia sudah sangat ngebet untuk memilikinya. Atau, sikap ketika kita berpura-pura “nggak kecewa” terhadap sang pacar manakala dia terlambat dalam kencan.

Sebab, kata Freud, “Manusia, sesungguhnya, tidak dapat menyimpan rahasia. Jika bibir mereka diam, mereka bergosip lewat jemari mereka. Kebenaran memaksakan dirinya keluar lewat setiap pori-pori.” Atau menurut pandangan Peter Drucker, “ Hal paling penting dalam berkomunikasi adalah mendengarkan apa-apa yang tidak dikatakan.“

Nah, menurut Goleman, kemampuan berempati atau memahami cara-cara berkomunikasi itu dapat dibangun di atas kecakapan-kecakapan yang lebih mendasar, khususnya kecakapan dalam hal kesadaran diri (self-awareness) dan pengendalian diri (self-control). Tanpa kemampuan mengindera perasaan kita sendiri, kita tidak akan mungkin peka terhadap suasana hati orang lain. Dalam budaya Jawa, para tetua selalu mengingatkan agar kita selalu eling lan waspodo ( sadar dan berhati-hati).

Bagi para pemimpin, disarankan dan sangat bermanfaat bila kita mampu menelaah perihal empati atau radar sosial ini dalam hubungannya dengan kepemimpinan Bukankah dari pelbagai persyaratan kepemimpinan yang efektif, salah satu di antaranya adalah kecekatan kepemimpinan (leadership agility), yaitu kemampuan bekerja dengan gaya berbeda-beda, terhadap setiap orang yang dihadapi, yang berbeda-beda pula.(*)

Pongki Pamungkas adalah Presdir PT Serasi Autoraya


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved