Column

Memaknai Stabilitas

Oleh Editor
Ilustrasi shutterstock.com
Ilustrasi shutterstock.com

“Manakala stabilitas telah menjadi kebiasaan, kedewasaan dan kejelasan akan mengikuti.” — BKS Iyengar.

Stabil atau situasi yang penuh dengan stabilitas adalah suasana yang positif dan nyaman. Sebaliknya, ketidakstabilan adalah kondisi yang sangat tidak diharapkan. Jaringan internet yang tak stabil membuat komunikasi secara virtual akan sangat tak mengenakkan, bahkan menyebalkan.

Voltase listrik yang naik-turun, tak stabil, sangat mengganggu penggunaan listrik di rumah. Bahkan, berpotensi merusak peralatan rumah tangga.

Kurs mata uang asing, dolar AS misalnya, yang tak stabil menyebabkan alur dan irama perdagangan ekspor-impor menjadi tersendat, menyulitkan dan sangat menghambat laju pertumbuhan ekspor-impor.

Hubungan China dan Amerika, dua negara adi daya dunia, yang sudah cukup lama tak stabil membuat negara-negara lain dunia terimbas secara negatif. Ketidakpastian menjalar ke segala penjuru. Dan dengan ketidakpastian itu, para pebisnis mengerem pertumbuhan industri dan perdagangan dunia.

Kata pinisepuh, “Stabilitas adalah segala-galanya. Baik secara fisik maupun emosional. Anda memerlukannya sebagai landasan yang kokoh untuk membangun apa pun.”

Pada zaman Orde Baru, ada mantra politik, doktrin yang wajib menjadi pegangan para pemimpin pemerintahan, yaitu Trilogi Pembangunan: Stabilitas Nasional (yang dinamis), Pertumbuhan Ekonomi (yang tinggi), serta Pemerataan Pembangunan (dan hasil-hasilnya). Soeharto membagi dua besar stabilitas itu menjadi stabilitas politik dan keamanan.

Seorang analis politik menuturkan, “Karena tercapainya stabilitas politik dan keamanan itulah, Soeharto mampu memimpin bangsa dan negara ini selama 32 tahun.”

Kita harus mengakui, dengan kata kunci “stabilitas”, sesuai dengan hakikat semantiknya, kata itu membuat segalanya berjalan lancar, aman, dan nyaman.

Saya tidak ada niat untuk mengajak bangsa ini kembali mengulang gaya Soeharto, yang mengatasnamakan stabilitas politik dan keamanan, lalu bertindak represif. Siapa berani mengkritisi pemerintahan, penjara atau bahkan nyawa taruhannya. Namun, saya juga sangat tak ingin melihat negara yang menganut sistem demokrasi ini menjadi “democrazy”.

Siapa yang tak sedih, di tengah duka nestapa karena pandemi virus Covid-19 ini, pelbagai kekisruhan dan ketidaktertiban seakan tak mampu dikendalikan.

Kita bisa lihat, dari kalangan masyarakat umum, sudah jelas ada protokol kesehatan yang menjadi standar dunia: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan. Sederhana, dan protokol itu cukup ampuh untuk menghindarkan terjadinya penularan dari satu orang ke orang-orang lain.

Dalam kenyataannya, masih saja banyak kita temui orang-orang yang berlalu-lalang tanpa masker. Tanpa takut, tanpa rasa bersalah, mereka melakukannya hari demi hari. Sementara tak ada daya paksa dari aparat yang mampu memaksa mereka taat protokol. Tak mengherankan, jumlah penularan dari hari ke hari makin meningkat tajam. Sangat mengkhawatirkan.

Belum lagi melihat riuh rendahnya kehidupan politik yang vulgar. Banyak orang yang konon termasuk “barisan sakit hati” terus saja menciptakan aura panas. Menghasut rakyat untuk memakzulkan Presiden secara terbuka. Apakah ini tak termasuk kategori makar yang bisa ditindak secara hukum?

Dengan karut-marut seperti ini, layakkah kita menyebut kondisi negara ini stabil? Bagaimana kita harus menjalani kehidupan dalam suasana yang penuh keributan dan ketidaktertiban yang membahayakan setiap orang?

Kita tahu, kebakaran besar bisa dimulai dari satu percikan api kecil, bila api itu menemukan bahan-bahan yang mudah terbakar. Dan kita tahu pula prinsip dasar kehidupan yang bersifat universal: mencegah lebih baik daripada mengobati.

Lalu, mengapa prinsip itu tak dijalankan? Kalau jawabannya adalah “karena kita negara demokrasi”, itu saya katakan sebagai suatu jawaban yang naif dan tak bertanggung jawab.

Prinsip demokrasi bukanlah bermakna sebagai prinsip yang membiarkan semua berucap dan bertindak semau-maunya. Prinsip demokrasi juga menuntut adanya tanggung jawab, sebagai bagian dari asas hukum dalam berdemokrasi.

Bila hal-hal yang cenderung chaos di atas tak segera diatasi, bila tindak tanduk pelanggaran hukum seperti yang saya contohkan di atas tak segera diatasi, bila percikan api itu tak segera dipadamkan, stabilitas sosial, politik, dan keamanan serta pembangunan terganggu, dan pertaruhannya adalah persatuan dan kesatuan negara ini.

Jelas, secara konstitusi, tanggung jawab penanggulangan ini sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Di tangan para pemimpin negara. Para pemimpin yang menurut Jack Welch, “Harus memiliki keseimbangan antara kepala, hati, dan nyali (head, heart, and guts). Harus berani bertindak tegas, bahkan keras, demi stabilitas negara.”

Kata Martin Luther Jr., “Tempat yang paling tak terpuji, yang hina, disediakan bagi mereka yang memilih bertahan untuk NETRAL dalam masa-masa konflik moral yang dahsyat.” (*)

Pongki Pamungkas

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved