Column

Kematian Nurani

Oleh Editor
Kematian Nurani

“Nurani adalah kompas kemanusiaan.” — Vincent van Gogh

Ilustrasi foto 123rf.com

Kasus terhambatnya usulan interpelasi Fraksi PDI-P dan PSI di DPRD DKI Jakarta tentang rencana balap Formula E sudah bukan berita baru. Usaha penghentian yang diinisiasi Anies Baswedan dengan mengundang makan malam fraksi-fraksi di luar PDI-P dan PSI itu menjadi sorotan kencang publik. Saking romantisnya pepatah “Say it with flower”, belasan karangan bunga pendukung interpelasi dikirim oleh masyarakat. Bunga menyuarakan rakyat. Rakyat yang kecewa dengan langkah Anies plus partai-partai penolak interpelasi.

Bahkan, Goenawan Mohammad dan Ananda Sukarlan menyusul, mengajukan petisi penolakan pelaksanaan Formula E itu.

Kasus ini nampaknya hanya sebagian dari gunung es yang nampak di negara ini. Banyak kasus atau kejadian lain, yang juga aneh, kontroversial, penghamburan (bancakan) uang pajak rakyat, tak bermanfaat (lebih banyak mudarat ketimbang manfaat), dan ada “bau-bau” penyelewengan. Ini terjadi di banyak instansi.

Tentu, yang paling jadi sorotan adalah di Pemda DKI. Ya, karena Jakarta adalah ibu kota negara. Dan, karena APBD yang Rp 80 triliun itu luar biasa jumbo. Juga, karena Gubernur terpilih ini memenangi pilkada secara kontroversial pula, dengan jurus “ayat dan mayat”.

Ke soal interpelasi itu, misalnya, nampak aneh dan kontroversial karena secara akal sehat, interpelasi itu secara substantif justru merupakan sarana efektif untuk memberikan penjelasan terbuka kepada segenap rakyat, mengenai untung-ruginya (cost/benefit) program yang bersangkutan. Bila rakyat paham persoalan semacam ini, dan tahu bahwa program ini bermanfaat bagi Jakarta, masyarakat Jakarta khususnya, tentu akan senang hati dan mendukung.

Kalau terhadap rencana interpelasi itu malah Gubernur dengan segala cara menghentikan langkah legislatif itu, justru jadi aneh. Sangat aneh, mengapa kok mau main rahasia? Ada apa ini? Ada hal-hal yang dirahasiakan? Mana asas transparansi dan akuntabilitas (good clean governance) Pemda DKI?

Jangan heran kalau rakyat kecewa. Dari rasa kecewa, tumbuh rasa tak percaya rakyat kepada para pejabat. Padahal, “Kepercayaan adalah lem perekat para pengikut terhadap para pemimpin,” kata Warren Bennis.

Masih seputar kasus yang sama, dunia perpolitikan kita dalam skala nasional juga tak kurang anehnya. PDI-P dan PSI adalah inisiator interpelasi. Sementara para penolaknya adalah Nasdem, Golkar, PKB, PPP, Gerindra, dan PAN yang dalam struktur politik di Pusat, mereka adalah bagian dari partai koalisi pendukung pemerintah (di luar PKS dan Partai Demokrat yang berada di seberang).

Pertanyaannya, mengapa PDI-P berjalan sendiri untuk menguak keanehan DKI, sementara partai-partai sekoalisi tidak berjalan seiring? Kalau kita katakan bahwa partai-patai politik ini hanya main-main, akan ada sangkalan ketus dan sarkastis dari Winston Churchill, “Politik itu bukan permainan. Itu bisnis yang serius!”

Bisnis yang serius? Kalau kita renungkan secara jernih, sulit menyangkal pemikiran Churchill.

Politik itu jelas berorientasi kepada kekuasaan. Dan, kekuasaan itu akan berujung pada uang. Politik itu UUD (ujung-ujungnya duit). Sekali lagi, berpolitik adalah berbisnis.

Meski terjadi karut-marut yang aneh-aneh tapi nyata itu, saya meyakini bahwa sistem ketatanegaraan kita, termasuk pemerintahan, secara prinsip oke. Dengan UUD 1945 dan Pancasila yang menjadi dasar dari segala dasar hukum, secara sistem kita dalam jalur yang benar.

Hanya kembali, saya menelaah nasihat kuno ini, “Bukan senjata yang memenangi perang, melainkan manusia yang mengendalikan senjata itulah yang memenanginya.”

Dalam konteks pandangan ini, pendapat Abraham Lincoln tepat, “Hampir semua orang tahan menghadapi kesulitan. Tapi, bila Anda ingin mengetahui karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”

Benar kata Lincoln, karena kekuasaan itu sangat menggiurkan, menggoda. Orang yang asal muasal aslinya sangat sederhana dan rendah hati, bisa berubah total menjadi orang yang sangat glamor dan arogan.

Karena, ia yang sebelumnya bukan siapa-siapa, lalu menjadi orang berkuasa. Dan dengan kekuasaannya, ia menjadi silau, lalu mencoba “menyesuaikan diri” dengan aksesori kekuasaaan. Ia mengalami gegar budaya (culture shock). Ia pun menjadi konsumen dunia gemerlap agar pantas duduk dalam “kelompok gemerlap duniawi” sebagai penguasa.

Padahal, “Disiplin mengendalikan keinginan adalah landasan utama karakter,” kata John Locke. Disiplin mengendalikan keinginan atau ego adalah tiang utama karakter. Orang yang berkarakter adalah orang yang secara akal sehat memahami perbedaan antara hal baik dan hal buruk. Dan, di mana batas-batasnya. Orang banyak menyebutnya sebagai “Values System”. Plus dalam praktik, ia akan lugas dan disiplin menolak hal-hal buruk, dan sebaliknya, menerima serta menjalankan hal-hal baik.

Hanya memiliki akal sehat pemahaman akan perbedaan hal baik dan hal buruk, tak cukup untuk menjadi seorang yang berkarakter. Karena, ada nurani atau suara hati atau “God Spot”, suatu zat dalam diri kita yang langsung terhubung dengan Dia Yang Maha Kuasa. “Nurani Anda adalah kejujuran ego Anda. Dengarkan ia baik-baik,” kata Richard Bach.

Dengan adanya nurani, Anda mudah saja berbohong kepada orang lain. Namun, dengan nurani pula, Anda tak akan mampu membohongi diri sendiri. Itulah sebabnya, dikatakan, “Perang terbesar adalah perang melawan diri sendiri.”

Tragis, tapi nyata, banyak di antara kita, termasuk para pemimpin bangsa ini, yang mengalami nasib paling buruk dalam kehidupannya. Mereka adalah orang-orang yang masih hidup tetapi mengalami kematian nurani. Mereka mampu bersenang-senang di dunia, meskipun sering membutuhkan bantuan obat tidur. Namun, di akhirat nanti? Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Yang pasti, siapa menabur, ia akan menuai.(*)

Pongki Pamungkas


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved