Column

Memerangi Penipuan Pajak dengan Big Data

Oleh Admin
Memerangi Penipuan Pajak dengan Big Data

Seiring dengan berkembangnya kecepatan, kuantitas, dan variasi data di Internet, semakin banyak organisasi yang menyadari bahwa ada potensi besar di balik tren big data. Big data menjadi hal penting yang tidak boleh dilewatkan. Sebegitu pentingnya big data sampai ada yang menganalogikan big data dengan Internet, atau bahkan dengan mata uang. Tentunya, tidak semua orang setuju dengan analogi tersebut, tetapi rasanya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa mereka yang tidak berselancar di atas ombak big data akan tenggelam ditelan ombak tersebut.

Amir Syafrudin

Amir Syafrudin

Dalam konteks penerimaan pajak, big data memiliki banyak potensi, misalnya untuk memperkaya profil wajib pajak (WP) dengan berbagai informasi tentang perilaku dan kebiasaan hidup WP tersebut. Profil WP yang “kaya” tersebut memungkinkan petugas pajak mengetahui hal-hal yang disembunyikan WP, seperti harta atau penghasilan tertentu. Selain itu, big data pun dapat dimanfaatkan untuk melihat relasi antar-WP sehingga terlihat grup-grup WP yang saling berhubungan di belakang layar, khususnya dalam urusan finansial. Informasi ini memungkinkan petugas pajak melihat transaksi antar-WP di dalam satu grup dan mengetahui pola-pola penipuan pajak di balik transaksi-transaksi yang terkesan sah atau bahkan terpisah antara satu dan yang lain.

Big data juga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi risiko ketidakpatuhan setiap WP. Hasil identifikasi tersebut dapat digunakan untuk membentuk kelompok-kelompok WP berdasarkan risiko ketidakpatuhannya. Bila kelompok-kelompok WP berbasis risiko dapat dibangun dengan baik, petugas pajak dapat mengutamakan pengawasan pada WP-WP dengan risiko ketidakpatuhan yang tinggi sehingga tindakan-tindakan untuk mengamankan penerimaan pajak menjadi lebih efektif dan efisien. Intinya, big data memiliki potensi yang besar untuk memerangi penghindaran atau penipuan pajak. Pertanyaannya, apakah pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sudah memiliki data yang cukup, SDM yang kompeten, dan teknologi yang memadai untuk memerangi penghindaran atau penipuan pajak (Buckley 2015, Newcombe 2015)?

Data untuk konsumsi publik sudah tersedia di berbagai penjuru Internet dan DJP dapat memanfaatkan data tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku. Akan tetapi, DJP sudah memiliki data pihak ketiga yang diperoleh lewat kerja sama pertukaran data. Data tersebut mencakup antara lain informasi kepemilikan saham, penanaman modal, impor-ekspor, pemenang lelang, kepemilikan sekuritas, dan kepemilikan kendaraan mewah (PMK 16/2013, PMK 79/2013, PMK 95/2013, PMK 132/2013, PMK 191/2014). Data tersebut sudah lebih dari cukup untuk menguak informasi berharga yang sebelumnya tidak terdeteksi. Saat ini DJP justru lebih fokus pada penggalian tren atau pola di dalam data yang sudah dimilikinya sehingga hasil analisisnya lebih akurat dan memiliki dampak yang signifikan (Rossi 2015). Dengan begitu, proses pengumpulan data pun dapat diarahkan pada data yang berkualitas tinggi dan benar-benar relevan bagi DJP.

Untuk menganalisis data, DJP pasti membutuhkan SDM yang kompeten. Saat ini DJP memiliki unit yang bekerja khusus melakukan analisis data, yaitu Center for Tax Analysis (CTA). SDM CTA terdiri dari pegawai-pegawai DJP yang sudah mengenal karakteristik data yang dimiliki DJP dan teknik-teknik analisis data yang relevan. Walaupun begitu, DJP harus terus meningkatkan kapasitas analisis data yang dimiliki para pegawainya dan mengubah peran para pegawai tersebut dari data analyst menjadi data scientist. Peningkatan kapasitas tersebut tidak hanya terbatas pada keterampilan-keterampilan teknis yang terkait dengan pemrograman, pemodelan data, statistika, matematika, atau business intelligence (Holtz 2014), tetapi juga mencakup peningkatan ketajaman bisnis dan kemampuan berkomunikasi.

Dengan begitu, para pegawai terkait tidak hanya mampu menentukan data atau sumber data yang dapat memberikan nilai tambah paling signifikan bagi DJP, tetapi juga mampu menyajikan hasil analisis mereka dengan cara yang dapat memengaruhi arah kebijakan DJP.

Elemen ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah teknologi. DJP harus memiliki teknologi dengan kapasitas komputasi yang tinggi yang mampu mengolah data dalam bentuk terstruktur dan tidak terstruktur. Kebutuhan teknologi itu berangsur-angsur dipenuhi DJP dengan mengadopsi Hadoop disertai platform pendukungnya. DJP juga terus mengembangkan data warehouse yang dimilikinya agar siap mendukung pemanfaatan big data. Keserasian antara implementasi Hadoop dan data warehouse yang dimiliki DJP menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemanfaatan big data di DJP. Keserasian tersebut, ditambah dengan kapasitas komputasi dan kemampuan pengolahan data yang memadai, dapat terus menambah kecepatan proses pengolahan dan analisis data.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa DJP sudah menjadi salah satu instansi pemerintah yang mampu berselancar di ombak big data. Mungkin terlalu muluk untuk mengatakan bahwa DJP sudah mampu berselancar dengan baik, tetapi kemungkinan DJP akan tenggelam ditelan ombak big data tetap kecil. Beredarnya kabar “DJP tahu apa yang WP tahu” semakin menguatkan kenyataan bahwa DJP memang memiliki kemampuan yang memadai untuk berselancar di ombak big data. DJP mampu memanfaatkan big data untuk menguak berbagai informasi yang kerap disembunyikan oleh WP sehingga modus-modus penipuan pajak pun dapat segera ditangani, bahkan dicegah sejak dini.(*)

Amir Syafrudin, Pranata Komputer Pertama, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan

E-mail: [email protected]


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved