Column

Erick Tohir, BUMN, dan Akhlak

Oleh Editor
Erick Tohir, BUMN, dan Akhlak
Ilustrasi foto dok. antaranews.com.
Ilustrasi foto dok. antaranews.com.

Salah satu materi motivasi yang paling banyak saya berikan dalam dua tahun terakhir ini adalah tentang Akhlak. Ini bukanlah semata-mata ajaran dan panduan untuk berbuat baik. Ini adalah corporate values semua BUMN kita. Saya kira inilah satu terobosan terpenting yang dibuat oleh Menteri BUMN Erick Tohir.

Erick bukanlah seseorang yang dibesarkan dalam sejarah panjang BUMN kita. Ia sejatinya adalah orang swasta, pengusaha nasional yang diamanahi Presiden untuk membenahi BUMN.

Di awal masa jabatannya, muncullah kasus di tiga BUMN yang cukup terpandang: Garuda Indonesia, Jiwasraya, dan Asabri. Tiga kasus ini sesungguhnya adalah sebuah blessing in disguise untuk Erick. Sebagai orang baru yang berlatar belakang swasta, ia tentunya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memahami budaya BUMN kita, tetapi ketiga kasus di atas telah mempercepat kurva belajar Erick dan membawanya sampai pada masalah utama BUMN kita: kurangnya akhlak.

Mengapa tiba-tiba saya mengangkat topik ini? Tentu saja, saya tidak ingin membahas hal ini dari sudut pandang politik ⸺yang memang bukan merupakan bidang dan minat saya. Saya juga bukan pengamat ekonomi atau pemerhati kebijakan publik. Bidang saya adalah Leadership dan Happiness. Yang pasti, keputusan Erick memilih Akhlak sebagai core values semua BUMN kita berdampak cukup besar terhadap pekerjaan saya sebagai Motivator dan Konsultan di banyak perusahaan.

Belum genap seminggu diluncurkannya Akhlak pada Juli 2020, sebuah perusahaan besar mengundang saya untuk memberikan motivasi mengenai apa itu Akhlak dan relevansinya dengan aktivitas di korporasi.

Acara tersebut berlangsung dengan sangat meriah dan diikuti jajaran pimpinan di perusahaan yang beroperasi dari Sabang sampai Merauke tersebut ⸺serta melibatkan audiens lebih dari 1.000 pemimpin perusahaan. Setelah itu, berbagai BUMN silih berganti meminta saya untuk bicara mengenai Akhlak dalam berbagai kesempatan dan forum penting organisasi. Ini masih berlangsung terus sampai hari ini.

Apa sesungguhnya yang ingin saya ceritakan di sini? Jangan salah, saya tidak sedang membicarakan tugas saya sebagai Motivator dan meningkatnya permintaan akan jasa yang saya berikan. Bukan itu poin pentingnya. Yang ingin saya bagikan di sini sesungguhnya adalah sebuah berita gembira (good news) mengenai BUMN kita.

Kalau semua pemimpin BUMN adalah orang-orang yang berakhlak, bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi dengan negara kita? Bukankah BUMN kita memiliki aset sampai Rp 8.400 triliun dan merepresentasikan 55% dari nilai PDB Indonesia? Bila aset sebesar itu dikelola oleh para profesional yang berakhlak, bukankah ini memberikan harapan yang sungguh besar bagi kejayaan Indonesia?

Lantas, apa catatan menarik saya berkaitan dengan hal ini? Yang paling penting sesungguhnya terkait dengan implementasi Akhlak itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, Akhlak yang diusung Erick diterjemahkan menjadi akronim dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif.

Pemaknaan ini sesungguhnya adalah kreativitas yang luar biasa. Ini juga baik sekali dalam menerjemahkan Akhlak menjadi enam nilai BUMN yang lebih operasional. Sayangnya, dalam penerapannya, akronim ini seakan-akan telah menggantikan arti dan makna yang orisinal dari akhlak itu sendiri.

Kalau Anda mempunyai teman dan sahabat yang bekerja di BUMN, cobalah tanyakan kepada mereka apa itu Akhlak. Kemungkinan besar mereka akan menjawab bahwa Akhlak itu adalah Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif.

Saya sering menanyakan hal ini dalam sesi-sesi saya ⸺juga dalam berbagai pertemuan dengan pimpinan BUMN. Pertanyaannya, apakah hal itu salah? Tentu saja, tidak. Namun, hal ini tanpa disadari telah mendegradasi arti dan makna akhlak yang sebenarnya.

Kata akhlak sesungguhnya berasal dari bahasa Arab yaitu “khuluk” yang berarti perilaku, tabiat, atau kebiasaan baik yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Jadi, inti akhlak adalah bagaimana menjadi orang baik.

Kata-kata “baik” ini perlu digarisbawahi. Akhlak bukanlah tentang menjadi orang yang pintar, cakap, dan ahli. Akhlak adalah tentang menjadi orang yang baik. Inilah dasar dari semua kegiatan di perusahaan. Selama belum berhasil menjadi orang baik, apa pun yang kita lakukan tidaklah akan memberikan nilai tambah. Selama belum menjadi orang baik, maka keahlian, kecakapan, dan kepandaian yang kita miliki justru akan menjadi liabilities, bukan aset.

Masalahnya, menjadi orang baik itu tidak mudah. Kita harus senantiasa terhubung dengan sumber kebaikan. Kita harus menyadari adanya “pertempuran” terus-menerus yang terjadi dalam diri kita. Kita juga harus menyadari niat kita, menyadari pikiran yang terbetik dalam diri kita, sekecil apa pun. Kita juga perlu betul-betul mengenali kelemahan kita sebagai manusia. Kita perlu tahu kapan kita sering jatuh dan godaan apa yang sering menyebabkan kita terjatuh.

Menjadi orang baik sungguh tidak mudah. Ada banyak sekali jebakan yang mengintai di mana-mana. Inilah inti menjadi manusia berakhlak. Kesemuanya ini membutuhkan pemahaman, pembelajaran, dan latihan yang tidak sedikit.

Maka, ketika Akhlak dipahami sebagai sebuah akronim, sesungguhnya kita tanpa disadari sudah melakukan degradasi terhadap arti akhlak itu sendiri. Yang juga menarik, akronim ini kemudian menimbulkan sebuah pemahaman baru di kalangan pimpinan BUMN bahwa Akhlak bukanlah sesuatu yang “istimewa-istimewa amat” ⸺ia sesungguhnya sudah ada dalam nilai-nilai BUMN yang lama⸺ dengan istilah dan akronim yang berbeda-beda di setiap perusahaan.

Dengan demikian, tercipta kesan bahwa Akhlak ini hanyalah sebuah kemasan baru dari barang lama ⸺sesuatu yang selama ini sudah ada dan sudah dilakukan di perusahaan masing-masing. Di sinilah kita akan melupakan sejarah ⸺asbabun nudzul⸺ raison d’etre, alasan utama, mengapa Erick meluncurkan Akhlak.

Padahal, alasan ini adalah sesuatu yang sangat penting. Bahkan, inilah yang menjadi alasan Tuhan menurunkan berbagai utusan-Nya di muka bumi. Bukankah Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlaq.”

Arvan Pradiansyah*) Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved