My Article

Gempa Aceh dan Goncangan Perekonomian Daerah

Oleh Admin
Gempa Aceh dan Goncangan Perekonomian Daerah

Oleh: Yanuar Andrianto – MiniMBA Program Coordinator, PPM School of Management

Rasanya baru kemarin beberapa wilayah Indonesia disinggahi bencana banjir, erupsi gunung berapi, dan angin puting beliung. Indonesia kembali harus berduka, negeri Serambi Mekkah diterpa gempa bumi berkekuatan 6,5 skala richter. Data terakhir korban yang dirilis BNPB hingga Kamis (15/12/2016), bencana ini mengakibatkan 103 orang meninggal dunia, dan ratusan orang lainnya mengalami luka ringan dan berat. Sekitar 85.161 orang harus mengungsi karena infrastruktur tempat tinggal dan fasilitas umum mengalami kerusakan akibat kuatnya gempa.

PPM School of Management

Yanuar Andrianto – MiniMBA Program Coordinator, PPM School of Management

Bencana alam tidak bisa dilepaskan dari aspek geologis wilayah Indonesia yang berlokasi pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Itu mengakibatkan wilayah Indonesia rentan bencana gempa bumi dan aktivitas vulkanik gunung api. Namun, pada kenyataannya, dari 1.853 beragam kejadian bencana yang terjadi hingga bulan Oktober 2016, hanya 2% bencana geologi yang terjadi seperti gempa aktivitas vulkanik gunang api (BNPB, 2016).

Penyebab utamanya adalah perubahahan iklim global yang sudah berdampak langsung terhadap Indonesia. 89% kejadian bencana alam yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi (dipengaruhi oleh cuaca) seperti banjir, tanah longsor, dan gelombang pasang. Selebihnya sebanyak 9% adalah kebakaran hutan dan lahan.

Jumlah kejadian bencana jauh meningkat dibandingkan tahun 2002, yang mana kejadian bencana hidrometeorologi kurang dari 200 kejadian. BNPB mencatat, sejak tahun 2012 telah terjadi 1.811 kejadian bencana, 1.674 bencana pada tahun 2013, tahun 2014 mencapai 1.967 bencana, dan tahun 2015 mencapai 1.732 bencana. Pengalaman ini menunjukkan bahwasanya risiko bencana alam tidak hanya sebatas waspada, namun sudah harus disiapkan langkah-langkah antisipasi dan represif dalam mengelola risiko bencana.

Dampak Bencana bagi UMKM

Jumlah kejadian bencana yang terus meningkat secara langsung akan mengganggu aktivitas ekonomi daerah. Terutama yang akan merasakannya adalah sektor ekonomi kerakyatan yaitu UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Tidak hanya menghadapi masalah internal seperti permodalan, pemasaran, dan penciptaan daya saingnya saja, permasalahan UMKM juga meliputi pengelolaan risiko bencana alam.

Belajar dari bencana serupa di Yogyakarta tahun 2006, sekitar 150.389 UMKM mengalami kerusakan yang masuk kategori dampak parah. Sekitar 90% masyarakat setempat bekerja di sektor UMKM yang mengakibatkan sekitar 650.000 orang menjadi pengangguran.

Pertumbuhan ekonomi Yogyakarta mengalami penurunan menjadi 3,7% pasca kejadian bencana, yang semula berada di posisi 4,74% (BNPB; Tim Nasional untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Paska Gempabumi, 2008).

Melihat dampak gempa di Pidie Jaya, Aceh, rusaknya bangunan rumah (16.238 rumah) dan 161 ruko mengalami kerusakan, bisa berpotensi mengganggu kegiatan ekonomi daerah. UMKM menjadi rentan akan kejadian bencana karena sebagian besar masih mengelola usahanya secara konvensional dibandingkan dengan korporasi besar yang lebih mature dalam pengelolaan bisnis dan risiko.

UMKM umumnya menggunakan sumber daya lokal dalam operasi bisnisnya. Apabila terjadi bencana melanda disuatu daerah maka berakibat terhentinya pasokan bahan baku, kerusakan/kehilangan aset produksi, kerusakan bahan baku/hasil produksi, hingga hambatan distribusi produk. Banyak pihak yang akan dirugikan dan membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar pasca terjadinya bencana.

Kehidupan UMKM patut dijaga dalam menggerakan roda perekonomian. Tidak hanya menggerakan perekomian daerah, namun sebagai penggerak utama perekonomian nasional karena 99% pelaku usaha di Indonesia masuk dalam sektor UMKM (Mourougane, 2012).

Kontribusi yang diberikan terhadap PDB telah mencapai 60,34% dalam 5 tahun terakhir dan mampu menyerap tenaga kerja di Indonesia hingga 97,22% (KADIN, 2016). Artinya, ketika bencana terlambat diantisipasi, seluruh mata rantai pada sektor UMKM akan lumpuh.

Hasil studi yang dilakukan Oxfam Indonesia kepada 1.212 UMKM menemukan bahwa, 87% UMKM tidak memiliki kapasitas dan strategi pemulihan ketika terjadi bencana alam. Kesiapan UMKM dapat didukung melalui penerapan manajemen risiko di sektor UMKM agar dampak yang ditimbulkan tidak menciptakan masalah sosial ekonomi berkepanjangan. Salah satu bentuk pendekatan manajemen risiko yang dapat diaplikasikan pada sektor UMKM adalah Business Countinuity Plan (BCP) atau dikenal dengan emergency plan.

BCP memberikan informasi penting dan tindakan yang dibutuhkan UMKM dalam mengelola kejadian bencana. UMKM akan memahami risiko yang dihadapi dan memiliki pilihan alternatif tindak lanjut yang harus dilakukan ketika kejadian bencana muncul. Pada situasi bencana, pelaku UMKM akan lebih memahami rencana dan langkah-langkah sistematis yang dilakukan sehingga kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan akibat shock& stress berlebih dapat diminimalisir.

Melalui penerapan BCP, UMKM dapat mengurangi kerugian jangka pendek dan jangka panjang saat terjadi bencana. UMKM justru lebih sigap mengantisipasi bencana, mampu bertahan dan cepat beradaptasi dengan situasi bencana, serta dapat memperpendek waktu pemulihan (recovery) pasca terjadinya bencana.

Memahami fenomena yang sedang terjadi, kehadiran bencana alam bukanlah tamu asing bagi Indonesia. Pengalaman menghadapi kejadian bencana alam pantas menjadikan Indonesia sebagai Disasters Laboratory. Terlebih lagi penerapan BCP, akan menjadikan UMKM Indonesia lebih tangguh mengelola dampak kejadian bencana.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved