My Article

Home Sweet Home

Home Sweet Home

Mudik, coming home, hui jia shiang alias pulang kampung atau pulang ke rumah orang tua sudah menjadi budaya banyak orang. Setidaknya setahun sekali, ada waktu untuk berkumpul bersama kerabat semua. Orang Amerika melakukannya pada hari Thanksgiving. Orang Tionghoa berkumpul pada hari raya tahun baru Imlek. Kita, tak ketinggalan, rela berdesak-desakan atau terjebak kemacetan agar bisa berkumpul bersama pada Idul Fitri atau Natal.

Di acara mudik inilah kita melakukan tiga aktivitas (saya menyebutnya sebagai 3B) yang hampir mirip di segala bangsa di berbagai benua, yakni Berkumpul untuk silaturahmi, Berpesta dengan makanan yang khas, serta Berbagi dengan menyisihkan sebagian uang untuk keponakan atau saudara yang membutuhkan. Ketika waktu liburan usai dan masing masing harus kembali ke kotanya, ada rasa haru dan kerinduan untuk bertemu kembali tahun selanjutnya. Home sweet home.

Aktivitas yang boleh dikatakan sebagai ritual ini masih terus dipelihara sampai kini. Tradisi ini bersumber pada budaya bahwa rumah (home) adalah sumber energi untuk refreshing, rebuilding, reshaping, rejoicing dan berbagai re lainnya. Pertanyaannya, why home?

Home adalah suatu tempat yang memiliki kekuatan cinta (power of love). Tempat untuk bertemu dengan orang yang sangat kita cintai serta melakukan pekerjaan yang sangat kita senangi dan menghasilkan karya yang sangat kita sukai. Kepenatan yang terjadi seakan-akan hilang ketika sudah tiba pada suatu bangunan yang kita sebut sebagai home dengan si kecil yang berlari menyambut kedatangan kita dengan sebutan “papa” atau “kakek” atau “sayang”. Panggilan itu seakan-akan menimbulkan energi kebahagiaan yang baru. Semua persoalan yang sedang dihadapi seperti sirna karena ada kekuatan cinta dari orang yang kita temui di our home.

Home juga memiliki kekuatan kepercayaan (power of trust) yang membuat anggota bisa bercerita apa saja dan yakin anggota keluarga lain akan memikirkan penyelesaiannya dengan sepenuh hati. Kepercayaan adalah sumber penyelesaian semua masalah. Dipercaya dan mampu memercayai membuat hubungan menjadi sangat intim dan bersahabat. Ketidakpercayaan menciptakan hubungan yang penuh saling curiga, ada hal yang tidak terbuka yang membuat hidup menjadi arena politicking. Suasana yang sangat tidak mengenakan.

Home juga menyimpan kekuatan sinergi (power of synergy) yang membuat perbedaan menjadi anugerah, bukan perpecahan. Saling melengkapi dan saling membuat kekuatan sebagai kelompok menjadi kesatuan prima.

Kedamaian dan kerukunan di rumah selama empat atau lima jam bersama ternyata mampu memulihkan energi yang terkuras di tempat kerja. Keesokan harinya energi baru sudah muncul yang berarti siap melaksanakan pekerjaan dan menerima tantangan baru.

Itu sebabnya, pepatah Tionghoa mengatakan, Jia he wan she sing. Artinya, ketika ada kedamaian di rumah, semua persoalan akan mudah diselesaikan. Inilah tema yang selalu diangkat ketika merayakan Imlek. Kesuksesan di luar dimulai dari kerukunan di dalam rumah. Kebahagiaan di luar diawali dengan kebahagaian di rumah. Kekuatan di luar harus bersumber pada kekuatan di dalam rumah. Rumah menjadi titik sentral pemulihan segala macam perkara.

Keyakinan ini memunculkan akar budaya rumah sebagai kelompok terkecil dari masyarakat yang harus kuat, kompak dan komplemen. Ketika rumah tangga atau keluarga dalam satu rumah sangat kokoh, maka kokohlah bangsa. Sebaliknya bangsa akan rusak ketika kekuatan keluarga sebagai komunitas terkecil hancur luluh. Karena pengalaman inilah, King David menulis kata bijak dengan indahnya: “How good and how pleasant it is for brethren to dwell together in unity! For there the Lord commanded the blessing, Even life for evermore”.

Bayangkan kalau kerukunan ini juga ada di rumah kedua (second home) yang bernama kantor. Ketika karyawan pulang gontai akibat kemarahan pelanggan atau kalah tender atau proyek gagal, atasan menyambutnya dengan hangat. Bukan menyalahkan, tetapi memotivasi untuk mengembalikan kepercayaan dirinya. Rekan kerja pun tidak mencerca, tetapi mendukung. Ketika kekompakan di unit kerja terkecil mampu dibina, kekuatan akan menjalar ke seluruh perusahaan. Ketika ini bisa terjadi, kantor menjadi pusat penyegaran energi baru. Kekeluargaan yang kuat membuat karyawan betah dan semakin produktif. Kantor yang memiliki power of love, power of trust and power of synergy akan membuat power to dominate the market semakin kuat. Pelanggan bukan hanya merasakan kekuatan produk, tetapi juga kekuatan pelayanan yang luar biasa. Karyawan hanya bisa melayani pelanggan dengan baik kalau ia dilayani dengan baik oleh atasan dan kolega di kantornya.

Sebaliknya ketika kantor atau rumah menjadi tempat jagal dan jegal, hubungan antarkaryawan menjadi amat kering. Sekadar rekan untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sekadar penghasil materi yang penuh intrik untuk meraih posisi. Kantor yang demikian ini akan mudah runtuh karena yang berkarakter baik akan lari ke tempat lain untuk menemukan second home-nya. Setiap manusia butuh home untuk menghasilkan karya yang paling maksimal.

Karenanya, sudah menjadi hal wajar kalau setiap pribadi berkontribusi dalam menciptakan home sweet home di rumah pertama (first home) yang disebut keluarga dan rumah kedua (second home) yang disebut kantor. Ini tantangan bagi semua. Ketika kita sudah memiliki dua rumah yang harmonis, prestasi hanya tinggal menunggu waktu. Sangat senang ketika akan berkerja dan bertemu dengan rekan sekantor karena ada kesejahteraan dalam karya, suka cita ketika mau pulang ke rumah karena kebahagiaan juga menyambut di sana. Masalahnya, ini tidak hanya bergantung pada lingkungan sekitar, kuncinya justru pada diri sendiri. Apakah kita mau dan mampu menciptakan rumah pertama dan kedua yang home sweet home?(*)

*)Penulis buku laris Built to Bless dan Lead to Bless Leader.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved