Column

Moralitas dan Spiritualitas

Oleh Editor
Moralitas dan Spiritualitas
Ilustrasi foto Shutterstock.
Ilustrasi foto Shutterstock.

Sebut saja namanya OKNUM. Artinya, tidak bisa digeneralisasi untuk mewakili kelompok apa pun. Ini individu, bukan institusi. Ini pesona dari seseorang yang bisa dijadikan bahan perenungan agar kita tidak ikut dalam kancah menjadi oknum dalam arti yang tidak bersahabat tadi.

Oknumia, sebut saja begitu karena ia seorang wanita, yang ketika menjajakan barang dagangannya kelihatan tulus seperti merpati dan sigap seperti serigala. Dan ketika proses penjualan sudah terjadi, tak malu ia meminta bintang lima sebagai hadiahnya. Namun, ketika ternyata barang yang dijanjikan tidak sesuai dengan yang dipesan, karena ini bibit tanaman butuh waktu untuk melihat hasilnya, ia lari. Lupa tentang kejujuran dan ketulusan.

Oknumia kedua ini lebih canggih lagi, ketika ingin menyelesaikan penjualan, sangat cekatan. Namun, begitu barang dikirim, langsung seluruh nomor dihapus sehingga saya tidak bisa kontak lagi. Rupanya barang yang dikirim sudah kedaluwarsa dan tidak ada pemakaian apa pun seperti waktu promo.

Dua oknumia itu berhasil menggaet uang saya walau hanya dalam jumlah recehan. Lalu, saya berpikir, kok mau ya mengorbankan etika, moral, hanya untuk nilai yang tidak seberapa. Atau mungkin mereka berpikir, kalau ada seribu pelanggan seperti saya, uangnya jadi lumayan.

Oknumono, kali ini seorang pria, punya posisi sangat terhormat di masyarakat karena menjadi pemuka agama yang mestinya moralnya menjadi acuan. Tak terduga dan bahkan tidak masuk dalam akal sehat umat semacam saya, ia bersama anaknya mencabuli “jemaat”-nya, apa pun statusnya.

Oknumono kedua bahkan pernah jadi panitia perayaan keagamaan, tapi terindikasi suap yang mengakibatkan ia memakai rompi oranye. Namun, dengan lantang ia berani tampil seperti orang yang dizalimi.

Empat contoh OKNUM ini saya angkat untuk memberi gambaran bahwa moralitas itu sangat mahal dan semakin langka di zaman ini, apalagi di era digital ini.

Semakin sulit menemukan Oknum yang berubah menjadi Pesona karena berani mempertaruhkan jabatan atau kekayaan demi mempertahankan prinsip kelayakan moralitas yang ia yakini.

Tidak dapat dimungkiri bahwa spiritualitas memegang peran sentral dalam pembentukan moralitas manusia.

Spiritualitas adalah kualitas hubungan kita dengan Tuhan Yang Maha Esa, sangat dalam dan mengubah pola pikir hati (inside). Adapun moralitas adalah bukti spritualitas di alam nyata, yang mengubah pola sikap, pola kata, dan pola laku dalam kehidupan sehari-hari (outside).

Tak mungkin koruptor, penipu, penjarah, pemabuk, apalagi pembunuh mengatakan bahwa ia punya spiritualitas tinggi. Mungkin ia menjalankan ritual agamawi, tapi sekadar tampak luar (outside appearance) tapi kelakuannya menunjukkan kualitas spiritualitasnya.

Dalam bahasa lain disebutkan, dari buahnyalah kita bisa tahu kualitas pohonnya. Dari perbuatannyalah kita dapat menebak kualitas imannya.

Maka, sangat janggal misalnya pesakitan koruptor tiba-tiba menjadi pembela Tuhannya dengan menganiaya orang yang dianggap menghina. Padahal, sebagai koruptor ia telah mengkhianati imannya dan dalam batas tertentu ia telah merusaknya.

Itu sebabnya, pembangunan moralitas sangat penting ditekankan oleh semua orang yang memiliki power of control and influence (POCI). Entah sebagai orang tua dalam komunitas kecil yang disebut keluarga. Sebagai manajer sampai direktur dalam institusi formal. Atau sebagai rekan, kolega, sahabat yang berpengaruh sebagai key opinion leader berbagi di media sosial. Semua patut menyuarakan moralitas lebih daripada spiritualitas yang masuk ke area privat.

Tidak mudah memang, tapi bukti manifestasi spiritualitas yang kuat memang hanya dapat dilihat dari moralitas dalam bentuk realitas dari aktivitas sehari-hari.

Kesatu, orang yang punya moralitas (baca: spiritualitas) tinggi akan melakukan pekerjaannya seperti ia melakukan untuk Tuhannya (Soulholder), bukan hanya untuk kepentingan pimpinannya (Superior atau Shareholders).

Ini adalah bentuk nyata dari kalimat bijak “pekerjaan adalah ibadah” dan “posisi adalah amanah”. Semua bicara yang sama, but not many do what they say.

Kedua, karena prinsip pertama tadi, orang yang memiliki moralitas baik akan berani menolak tugas, perintah, bahkan acaman dari pimpinan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip moralnya.

Jangankan membunuh atau menyiksa, membuat pembukuan ganda, melakukan sulapan under invoicing ketika impor, menilap pajak, bahkan memecat karyawan tanpa sebab adalah contoh manusia yang tidak punya spiritualitas. Makanya, tidak ada moralitas yang tampak.

Ketiga, karena kedua prinsip tersebut, orang yang memiliki moralitas tinggi adalah orang yang berani tampil beda, menentang arus, dan dalam banyak hal dianggap “rebellions” karena punya nilai-nilai hidup dan tujuan hidup yang mengakar kuat pada spiritualitasnya.

Tentunya, ini dalam konteks yang positif, bukan sekadar beda untuk beda dan melawan untuk melawan. Namun, hidupnya memang serasi dan selaras antara hati dan mulut, tangan, serta kaki.

Kalau kita ingin moralitas bangsa kita menjadi teladan bagi dunia, kita harus aktif menciptakannya. Dengan memulai dari diri sendiri lalu lingkungan terdekat, baru masuk ke circle of concern.

Saya yakin kita bisa. (*)

Paulus Bambang WS


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved