Column

Manfaat Emosi Negatif

Oleh Admin
Manfaat Emosi Negatif

Beberapa pekan terakhir pencinta animasi kembali dihebohkan dengan film Disney terbaru, Inside Out. Film yang diproduksi Pixar Animation Pictures ini menceritakan Riley Anderson, seorang gadis berusia 11 tahun, yang memorinya dikendalikan lima emosi dasar, yaitu Joy (Bahagia), Sadness (Sedih), Fear (Takut), Anger (Marah) dan Disgust (Jijik). Kelima emosi ini mengatur kehidupan Riley seperti keputusan, aksi dan ingatannya.

Eka Isabella

Eka Isabella

Salah satu pesan yang ingin ditunjukkan Pete Docter, director film ini, setiap emosi itu penting dan memiliki perannya masing-masing. Kesedihan yang dianggap sebagai emosi yang negatif ternyata berperan penting untuk melahirkan kebahagiaan. Tanpa pernah merasakan kesedihan, orang tidak akan mengerti arti kebahagiaan.

Lantas, apakah yang bisa kita pelajari dari film ini dalam dunia organisasi atau perusahaan?

Penelitian tentang emosi sudah dimulai sejak tahun 1920-an, namun topik tentang emosi baru dipublikasikan tahun 1990 oleh Mayer dan Salovey melalui penelitiannya tentang kecerdasan emosi. Kemudian pada dekade yang sama, topik kecerdasan emosi dipopulerkan oleh Daniel Goleman dengan menuliskan pandangan yang tak lazim saat itu, yaitu kecerdasan emosi (Emotional Intelligence-EQ) lebih penting daripada IQ.

Goleman bahkan menuliskan bahwa IQ hanya mampu memprediksi 20% dari kesuksesan hidup seseorang, 80% sisanya dipengaruhi kecerdasan emosi. Meskipun pandangan ini kontroversi karena tidak didukung bukti dan penelitian yang cukup, namun pandangan ini mengubah mindset dunia terkait faktor penting penentu kesuksesan, khususnya di tempat kerja.

Sejak saat itu perusahaan mulai memperhatikan sisi emosi karyawan ditempat kerja. Tim rekrutmen mulai melirik kematangan emosi sebagai faktor penting penerimaan karyawan baru, tidak melulu IQ atau prestasi akademik. Vendor pelatihan kecerdasan emosi mulai dikenal dan laris manis.

Perusahaan besar mulai menciptakan lingkungan serta budaya kerja yang positif dan menyenangkan. Perusahaan besar dunia seperti Google, Facebook, Lego, Youtube, Red Bull memiliki design kantor yang unik dengan suasana kerja yang menyenangkan. Di Jakarta ada beberapa kantor yang terkenal sebagai tempat asyik untuk bekerja seperti Kaskus, Nutrifood, Ogilvy & Mathers dan Google Indonesia.

Perusahaan-perusahaan ini seperti berlomba-lomba menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan untuk menarik perhatian orang muda calon karyawan dan mempertahankan karyawan yang ada. Selain itu, diyakini ada korelasi positif antara tempat kerja yang menyenangkan dengan kreativitas dan produktivitas karyawan.

Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa kebahagiaan memiliki korelasi positif terhadap produktivitas. Karena itu, tepat jika perusahaan mengupayakan suasana kerja yang menyenangkan, membuat karyawan nyaman, gembira dan memiliki emosi terhadap pekerjaannya. Namun pertanyaannya, apakah hanya emosi postif saja yang diperlukan karyawan dalam perkerjaan?

Para ahli pada umumnya memang mendikotomikan emosi menjadi dua kelompok besar. Marah, jijik, sedih, takut dan hina dikategorikan sebagai ‘emosi negatif’, sebaliknya bahagia dikategorikan sebagai ‘emosi positif’. Jika dicermati, pendikotomian sederhana ini sebetulnya menganak-tirikan emosi yang dianggap ‘negatif’ ini, dan seolah-olah mendewakan emosi yang dipadang ‘positif’.

Dalam dunia kerja, umumnya perusahaan dan karyawan memang mengupayakan hal-hal yang positif dan berusaha meminimalisir yang negatif. Misalnya, karyawan didorong agar tidak takut mengambil tanggungjawab atau tantangan pekerjaan yang baru.

Jika mau ditelaah lebih dalam, emosi yang dianggap negatif pun sebetulnya penting untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Sebagai contoh stress, yang mana stress merupakan situasi yang muncul akibat peran dari berbagai macam emosi yang umumnya dikategorikan negatif seperti takut, tekanan, cemas dan sedih. Pada kadar tertentu stress akan memicu emosi marah dalam bentuk agresif atau semangat yang membara.

Banyak orang berpikir bahwa stres berefek negatif terhadap pekerjaan, namun sesungguhnya tidak demikian. Contohnya, sumber stress yang umum ditemui di tempat kerja adalah deadline. Seorang justru akan menjadi sangat produktif dan fokus menyelesaikan pekerjaannya jika sudah mendekati deadline. Jika deadline-nya masih lama, orang cenderung menunda pekerjaannya, dan bahkan ada ungkapan “ide kreatif baru keluar ketika sudah deadline”. Jadi emosi negatif juga dibutuhkan dalam pekerjaan, hanya saja dengan proporsi yang tepat.

Contoh lain, ejek-ejekan atau bullying di tempat kerja dapat menjadi hiburan yang menggembirakan. Namun jika itu dilakukan terlalu sering, ejek-ejekan dapat melukai perasaan si korban, mengganggu relasi kerja, menyebabkan korban demotivasi, tidak betah dan keluar dari tempat kerjaan. Bahkan dampak terekstrem dari bullying adalah memicu melakukan tindakan destruktif di tempat kerja.

Seperti yang diungkapkan dalam film Inside Out, setiap emosi memiliki perannya masing-masing. Baik emosi yang dianggap positif maupun negatif sebetulnya dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Semuanya tergantung pada situasi dan intensitasnya. Kemampuan seorang karyawan untuk menyadari, mengendalikan serta mengatur emosinya sesuai dengan situasi dan kondisi inilah yang sebetulnya dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja dan relasi di tempat kerja. Selain itu, kemampuan mengatur emosi juga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan mental.

Sudahkan Anda berdamai dengan emosi Anda, dan belajar untuk mengendalikannya? Oleh: Eka Isabella M.M. – Pengajar di Jasa Pengembangan Eksekutif | PPM Manajemen


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved