My Article

Hidup di Jalur Cepat

Hidup di Jalur Cepat

Dokter itu tidak mempersilakan kami duduk. Nampaknya, ia ingin menimbulkan kesan bahwa ia sedang sangat sibuk. “Ada masalah apa,” tanyanya datar. Matanya melihat sekilas kepada ketiga sosok manusia yang berdiri di hadapannya: saya, istri dan anak saya yang waktu itu berusia dua tahun.

Melihat sambutannya yang to the point, saya langsung saja menjawab pertanyaannya, “Anak saya tidak mau makan, dokter. Dia …”

“Baiklah,” kata dokter itu memotong kata-kata saya, “Ini pasti masalah enzim. Silakan berurusan dengan suster saya, dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.”

Saya tercengang. “Beginikah perlakuan seorang dokter kepada pasiennya?” ujar saya membatin. Saya tahu dokter ini memang mempunyai banyak pasien, saya saja sudah menunggu hampir dua jam sebelum akhirnya dipanggil masuk. Namun, bukankah kami layak mendapatkan perlakuan yang wajar? Bukankah kami membayar mahal untuk dapat berkonsultasi dengannya?

Belum sempat mengatakan apa-apa, istri saya sudah membuyarkan lamunan saya. “Di belakang kita sudah ada orang, Mas,” ujarnya. Saya tersadar. Benar, ternyata hanya satu meter di belakang kami sudah berdiri satu keluarga lain.

Dan dokter itu menyambut mereka dengan cara yang persis sama dengan caranya melayani kami.

Pembaca yang budiman, apa yang terlintas di pikiran Anda ketika membaca cerita saya di atas? Apakah dokter ini memperlakukan pelanggannya seperti manusia yang layak dihormati, didengarkan dan diperhatikan? Ataukah ia memperlakukan pasiennya sekadar sebagai “benda hidup” yang memberinya penghasilan?

Dokter ini adalah contoh manusia yang hidup di jalur cepat. Inilah jalur yang juga sering kita lalui untuk mencapai kesuksesan. Kita hidup dari satu rapat ke rapat yang lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Ibarat kendaraan, kita melaju dengan kecepatan di atas 100 km per jam. Kehidupan yang serba cepat ini tanpa terasa telah mengendalikan respons kita. Kita menjadi manusia yang serba cepat, sangat efisien, dan mengerjakan berbagai hal sekaligus. Kita memikirkan berbagai macam hal yang berbeda-beda pada waktu yang bersamaan. Dan celakanya lagi, kita mampu melakukan semuanya dengan ketepatan yang tinggi!

Namun, kesuksesan semacam itu bukanlah datang tanpa biaya apa pun. Atas nama efisiensi kita telah mengorbankan hubungan antarmanusia. Padahal, hubungan antarmanusia sesungguhnya jauh lebih berharga daripada apa pun di dunia ini.

Dasar dari hubungan yang berkualitas adalah kasih, dan kasih baru akan dapat dicapai bila kita melambatkan tempo kita, bukan mempercepatnya. Salah satu rumus terpenting paradigma kesuksesan memang adalah “kecepatan”. Kita harus lebih cepat dari waktu ke waktu. Lebih cepat itu lebih baik. Namun, hal ini berbeda dari rumus kebahagiaan. Kebahagiaan justru baru akan dicapai bila kita melambatkan cara berpikir kita. Dan bukankah ketika berhubungan dengan orang lain, lebih lambat justru akan terasa lebih baik?

Ada tiga manfaat yang dapat kita peroleh bila kita memperlambat tempo kita. Pertama, menciptakan hubungan emosional, bukan sekadar transaksional. Tindakan yang serba cepat ketika berhubungan dengan orang lain mengomunikasikan dengan gamblang bahwa kita hanya memperhatikan isi pesannya (message), bukan hubungan (relationship) kita dengan orang tersebut. Tindakan serba cepat tersebut mengatakan, “Aku hanya perlu menyelesaikan semua urusanku denganmu,” bukannya “Aku ingin menjalin hubungan baik denganmu.” Dengan kata lain, kita seolah-olah mengatakan, “Aku tak peduli bagaimana keadaanmu, dan aku juga tak peduli bagaimana hubunganmu denganku sejauh semua urusan di antara kita dapat terselesaikan dengan baik.”

Kedua, memperlambat tempo menunjukkan bahwa kita mengasihi orang lain. Kasih itu lambat, bukan cepat. Bukankah kita hanya dapat mengasihi kalau kita memperhatikan orang lain? Akan tetapi, bagaimana kita sempat memperhatikan orang lain kalau interaksi kita berlangsung begitu cepat?

Kasih juga berarti peduli keinginan orang lain. Orang yang sungguh peduli mau mendengarkan dengan sepenuh hati. Ia sabar, tidak terburu-buru dan membuat orang bisa rileks ketika meluangkan waktu bersamanya. Bukankah hanya dalam suasana rileks dan bersahabat sajalah kita berani mengungkapkan isi hati kita? Bukankah kita sering membatalkan apa yang ingin kita katakan hanya karena suasananya tidak tenang dan tidak nyaman?

Ketiga, memperlambat tempo akan meningkatkan kepekaan kita pada orang lain. Setiap orang membutuhkan sapaan, perhatian dan senyuman. Ketika hidup di jalur cepat, kita tidak ingin mendengar bahwa mereka memiliki masalah. Kita berasumsi bahwa mereka baik-baik saja. Kita seakan-akan mengatakan, “Aku lihat engkau baik-baik saja. Jangan bilang padaku bahwa engkau memiliki masalah.” Padahal, setiap orang memiliki masalah masing-masing, walaupun di luarnya mereka ingin terlihat bahagia. Kehidupan di jalur cepat mengabaikan semua itu. Kita menganggap semua orang yang berlalu di hadapan kita sebagai hambatan yang harus kita singkirkan.

Orang yang hidup di jalur cepat sering berdalih bahwa yang terpenting adalah quality time. Padahal, bagaimana mungkin kita akan mendapatkan waktu yang berkualitas dengan orang lain bila waktu yang tersedia sangatlah sedikit? Bukankah justru kuantitaslah yang akan menghasilkan kualitas?

Dalam hubungan antarmanusia, lebih lambat sesungguhnya berarti lebih cepat. Karena itu, kita perlu memperlambat tempo kita dan menyediakan waktu untuk hubungan yang lebih berkualitas. Inilah yang akan menciptakan kasih di antara kita. Kasih bukanlah ditumbuhkan dalam kecepatan. Kasih ditumbuhkan dalam kelambatan.

Arvan Pradiansyah Happiness Inspirer Pertama di Indonesia Managing Director Institute of Leadership & Life Management (www.ilm.co.id) Follow @arvanprawww.arvanpradiansyah.com

*) Penulis adalah Narasumber talkshow Smart Happiness di SmartFM Network.

(diambil dari Kolom “Pernik” di Majalah SWA, edisi 15/XXV/15-28 Juli 2010)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved