My Article

HRM 5.0: Humans are Still Humans

Bagus Adi Luthfi

Oleh: Bagus Adi Luthfi, Talent Analytics Specialist Lembaga Management FEB UI (Email: [email protected])

Dahulu Aristoteles pernah mengatakan bahwa kaum pria memiliki gigi lebih banyak dibandingkan kaum wanita. Saat ini kita tahu bahwa apa yang dikatakannya itu adalah omong kosong. Namun jangan salah sangka, apa yang diucapkannya itu pernah menjadi satu kepercayaan umum selama kurang lebih hampir 2000 tahun. Sampai suatu saat, ada satu pertanyaan revolusioner “mari kita hitung”.

Saat ini kita hidup dalam nuansa metode ilmiah dimana hipotesis dan pengujian ilmiah menjadi salah satu ritus paling penting untuk membuktikan kebenaran. Kita akan merasa heran, bagaimana bisa orang-orang cerdas tunduk pada otoritas sang filsuf dan tidak mencoba menguji asumsinya.

Kita bisa menghakimi mereka sebagai sebagai “kaum fanatis” atau memaafkan mereka karena mungkin pada saat itu mereka belum cukup cerdas. Meskipun demikian, kita juga harus siap menghadapi pertanyaan “apakah ada kemungkinan kita menjadi tawanan cara berpikir yang sederhana dalam memahami dunia?

Saat ini dunia pengetahuan maupun praktik HR masih didominasi dengan ide revolusioner yang bernama “meritocracy”. Kata sederhana ini memiliki makna bahwa siapapun dapat menaiki tangga organisasi dan tidak ada yang ditakdirkan untuk tetap berada dalam posisinya (talent management, pay for performance, leadership training, dan lainnya). Seorang pengemudi bisa menjadi CEO, bahkan meskipun dia merubah identitasnya dari laki-laki menjadi perempuan, atau datang dari kelompok minoritas selama mereka mempunyai bakat. Ide dasarnya adalah soal social fairness dengan memberikan pilihan kepada setiap orang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan aspirasi mereka. Disini, setiap pegawai diharapkan untuk dapat merubah posisinya selama perjalanan karir di piramida organisasi.

Dalam dunia meritokrasi, setiap orang wajib memakai topeng profesionalitas seperti terlihat sibuk, kompeten, dan mampu mengendalikan situasi. Rasionalitas adalah segalanya, emosi, mimpi, keragu-raguan sebaiknya tetap disimpan di balik topeng. Identitas seseorang tidak lagi dilihat dari pangkat dan jabatan namun kepada kebutuhan untuk sukses dan kesiapan untuk promosi. Pada kondisi ini, setiap pegawai pada akhirnya harus melepaskan keutuhannya sebagai manusia. Akibatnya, setiap orang berusaha untuk mencari perlindungan dalam pemisahan tersebut, termasuk melakukan apapun yang dibutuhkan untuk merasa aman, karena ego telah mengambil alih jiwa yang bersembunyi.

Namun, keamanan yang diperoleh harus dibayar dengan biaya yang mahal melalui hubungan penuh rasa takut akan penilaian orang lain, tidak lagi didasarkan pada asas cinta dan penerimaan. Oleh karenanya, konsep HR 5.0 ini merupakan penawaran yang berangkat dari tujuan tertinggi dalam kehidupan dengan membebaskan diri dari pemisahan dan kembali pada keutuhan. manusia itu tidak seperti hamburger, yang dapat kita ambil bagian mana saja yang kita sukai, apakah itu mayonnaise atau seladanya. Manusia merupakan satu paket komplit yang tidak dapat kita pisahkan dalam suatu atom kecil untuk memahaminya. Dengan ini, kita perlu membingkai ulang semua proses manajemen sumber daya manusia yang telah umum kita ketahui dengan beragam aksesorinya.

Sebagai contoh ketika proses rekrutmen, sebelum kandidat menjejakkan kakinya di organisasi, kemunafikan telah dimulai. Sebagai kandidat, seseorang mencoba menyesuaikan diri dengan kacamata penerima kerja mulai dari CV, cara berpakaian, sikap, maupun jawaban atau pertanyaan yang diinginkan. Pemberi kerja juga melakukan kemunafikan yang sama ketika mencoba menarik kandidat melalui teknik pemasaran yang mereka sebut sebagai “employer branding”. Pemberi kerja mencoba menciptakan bayangan positif mengenai kehebatan mereka. Gambaran ini seperti dua orang mitra yang berdansa dengan topeng dan memakai sepatu high heels yang tinggi, ditambah dengan make-up yang kita tidak akan mengenalinya pada waktu yang normal. Singkat kata, kita tengah disajikan sebuah tarian yang tidak nyaman.

HR 5.0 menawarkan pandangan baru dengan melihat manusia sebagai suatu yang utuh dan butuh akan keutuhan dirinya. Proses rekrutmen misalnya, harus disesuaikan sedemikian rupa agar kedua belah pihak mampu melihat secara lebih baik dan lebih jujur. Konsekuensinya, proses wawancara tidak lagi ditangani oleh pegawai bagian SDM, namun sekelompok pegawai yang berpotensi menjadi mitra di tim. Pada umumnya, mereka tidak memiliki target rekrutmen dan cenderung lebih jujur soal tempat kerja mereka.

Bagaimanapun, mereka memiliki kesadaran bahwa mereka harus hidup dengan konsekuensi apabila menjual organisasi kepada calon rekan tim baru. Mekanisme ini memungkinkan anggota tim melakukan wawancara dengan jujur yang akan mengundang kejujuran dari kandidat. Hal ini penting, mengingat sikap kandidat sama pentingnya dengan ketrampilan dan pengalaman mereka. Mereka ingin terlibat dengan orang sungguhan, bukan sekedar mampu memberikan semua jawaban yang benar

Contoh lainnya dari sisi pengembangan SDM misalnya, pandangan baru menolak keras intervensi bagian SDM untuk menentukan jenis pelatihan apa saja yang tepat untuk mengisi gap kompetensi. Pandangan baru tidak membicarakan gap, karena manusia bukanlah mesin yang harus mempunyai cetakan yang sama. Semua orang bebas mengambil jenis pelatihan maupun peran baru untuk mengembangkan dirinya dengan kebebasan tanpa batas.

Tentu saja, terjadi peralihan tanggung jawab yang besar kepada individu atas pembelajaran diri mereka sendiri. Tidak ada lagi fungsi SDM yang menentukan program pelatihan dan menentukan siapa yang dapat menghadiri program pelatihan apa. Anggaran pelatihan tidak lagi di divisi SDM, tapi di setiap tingkatan tim atau bahkan pada level individu, proses pengajuan kebutuhan pelatihan tidak dibutuhkan lagi. Hal ini dimaksudkan agar individu bisa lebih cepat merespon permasalahannya dibandingkan harus dikembalikan lagi pada rantai birokrasi yang panjang.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved