Column

Mungkinkah Mengukur Kebahagiaan?

Mungkinkah Mengukur Kebahagiaan?

oleh: Arvan Pradiansyah

Happiness inspirer

dan penulis buku

I Love Monday.

Mungkinkah kita mengukur kebahagiaan (happiness)? Pertanyaan ini termasuk yang paling sering ditanyakan kepada saya dalam berbagai forum dan diskusi para eksekutif mengenai kebahagiaan. Jawabannya tentu saja bisa, bahkan harus. Kalau kita tidak bisa mengukur sesuatu bagaimana kita dapat meningkatkannya? Pengukuran diperlukan dalam rangka peningkatan. Apalagi ini berkaitan dengan kebahagiaan yang menjadi jantung kehidupan itu sendiri.

Arvan Pradiansyah

Arvan Pradiansyah

Namun seperti yang terjadi dalam ilmu sosial yang lain, pengukuran kebahagiaan tentu saja berarti menguantifikasikan sesuatu yang kualitatif. Ini sangat berbeda dari pengukuran dalam ilmu alam yang objektif dan kuantitatif. Manusia adalah makhluk yang bukan hanya rasional tetapi juga emosional, karena itu pendapat dan persepsi manusia akan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi emosinya saat ini. Ketika seseorang senang dan berbahagia bisa jadi ia melihat hidup ini lebih indah dan karenanya cenderung memberikan penilaian yang positif. Sebaliknya, ketika sedang dalam kondisi yang kurang menyenangkan, maka ia cenderung memberikan penilaian yang negatif. Jangankan kondisi hidup yang serba sulit, bahkan sakit gigi pun bisa memengaruhi penilaian kita.

Pakar kebahagiaan dari Den Haag, Ruut Veenhoven membuktikan apa yang saya sampaikan tersebut. Paling tidak ada tiga temuan Veenhoven yang menarik selama bertahun-tahun melakukan penelitian mengenai kebahagiaan. Pertama, manusia senantiasa ingin terlihat bahagia, karena itu ketika seseorang ditanya mengenai tingkat kebahagiaannya, ia cenderung memberikan nilai yang tinggi dan jauh di atas nilai yang sebenarnya. Veenhoven menunjukkan bukti bahwa responden yang mengisi kuesioner dan mengirimkannya lewat pos cenderung menuliskan tingkat kebahagiaan yang lebih rendah daripada mereka yang menjawab pertanyaan dalam wawancara langsung dengan peneliti.

Temuan kedua Veenhoven, ternyata para responden cenderung berbicara lebih jujur ketika berhadapan dengan pewawancara yang berjenis kelamin sama. Temuan ini sungguh menarik karena ternyata ketika menghadapi pewawancara yang berjenis kelamin berbeda, para responden cenderung tidak berbicara yang sesungguhnya mengenai tingkat kebahagiaan mereka melainkan melebih-lebihkannya. Intinya mereka ingin terlihat bahagia, karena kebahagiaan itu menarik dan seksi.

Temuan ketiga, jawaban para responden ternyata sangat bergantung pada kondisi terakhir yang ia hadapi. Manusia menurut Veenhoven adalah “makhluk lima menit”. Artinya jawaban yang kita berikan sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi dan mood kita dalam lima menit terakhir. Penelitian Veenhoven menunjukkan bahwa para responden yang menemukan sejumlah uang dalam lima menit terakhir cenderung mengatakan dirinya lebih bahagia daripada yang tidak menemukan uang. Tentu saja penemuan uang ini adalah rekayasa para peneliti yang tidak disadari oleh para responden.

Temuan ini dapat pula kita modifikasikan dengan pemberian pujian buat responden. Saya menduga kalau sebelum wawancara para responden bertemu lebih dulu dengan seseorang yang memuji mereka dengan tulus (ini juga bisa direkayasa oleh peneliti), maka mereka akan merasa lebih berbahagia dan karenanya bisa memberikan angka yang lebih tinggi daripada tingkat kebahagiaan mereka yang sesungguhnya.

Nah, kalau untuk level personal saja sulit, apalagi mengukur tingkat kebahagiaan sebuah negara. Kesulitan tersebut menjadi bertambah bila kita ingin mengukur tingkat kebahagiaan di negara yang majemuk seperti Indonesia. Bagaimana mengukur kebahagiaan Indonesia? Atau dengan kata lain, siapa yang dapat mewakili Indonesia, apakah penduduk Jakarta atau kota-kota yang lain? Padahal kondisi di Jakarta dan kota lain sangat berbeda, ambil contoh seperti Solo, Balikpapan atau Lombok, di mana kemacetan masih berada di tingkat yang wajar dan tidak separah yang terjadi di Jakarta.

Dalam hal ini kita bisa berasumsi bahwa kemacetan lalu lintas dapat mengurangi tingkat kebahagiaan seseorang. Nah, World Happiness Report yang diluncurkan di markas PBB di New York pada April 2012 tidak menyebutkan siapakah yang diteliti ketika mereka meneliti tingkat kebahagiaan di Indonesia, apakah penduduk Jakarta atau penduduk di kota yang lain. Yang jelas mereka meneliti 1.000 orang di setiap negara, dan menempatkan Indonesia di urutan ke-115 dari 200 negara yang diteliti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kita tidak bisa menggeneralisasi Indonesia tanpa menjelaskan kota mana yang sesungguhnya dimaksud.

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat yang memiliki kondisi lebih homogen saja menemukan bahwa tingkat kebahagiaan di kota-kota di AS sungguh berbeda satu sama lain. New York misalnya, termasuk kota yang sangat tidak berbahagia, sementara Salt Lake City adalah kota yang paling bahagia. Namun di sisi lain, ternyata ada data yang bertolak belakang dengan penelitian ini yang berkaitan dengan bunuh diri. Ternyata tingkat bunuh diri di Salt Lake City yang tertinggi, dan New York justru memiliki tingkat bunuh diri terendah. Temuan ini sama dengan yang terjadi di negara-negara Skandinavia yang merupakan negara terbahagia di dunia versi PBB, sehingga memunculkan sebuah pertanyaan baru: Apakah di negara yang bahagia itu memang angka bunuh diri relatif tinggi? Inilah yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Kebahagiaan memang merupakan sesuatu yang bersifat personal, dan tak mudah untuk diketahui pihak lain, apalagi diteliti. Namun bagaimanapun kebahagiaan itu memang perlu diukur, paling tidak oleh diri kita masing-masing. Hanya dengan mengukurnya kita bisa memastikan bahwa kualitas hidup kita senantiasa meningkat. Peningkatan kebahagiaan sesungguhnya menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini sampai saatnya jiwa berpisah dari raga. Kita perlu memastikan bahwa kebahagiaan kita mencapai puncaknya ketika kita bertemu dengan Tuhan sebagai sumber dari segala sumber kebahagiaan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved