Column

Fenomena Sharing Economy

Oleh Admin
Fenomena Sharing Economy

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh berita hengkangnya Ford dari Indonesia. Tentunya, hal ini bukanlah keputusan yang dibuat dalam semalam. Penjualan Ford di Indonesia yang mencapai 12.008 unit pada tahun 2014, langsung anjlok lebih dari 50 persen, menjadi hampir 5.000 unit pada tahun 2015. Selain Ford, KIA juga mengalami hal yang serupa. Pada tahun 2015, penjualan KIA mencapai 2.814 unit. Angka penjualan ini turun 68,5 persen dibandingkan penjualan pada 2014 yang menembus angka 8.936 unit.

Banyak ahli berpendapat bahwa fenomena ini merupakan sebuah akibat dari pelemahan ekonomi global. Namun demikian, sebenarnya tersimpan makna lain dibalik fenomena yang ada. Tahun 2010, penduduk dengan rentang usia 21 hingga 34 tahun di Amerika Serikat hanya membeli 27% dari seluruh kendaraan baru yang dijual. Angka ini mengalami penurunan lebih dari 10% jika dibandingkan dengan fenomena yang sama di tahun 1985. Jika dibandingkan, tren penjualan mobil ini berbanding terbalik dengan kepemilikan smartphone. Pemuda kini lebih mengutakamakan akses terhadap dunia maya dibandingkan dengan memiliki aset dalam bentuk fisik. Salah satu yang termasuk dalam aset fisik ini adalah mobil.

Belum ada penjelasan yang pasti mengenai fenomena ini. Namun, salah satu perubahan yang kentara adalah penduduk usia muda lebih memilih menggunakan kendaraan umum, sepeda, atau jasa transportasi yang disediakan oleh Zipcar, sebuah start-up yang menyediakan jasa car-

Fitri Safira M.M. – Trainer, Jasa Pengembangan Eksekutif | PPM Manajemen

Fitri Safira M.M. – Trainer, Jasa Pengembangan Eksekutif | PPM Manajemen

Kini, perlahan tapi pasti, pola konsumsi masyarakat di negeri Paman Sam tersebut mulai berubah. Mereka tidak lagi berfokus pada kepemilikan barang, namun pada konsumsi barang tanpa perlu memiliki barang tersebut. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah sharing economy atau collaborative consumption.

Sharing economy, atau collaborative consumption adalah sebuah bentuk model bisnis baru yng dibangun berdasarkan konsep berbagi sumber daya (shared resources). Kemampuan untuk berbagi dari sumber daya yang tersedia ini kemudian memungkinkan konsumen untuk mendapatkan akses terhadap barang atau jasa ketika mereka membutuhkannya, alih-alih harus membelinya dan hanya digunakan ketika mereka membutuhkannya.

Rachel Botsman, seorang ahli dalam bidang collaborative economy, membagi collaborative consumption ke dalam tiga tipe. Pertama, Product Service System yang memungkinkan perusaahaan untuk menawarkan barang sebagai jasa, alih-alih menjualnya sebagai produk. Barang yang dimiliki secara pribadi disewakan kepada perorangan (peer-to-peer). Dengan adanya sistem yang demikian, sedikit banyak telah membuat pergeseran dalam cara individu-individu mengonsumsi sesuatu. Mereka membutuhkan benefit atas sebuah produk, namun mereka tidak perlu untuk memiliki produk tersebut sama sekali.

Tipe kedua, Redistribution Market. Barang yang telah dimiliki sebelumnya dipindahkan dari pihak yang tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkannya. Dalam beberapa kasus, barang ini dipindahtangankan secara cuma-cuma. Dalam kasus lainnya, barang ini ditukar dengan barang lainnya atau dijual secara komersil, seperti contohnya olx.com atau eBay , toko online yang memungkinkan publik menjual kembali barang-barang pribadi mereka yang tidak terpakai.

Tipe ketiga adalah collaborative lifestyle. Dalam hal ini, individu-individu dengan kebutuhan atau kegemaran yang sama bergabung untuk saling berbagi atau bertukar aset yang tak berwujud, seperti misalnya waktu, ruang dan keterampilan. Seperti misalnya ketika individu menyewakan ruangan sebagai co-working space. Contoh lainnya pada lingkup yang lebih luas adalah aktivitas penyewaan kamar penginapan secara peer-to-peer seperti yang dilakukan oleh AirBnB.

Di kawasan Asia Tenggara sendiri telah bermunculan beberapa perusahaan start-up yang berbasis pada konsep sharing economy. GoJek, misalnya. Model bisnis yang berbasis peer-to-peer sharing ini tengah naik daun saat ini. GoJek merupakan perusahaan start-up yang menyediakan jasa transportasi dengan ojek, namun perusahaan ini justru tidak memiliki satupun sepeda motor yang difungsikan sebagai ojek.

Di negara tetangga Singapura, iCarsClub, sebuah perusahaan start-up dengan aplikasi car-sharing berbasis lokasi. Selanjutnya, magpalitan.com, sebuah perusahaan start-up yang berbasisi di Filipina. Perusahaan ini memfasilitasi kegiatan barter, pertukaran dan rental atas barang-barang personal yang mencakup gadget, kendaraan, pakaian, bahkan jasa babysitting dan servis komputer.

Model bisnis berbasis sharing economy tidak dipandang sebagai sebuah tren yang pada suatu masa tertentu akan lenyap. Hal ini juga tidak pula dipandang sebagai reaksi sesaat atas pelemahan ekonomi yang terjadi. Lebih dari itu, fenomena ini telah mengubah pandangan pelaku usaha terhadap preposisi nilai yang ditawarkan dan bagaimana cara manusia memenuhi kebutuhannya.

Jadi, bagi Anda yang tertarik mengembangkan usaha. Pola diatas bisa menjadi salah satu pilihan. Selamat berkarya!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved