My Article

Great Reset, Ekonomi Indonesia dan UMKM

Oleh Editor
Great Reset, Ekonomi Indonesia dan UMKM

Oleh: Arif Z. Djunaedi, Dosen Ekonomi Univ. Hayam Wuruk Perbanas

Arif Z. Djunaedi, Dosen Ekonomi Univ. Hayam Wuruk Perbanas

Shock Effect

Bagi sebagian orang, kejutan merupakan pencetus Adrenaline. Efeknya dikatakan meningkatkan denyut jantung, menajamkan pikiran dan mempertajam penglihatan. Hampir 2 dekade berjalan dan dunia ekonomi masih bergulir dengan kejutan. Setelah sempat slow-down dengan krisis 2008, kejutan berlanjut dengan bangkitnya kesadaran raksasa ekonomi baru, China. Kemudian diteruskan dengan bitcoin, perang dagang, pandemic, Brexit dan entah kejutan apalagi.

Pada momentum pertengahan 2020 yang tidak berselisih jauh dengan Brexit, Forum Ekonomi Dunia dengan beberapa tokoh dunia seperti Pangeran Charles dari Inggris, Direktur IMF dan beberapa perusahaan global, mengemukakan sebuah opini bahwa pandemi Covid-19 justru memberikan kesempatan emas bagi kita untuk melakukan reset. Beberapa pemimpin negara, termasuk Joe Biden (USA) dan Justin Trudeau (Kanada), kemudian mendukung langkah ini dengan slogannya Build Back Better. Sejak saat itu pula gagasan Great Reset menjadi mercusuar kebijakan beberapa negara maju di dunia.

Great reset

Pada 2010, Great Reset pernah disampaikan Richard Florida dalam buku karangannya dengan judul yang sama. Paparannya menekankan terjadinya tahapan perubahan ekonomi dan sosial yang mengarah kepada perubahan tatanan baru yang me-reset kebiasaan lama. Dalam intepretasi saya, penyebabnya bisa dianggap sebagai natural cause sebagaimana invisible hand dalam hukum ekonomi. Dikatakan manusia secara makhluk sosial-ekonomi akan mengarahkan dirinya dalam tahapan survival dengan menciptakan kondisi ini tanpa disadarinya. Sehingga menciptakan ekosistem sosial yang benar-benar berbeda.

Pada buku “Covid-19 The Great Reset” karangan Klaus Schwab, founder Forum Ekonomi Dunia, saya mengintepretasi konsep ”Great Reset” sebagai hal yang sudah tidak terhindarkan, karena hal itu sudah tercipta di sekitar kita. Salah satunya, kita telah berada pada tahap di mana adanya Hyperconnectivity, yang terjalin melebihi konteks global supply-chain dan hampir dapat dikatakan mustahil untuk bisa terpisahkan. Bahkan saya meragukan Amerika sanggup memisahkan diri (decouple) dari konektivitas ini. Hyperconnectivity ini sudah tidak terelakkan walaupun munculnya dimulai dari motif ekonomi. Konektivitas ini sudah mengarah pada perdagangan nilai, budaya dan bahkan ideologis personal dapat terasimilasi tanpa ada batas negara dan semuanya terjadi tanpa disadari. Pandemi dan internet memasifkan kondisi tersebut sebagai jembatan hyperconnectivity, sebagai unlock space yang tidak didapatkan seseorang karena lockdown.

Reset Pendekatan Kebijakan Indonesia

Apakah kita perlu mengkaji ulang treatment kebijakan moneter dan fiskal yang biasa kita ambil? Contoh nyata adalah perubahan kebijakan pada blockchain (bitcoin) yang pada 2021 diakui oleh BAPPEBTI, setelah sebelumnya pada 2017 tidak diijinkan oleh Kominfo. Paparan tentang Bitcoin sudah banyak diulas, tetapi penekanannya haruskah kondisi mendahului regulasi. Sejak April 2020, Tiongkok telah mengaplikasikan mata uang digitalnya di 4 kota terbesarnya. Perubahan karakteristik pekerjaan dan metode kerja juga telah di-reset oleh pandemi. Pertanyaannya, akankah kita reaktif? Ataukah kita telah bersiap?. Great Reset merupakan fenomena natural cause munculnya gunung es dan saat ini kita hanya melihat sepotong kecil darinya dan belum sedikitpun meraba dasarnya.

Kita melihat upaya luar biasa dari pemerintah untuk mengadaptasikan kebijakan ditengah pandemi. Baik sisi fiskal maupun moneter, misalnya dengan relaksasi pajak, bunga kredit rendah, subsidi kesehatan dan energi, penangguhan hutang, penyempurnaan infrastruktur logistik dan lain sebagainya. Selain itu, menengok pada metode pemerintah Indonesia yang melakukan treament pasien pandemi melalui kerjasama platform Kesehatan bisa dikatakan langkah yang brilian. Tapi bayangkan saja bila metode yang sama juga dapat diadaptasi dengan platform B2C dan B2B dalam melakukan stimulus kebijakan ekonomi.

Melihat pertumbuhan kita yang banyak disokong konsumsi masyarakat, maka wajar bila geliat platform Indonesia lebih terasa pada sektor B2C. Sedangkan perimbangan konsumsi industri dalam negeri masih kurang, perlu diingat bahwa percepatan industrialisasi Tiongkok didorong oleh platform B2B. Akselerasi pertumbuhan ekonomi dapat didorong melalui konsumsi masyarakat dan Industri, serta ketersediaan market, logistik dan bahan baku. Bersyukurlah karena Indonesia memiliki itu semua walaupun belum dioptimalkan.

Menyikapi perubahan juga berarti mempersiapkan kondisi ke depan. Khawatirnya, kondisi meradang ekonomi Indonesia akan lebih terasa justru setelah masa pandemi selesai. Angka pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan akan mengambil peran di masyarakat dan pemerintah perlu bersigap.

UMKM dan Bussiness Reset

Berdasarkan data, 75% pekerjaan di Amerika bisa dilakukan di rumah, yang artinya budaya WFH telah me-reset karakteristik bisnis. Pasca-pandemi juga berpeluang mempercepat penggunaan robot dan dominasi mesin dalam proses produksi melebihi masa-masa sebelumnya. Ke depan, keandalan mesin yang tidak menularkan virus dan bebas sakit pasti akan lebih dipilih oleh sektor manufaktur, sebagai pilihan logis dan ekonomis. Ketimpangan keterserapan tenaga kerja dengan hasil produksi dapat terjadi bila tidak diantisipasi mulai sekarang. Berkaca pada kondisi itu, Indonesia memerlukan undang-undang ketenagakerjaan yang lebih fleksibel dalam skema gaji dan jam kerja, termasuk memfasilitasi WFH dalam undang-undang. Tentunya tanpa melanggar hak kedua pihak dan tetap memperhatikan profit oriented.

Di sinilah peran aktif UMKM seharusnya dapat mengimbangi, lebih dari 60% basis ekonomi kita adalah UMKM yang mayoritas beroperasional dengan cara tradisional. Pandemi ini juga membuktikan resiliensi dan survival ability UMKM kita yang luar biasa. Pemerintah perlu memperkuat posisi UMKM terutama untuk pertumbuhan sektor jasa, dan perlu adanya insentif penyerapan tenaga kerja skala mikro. Semuanya bermuara untuk mengimbangi perubahan karakter sektor manufaktur yang akan mengarah pada pelepasan tenaga kerja. Tingkat adaptasi UMKM terhadap perubahan budaya kerja juga harus diberikan jembatan regulasi yang bertujuan mendorong produktifitas kerja. Stimulus UMKM juga dapat dirangsang dengan platform B2B dan B2C yang dapat mendorong konsumsi investasi dan hal ini juga menciptakan keterikatan supply-chain domestik yang kuat

Uncertainty

Kata kuncinya adalah uncertainty. Ketidakpastian kini bagian dari natural cause yang sulit dibendung, wajarlah bila menjadi celah munculnya reset. Uncertainty mengharapkan pertaruhan, karena keyakinan berhasil diatas 80% sudah tidak memungkinkan digunakan. Uncertainty juga berpeluang berbenturan dengan golongan yang menggunakan metode yang pasti-pasti saja. Di era uncertainty, pemakluman adalah hal yang harus dikedepankan, sedangkan mind-reset harus disiapkan. Tahun lalu melarang, tahun ini mengijinkan, keputusan berubah secepat keputusan dibuat. Namun, rasionalitas dan proaktif juga harus digenggam, sehingga jangan terkejut dengan keterkejutan hal baru disekitar kita, karena hal itu patut dimaklumi. Seperti halnya efek adrenalin yang meningkatkan denyut jantung dan menajamkan pikiran, efek tersebut hanya bersifat sementara. Apakah kita bisa memanfaatkan “doping” sementara dari adrenaline yang dikatakan mampu membuka mata, menajamkan pikiran kita untuk mempersiapkan diri kita dari ketidakpastian hasil “Great Reset”?


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved