My Article

Dimensi Perkawinan dalam Hubungan Industrial

Dimensi Perkawinan dalam Hubungan Industrial

Oleh : Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn, Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya.

Rio Christiawan

Mahkamah Konstitusi baru saja menerbitkan Putusan nomor 13/PUU-XV/2017 tertanggal 14 Desember 2017 terkait Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Adapun Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi, Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pada huruf (f) “pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama”.

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 menyatakan, frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama” dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, sehingga pasca Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 bunyi Pasal Pasal 153 ayat (1) huruf f berbunyi, Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pada huruf (f) “pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan” yang artinya pekerja dapat menikah dengan sesama pekerja di perusahaan yang sama. Lalu, persoalan yang muncul terkait hal ini adalah good corporate governance (GCG).

Di satu sisi bahwa menikah dan membentuk keluarga dengan sesama karyawan dan tetap diperlakukan secara adil adalah merupakan hak asasi manusi sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Akan tetapi, tidak dapat dikesampingkan juga bahwa perusahaan dalam menjalankan praktik bisnisnya harus mempedomani GCG. Persoalan pernikahan karyawan dan karyawati dalam satu perusahaan ini tentu menjadi perdebatan, khususnya tentang potensi munculnya nepotisme dalam hubungan industrial. Pada dasarnya GCG adalah untuk membentuk hubungan industrial yang etis.

Human Capital vs Human Resources

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 nampak terlihat romantis bagi mereka yang sedang jatuh cinta dalam perusahaan yang sama. Namun, sesungguhnya ini bertentangan dengan konsep investasi; don’t put your eggs in one basket. Maka, hal ini dapat kita maknai jika karyawan dipandang sebagai asset perusahaan maupun asset bagi bangsa ini maka sudut pandang yang harus digunakan adalah human capital tetapi jika karyawan dipandang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan maka terminologinya adalah human resources.

Dalam putusan tersebut nampaknya banyak unsur dan teori hukum yang belum dipertimbangkan. Boleh jadi putusan tersebut hanya membatalkan Pasal Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan dengan mengujinya terhadap UUD 1945 tetapi persoalannya adalah jika karyawan dipandang sebagai human capital maka hukum dan etis harus berada dalam satu domain yang sama. Sebab, etis merupakan pedoman apa yang adil dan tidak adil, apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk semua pemangku kepentingan ilustrasinya bisa saja dengan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 dipandang tidak adil bagi orang lain karena menutup kemungkinan kerja orang tersebut atau justru dapat menimbulkan potensi ketidakadilan bagi karyawan yang bersangkutan sendiri karena jika perusahaan melihat ada potensi conflict of interest, maka perusahaan memiliki hak untuk melakukan mutasi yang mana posisi baru belum tentu cocok dengan potensi, bakat serta minat yang dimiliki karyawan tersebut yang akibatnya karyawan sebagai aset akan justru tidak berkembang dengan baik bertentangan dengan the right man in the right place.

Jika pendekatannya adalah human resources, maka instrumennya adalah kemanfaatan. Artinya, saat ini antara perkawinan dan hubungan industrial dipandang secara terpisah tanpa korelasi artinya karyawan bebas menikah dengan siapa saja termasuk menikah dengan rekan dalam satu perusahaan tetapi pertanyaan reflektifnya adalah jika perkawinan dan hubungan industrial dipandang memiliki korelasi artinya apakah norma baru ini membentuk hubungan industrial yang memandang karyawan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang artinya karyawan dipandang sebagai cost artinya dengan putusan ini jika perusahaan tidak dapat menerima situasi tersebut maka tetap akan terjadi PHK dengan alasan lain, efisiensi misalnya.

Bisa jadi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 menggunakan pendekatan human resources sebagai sumber pendukung dari suatu organisasi dan orang dianggap sebagai biaya yang harus dikelola dengan strategi beserta alat ukur yang sudah ada sebelumnya sehingga jika terjadi perkawinan dalam suatu organisasi perusahaan berdampak besar akan tetapi menjadi lain maknanya jika putusan tersebut dibaca dari sudut pandang human capital yang menganggap karyawan sebagai sumber kunci organisasi, dengan mengunakan strategi dengan alat ukur untuk menciptakan nilai (creating value) sehingga dapat mengarahkan dan mengakselerasi strategi bisnis serta tidak mengangap manusia sebagai biaya.

Saat ini putusan tersebut sudah membentuk norma baru dalam evolusi hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Esensinya adalah, baik dipandang sebagai human capital maupun human resources, perusahaan tetap membutuhkan karyawan. Hanya perusahaan tentu menyikapi dengan berbeda. Tampak dalam putusan tersebut bahwa pendekatannya sangat human resources, misalnya dengan pertimbangan jika karyawan menikahi rekan kerjanya dan tetap bekerja pada perusahaan yang sama, maka remunerasi yang menjadi beban perusahaan lebih rendah namun dimensinya akan berbeda jika dipandang karyawan adalah aset yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam kaitannya dengan strategi bisnis. Sehingga, aset tersebut dijaga dari conflict of interest supaya karyawan dapat berkembang sesuai potensinya dan memberi kontribusi yang maksimal.

Dalam kaitannya dengan perkawinan, secara reflektif saya kembali mengutip Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Kemudian, dalam ayat (2) dijelaskan bahwa yang sah itu atas kehendak bebas calon suami dan calon istri, aturan tersebut benar adanya jika memandang perkawinan secara terpisah dengan hubungan industrial demikian juga dengan Pasal 28C ayat (2) dan 28D ayat (1). Persoalannya adalah dengan norma baru sebagai implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 13/PUU-XV/2017 akan mengubah bentuk dimensi hubungan industrial di mana persoalan perkawinan menjadi satu elemen di dalamnya yang harus diperhitungkan perusahaan dalam melakukan manpower planning.

Ilustrasi reflektif kejadian nyata yang mungkin muncul akibat norma baru ini adalah misalnya seorang manager handal yang sangat potensial di bagian audit menikah dengan manager handal di bagian keuangan. Tepatkah jika perusahaan tidak melakukan mutasi atau mutasi justru akan mematikan karier manajer yang bersangkutan karena tidak sesuai dengan bakat, minat dan latar belakang keahlian? Atau, apakah perusahaan tersebut merupakan satu satunya tempat yang bisa memperkerjakan manager tersebut? Saya mencoba memahami persoalan ini dari pandangan reflektif yang menempatkan karyawan sebagai makhluk yang bernilai dengan mengesampingkan nuansa emosional variabel perkawinan sesama karyawan. Bukankah dengan perkawinan seharusnya satu sama lain semakin merasa nyaman dan terdukung? Juga, tentunya perkawinan tersebut akan nyaman serta tidak menimbulkan persoalan lain jika tidak ada resistensi dari pemangku kepentingan lain dalam keseharian.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved