Column

Pseudo Happiness

Pseudo Happiness

oleh: Arvan Pradiansyah Penulis Buku I Love Monday

“Saya sungguh khawatir dengan kata ‘happiness’, ujar seorang CEO perusahaan ternama kepada saya. Saya menatap matanya sambil tersenyum. CEO ini pasti sudah sangat tahu reputasi saya sebagai happiness expert. Dia juga tak mungkin ingin berdebat dengan saya pada pertemuan kami yang pertama. Saya tahu pasti dia hanya sekadar berbagi kekhawatirannya.

Arvan Pradiansyah

Arvan Pradiansyah

“Perusahaan ini saya bangun dengan kerja keras dan penuh semangat,” ujarnya lagi. “Sampai hari ini pun saya masih bekerja keras – siang dan malam — membesarkan perusahaan. Namun sayangnya, banyak karyawan saya yang kurang paham mengenai hal ini. Baru jadi kepala bagian atau kepala cabang saja, mereka sudah ingin bersenang-senang dan berleha-leha. Alasannya adalah untuk menikmati hidup, supaya kita bahagia. Kalau begini caranya, perusahaan ini lama-lama bisa tutup. Anda bayangkan, persaingan kini semakin sengit. Pelanggan juga semakin kritis. Ini yang tidak disadari oleh karyawan saya. Bukannya saya melarang mereka untuk bahagia. , tetapi mestinya bahagia itu nanti kalau kita sudah mencapai target, kalau sudah memenangi persaingan. Ini belum apa-apa sudah bahagia, akibatnya semangat kerja kendur. Saya khawatir, bisakah perusahaan ini terus bertahan?”

Saya mendengarkan setiap kata yang disampaikan CEO ini dengan penuh perhatian. Tak sekalipun saya memotong ucapannya. Saya hanya mengangguk, dan sesekali mencatat beberapa poin yang penting. Sesungguhnya, bukan kali ini saja ada CEO yang mengeluh mengenai happiness. Saya sudah pernah menerima keluhan serupa dari banyak pemimpin perusahaan. Dan, tiba-tiba saya teringat bahwa saya pun pernah bekerja di perusahaan yang memiliki suasana happiness seperti yang dikeluhkan CEO tadi.

Hal ini terjadi lebih dari 20 tahun lalu ketika saya baru lulus kuliah. Waktu itu saya bekerja di perusahaan yang — dalam pandangan saya pada saat itu — sangat menggembirakan. Sesungguhnya, saat itu saya tidak tahu apakah saya memang mementingkan karier dan apakah perusahaan ini adalah tempat yang tepat untuk belajar dan mengembangkan diri. Yang saya tahu adalah bahwa di perusahaan ini saya mendapatkan penghasilan yang memadai dan lingkungan pergaulan yang menyenangkan. Semua karyawan berusia sebaya dan seluruhnya belum menikah. Suasana kerja jadi tak jauh berbeda dengan situasi di kampus. Bedanya, kini kami sudah lebih “mapan” dan mandiri.

Saya berani mengatakan bahwa semua karyawan di kantor itu “berbahagia”. Kami merasa cocok satu sama lain. Suasana kantor sangat semarak, penuh senda gurau dan gelak tawa. Bahkan, kami suka berlama-lama di kantor dan baru pulang setelah pukul 7 malam. Itu pun tidak langsung ke rumah, tetapi masih menikmati kebersamaan dengan teman-teman kantor.

Kalau ditanya, apakah saya bahagia? Saya pasti akan langsung mengatakan “ya”. Namun, apakah kami cukup produktif? Itu yang tak bisa saya jawab. Nyatanya, perusahaan itu merugi dan beberapa tahun kemudian tutup untuk selamanya. Beruntung juga karena saya hanya bertahan di perusahaan itu delapan bulan. Alhamdulillah, saya segera tersadarkan bahwa saya sedang berada di jalur yang salah. Dan, bahwa kebahagiaan yang saya rasakan sesungguhnya hanyalah kebahagiaan semu. Inilah yang saya sebut dengan pseudo happiness.

Pseudo happiness sesungguhnya bukanlah kebahagiaan yang kita cari. “Kebahagiaan” seperti ini hanya ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor fisik dan emosi. Kebahagiaan di level fisik sesungguhnya bukanlah kebahagiaan, melainkan hanya kesenangan (pleasure) dan kenikmatan (enjoyment). Hal ini didapatkan dengan penghasilan yang memadai dan faktor-faktor fisik lainnya. Kebahagiaan di tingkat emosi sesungguhnya juga bukan kebahagiaan, tetapi hanya kenyamanan (comfort). Kedua hal inilah yang waktu itu saya rasakan.

Kebahagiaan seperti inilah yang sering dipahami banyak orang. Karena itu, kekhawatiran

CEO ini sangatlah beralasan. Kalau karyawan mendapatkan pleasure, enjoyment dan comfort, siapa lagi yang mau bekerja keras? Kalau fokus kita lebih kepada pertemanan, persahabatan dan paguyuban, hampir dipastikan kinerja perusahaan akan menjadi korbannya.

Happiness yang sesungguhnya baru akan kita capai kalau kita dapat menemukan kebutuhan mental dan spiritual dalam pekerjaan kita. Saya pernah bekerja di perusahaan yang berbeda 180 derajat dengan perusahaan saya yang pertama. Saya sangat mencintai pekerjaannya, dan “menemukan” diri saya dalam pekerjaan ini. Bahkan kalau dilihat dari perspektif kekinian, saya bisa menjadi konsultan dan motivator yang andal saat ini adalah karena saya pernah menimba ilmu di perusahaan ini. Jadi, secara mental saya mendapatkan banyak pengayaan, dan secara spiritual saya menemukan diri dan potensi saya di sini.

Tantangan bekerja di sini hanya satu, yaitu hubungan antarkaryawan. Di perusahaan ini saya betul-betul menderita tekanan batin. Atasan saya yang juga adalah pemilik perusahaan sering memaki-maki karyawan dengan kata-kata kasar, perilakunya juga sungguh tidak menyenangkan. Karyawan di perusahaan ini juga penuh dengan intrik-intrik dan sangat suka bergosip. Hubungan antarmanusia di perusahaan ini sangat jauh dari hubungan kerja yang sehat dan dilandasi prinsip kepercayaan (trust).

Namun anehnya, saya bisa bertahan cukup lama di sana. Dan kalau saya ingat-ingat lagi sekarang, saya tidak pernah menyesal pernah berkarya di sana. Pernyataan ini bukanlah untuk melebih-lebihkan atau menghibur diri. Bagaimana saya tidak bahagia kalau ternyata di perusahaan itu saya bisa berkembang, bahkan menemukan jati diri saya yang sebenarnya.

Kebahagiaan yang sejati baru akan kita dapatkan kalau pekerjaan kita memenuhi aspek mental dan spiritual. Kebutuhan mental yang terpenuhi akan menghasilkan kepuasan (satisfaction), sementara pemenuhan kebutuhan spiritual akan menghasilkan kebahagiaan (happiness). Adapun dua aspek pertama, yaitu uang dan kenyamanan, hanyalah faktor penunjang.(*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved