Column

Should Happiness be The National Target?

Should Happiness be The National Target?

oleh: Arvan Pradiansyah Happiness Inspirer & Penulis Buku I Love Monday

Seorang pria memasuki elevator. Ia menekan sebuah tombol bertuliskan Gross National Happiness. Di lantai pertama, pintu terbuka dan sudah ada seseorang yang menunggunya sambil memberikan balon bertuliskan Work Life Balance. Ternyata pintu lift terbuka di setiap lantai dan selalu ada orang yang berbeda yang memberikan sebuah balon lagi dengan berbagai tulisan yang berbeda tetapi mengarah kepada tema besar yang sama: Happiness. Adegan tersebut berakhir dengan sebuah pertanyaan: Should Happiness be The National Target?

Arvan Pradiansyah

Arvan Pradiansyah

Demikian sebuah iklan yang saya saksikan di Channel News Asia (CNA), sebuah stasiun televisi di Singapura. Haruskah kebahagiaan menjadi Target Nasional? Menurut saya ini adalah sebuah kemajuan cara berpikir yang bukan hanya mementingkan kesuksesan dan pencapaian target-target tetapi mencari sesuatu yang benar-benar didambakan setiap orang. Sukses sesungguhnya hanyalah tujuan antara, karena setelah sukses pun banyak orang yang masih menemukan kehampaan dalam hidupnya. Lantas apalagi yang dicari orang setelah mencapai kesuksesan? Pertanyaan ini akan selalu mengarah kepada sesuatu yang sama: Kebahagiaan.

Dengan konteks seperti ini maka iklan di CNA tersebut sungguh tepat. Kebahagiaan mestinya juga menjadi sebuah pencapaian nasional. Karena itu konsep GDP memang seharusnya kita revisi. Bukankah peningkatan pendapatan dan pencapaian pembangunan seringkali malah menjauhkan kita dari kebahagiaan? Bukankah sukses sering harus dibayar mahal yaitu dengan mengorbankan kebahagiaan yang sesungguhnya dirindukan setiap orang dalam hidupnya?

Buthan adalah satu-satunya negara di dunia yang sejak 30 tahun yang lalu sudah menggunakan indikator yang berbeda untuk mengukur kemajuan negaranya yaitu Gross National Happiness (GNH). GNH ini diterjemahkan ke dalam 4 pilar yaitu promosi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkesinambungan dan adil, pemeliharaan dan promosi nilai-nilai budaya, pelestarian lingkungan hidup, dan pengembangan good governance.

Bahwa setiap orang mencari kebahagiaan sesungguhnya sudah merupakan kebijaksanaan yang disadari oleh para pemikir di era Yunani Kuno sekelas Socrates dan Aristoteles sampai era modern yang diwakili oleh Thomas Jefferson. Bahkan dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Jefferson mencantumkan the pursuit of happiness sebagai salah satu dari tiga pilar terpenting. Namun ternyata pemikiran seperti itu hanya berimbas pada level individu, belum sampai ke level negara. Padahal peran negara dalam menciptakan kebahagiaan sesungguhnya sangat signifikan.

Selama ini masih banyak anggapan bahwa kebahagiaan itu adalah urusan individu dan bukan menjadi tanggung jawab negara. Tanggung jawab negara itu adalah mencapai hasil dalam pembangunan. Asumsinya kalau pembangunan bisa terlaksana dengan baik maka rakyat akan sukses dan makmur sehingga kebahagiaan akan tercapai dengan sendirinya. Padahal penelitian sudah membuktikan bahwa pencapaian kesuksesan tak selalu berakhir dengan kebahagiaan.

Karena itu kita perlu menghargai inisiatif yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang untuk pertama kalinya meluncurkan World Happiness Report di awal April 2012. Laporan ini diluncurkan di markas PBB di New York dan didasarkan pada penelitian yang dilakukan selama 5 tahun terakhir terhadap 200 negara di dunia.

Sesungguhnya hasil penelitian PBB ini tidak terlalu mengejutkan. PBB menempatkan negara-negara Skandinavia sebagai negara yang paling bahagia di dunia dengan Denmark, dan Norwegia di tempat yang teratas, dan berturut-turut diikuti oleh Belanda, Kanada, Amerika Serikat dan sebagainya. Semua negara yang disebut barusan adalah negara-negara kaya. Penelitian ini seakan memperkuat teori bahwa kesuksesan itu akan membawa kita kepada kebahagiaan. Ini terus terang agak bertolak belakang dengan penelitian psikologi positif yang terkini.

Penelitian yang lebih fenomenal (saya menyebutnya demikian karena berkeyakinan bahwa kesuksesan tidak selalu mengarahkan kita kepada kebahagiaan) adalah yang dilakukan oleh para Professor di London School of Economics (LSE) pada tahun 2005 di Inggris. Para profesor ini justru menempatkan Bangladesh sebagai negara terbahagia di dunia. Padahal kita semua tahu Bangladesh adalah sebuah negara miskin yang menurut anggapan umum sulit untuk menjadi negara yang bahagia.

Yang menarik, para profesor ini bahkan menempatkan negara mereka sendiri yaitu Inggris di urutan yang ke 32, begitu juga dengan negara-negara barat lainnya yang secara ekonomi termasuk dalam negara yang makmur. Saya kira kalau dilihat dari sudut kepentingan dan ego sesungguhnya agak sulit untuk menempatkan negara mereka sendiri jauh di bawah sebuah negara yang miskin dan “terbelakang”, apalagi negara yang bersangkutan juga berbeda secara ekonomi, budaya, dan agama denga mereka. Ini membuat saya merasa bahwa hasil penelitian para ahli di LSE ini lebih bebas kepentingan.

Dengan mengatakan hal ini sama sekali bukan berarti bahwa saya meragukan hasil penelitian PBB ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa penelitian LSE lebih cocok dengan teori saya mengenai kebahagiaan. Selain itu ada satu fakta yang membuat saya berpikir lebih jauh mengenai penelitian PBB yaitu bahwa di negara-negara Skandinavia yang disebut sebagai negara yang paling bahagia tersebut angka bunuh dirinya sangat tinggi. Ini yang juga perlu diteliti lebih lanjut. Bunuh diri sesungguhnya adalah puncak dari ketidakbahagiaan yaitu ketika hidup kita sudah terasa tak berguna dan tak bermakna lagi. Lantas bagaimana mungkin kita menyebut sebuah negara itu bahagia kalau angka bunuh dirinya juga cenderung meningkat dari waktu ke waktu?

Arvan Pradiansyah Happiness Inspirer Managing Director Institute for Leadership and Life Management (www.ilm.co.id) Follow @arvanpra www.arvanpradiansyah.com


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved