Column

I Still Believe

Oleh Editor
I Still Believe
Ilustrasi (foto https://oppnest.com/).
Ilustrasi (foto https://oppnest.com/).

Di masa ini kita ditantang untuk mengaplikasikan kata bijak yang sering diucapkan motivator atau bahkan kita sendiri, yaitu “Di dalam setiap tantangan selalu ada peluang”. Memang lebih mudah bicara daripada melakukannya.

Yang semakin merasakan penghasilan berkurang, bukan karena gaji dipotong tapi mungkin bonus tahun lalu dan bahkan tahun ini sirna atau jumlahnya tak dapat diharapkan, akan berpikir, bagaimana saya meningkatkan pendapatan ketika pendapatan rutin saya terganggu. Itu pola pikir tantangan sebagai halangan.

Namun, ada pula yang karena melihat pendapatan yang akan berkurang, justru sudah mempersiapkan alternatif pendapatan lain dengan berbagai cara, termasuk pemanfaatan teknologi digital, sehingga berkata, “Bersyukur saya mengalami masa pendemi ini karena ini membuka jalan baru buat saya, membuka mata saya bahwa banyak peluang yang bisa saya kerjakan. Tanpa pandemi, saya seakan dininabobokkan oleh kenyamanan karena gaji rutin saya.” Itu pola pikir tantangan jadi peluang.

Kedua pola pikir atau mindset itu senantiasa ada. Berperang dalam pikiran kita. Kadang mindset halangan menang, kadang mindset peluang menang. Silih berganti. Nah, bagaimana caranya agar mind-war tadi lebih banyak dimenangi mindset yang peluang dibandingkan yang halangan.

Pertama, Acquire counter clock and cross border mindset. Artinya, pikirkan selalu cara terbaik (putaran jarum jam terbalik) dan berani melanggar jalur yang biasa kita lalui (cross your border), tidak ikut mainstream, tidak go with the flow.

Ada pengusaha yang tidak sekadar berkutat menyelesaikan cara menambah pendapatan restonya, tapi juga mencari alternatif yang agak “nyeleneh”. Misalnya, dari jualan makanan siap saji di restonya menjadi jualan saus atau sambel atau resep atau pelatihan masak yang ternyata lebih diminati di era ini.

Atau, memanfaatkan dapur yang menganggur menjadi open kitchen, yang menawarkan pemanfaatan kepada para startuper yang membutuhkan kitchen buat bisnis resto mereka. Bahkan, banyak yang sangat kreatif, menawarkan makan di mobil dengan peralatan khusus atau membuat ready to cook yang selama ini seakan tidak dilirik karena sudah sangat sukses dengan cara biasa alias dine in.

Kedua, Accelerate your networks and resources. Artinya, jangan terpenjara dengan kesendirian. Work from home tidak boleh mengurangi interaksi dengan komunitas Anda. Justru dalam kondisi seperti ini, kesempatan untuk membuka jaringan baru sangat lebar. Kita harus membuat pertemanan kita menjadi our network. Memperluas jangkauan pasar kita sehingga dari network bisa jadi our networth. Sedih kalau sudah 18 bulan pandemi, kita tidak memiliki network baru. Padahal, ini potensi besar.

Misalnya, tim Taman Safari Indonesia yang memanfaatkan seluruh karyawan untuk jadi sales, menjual seluruh barang dagangan mereka tanpa malu. Ketika masuk ke Taman Safari, Anda akan disambut dengan atraksi akrobat yang dilakukan karyawan. Dan, sambil menunggu angkutan selanjutnya, mereka menawarkan snacks. Istilah saya, ini total football strategy. Karyawan ikut maju bersama, dari CEO sampai karyawan kantin.

Bahkan, Taman Safari yang selama ini tidak melihat potensi e-marketplace, bertransformasi dengan new digital marketing sehingga secara masif mulai menyapa calon pelanggan dengan media sosial yang cocok. Hasilnya mungkin belum terlihat secara nyata, tetapi tren sudah terlihat sangat positif.

Ketiga, Accumulate your integrative thinking. Artinya, saat ini kita harus memiliki kemampuan untuk “connecting the dot”, melihat yang kompleks jadi simpel dan yang simpel jadi solid. Ini adalah bentuk dynamic thinking karena kita menghadapi dynamic ecosystem.

Ini yang terjadi di Taman Safari, begitu berani memberikan kesempatan kepada orang baru untuk mengimplementasi cara baru dengan pendekatan integrated, tidak sektoral. Hasilnya ya tadi, ketika Anda masuk ke Taman Safari, Anda akan merasakan atmosfer baru. Bukan sekadar melihat safari atau binatang kesayangan Anda, tapi juga entertainment lain, termasuk hidangan makanan yang khas yang suatu saat bisa jadi a new growth engine, a new business ventures yang bukan hanya menjadi komplemen bisnis utama, sebuah konservasi, tapi malah layak jadi bisnis utama Amazon Web Services (AWS) cloud services yang sebelumnya tidak diduga jadi bisnis yang lukratif oleh Google dan Apple, misalnya.

Ketiga mindset itu bermuara pada keyakinan dari I believe menjadi I still believe. Believe bahwa hikmat itu datang dari Atas, believe bahwa dalam kerja pintar dan antusias selalu ada ide, peluang, dan pemanfaatan baru.

I still believe adalah keyakinan teguh bahwa tantangan itu ada, tapi justru karena ada tantangan itu, muncul peluang baru yang tak akan pernah ada dan terpikir sebelumnya. Kalau sudah demikian, kita bisa bersyukur bahwa pendemi ini tidak hanya mengoyak kita tapi juga membuka jalan baru bagi kita.

Bukankah itu indah? Kita melihat silverlinings di tengah dark cloud. Bagaimana dengan Anda? (*)

Paulus Bambang WS


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved