My Article

Indonesia Membutuhkan Lebih Banyak Scale-up, Bukan Startup

Indonesia Membutuhkan Lebih Banyak Scale-up, Bukan Startup

Oleh: Nicko Widjaja, Direktur Utama PT Metra Digital Investama (MDI Ventures), anak usaha Telkom

Membangun perusahaan rintisan (startup) bukanlah hal yang sulit di era digital saat ini. Bahkan boleh dikatakan sangat mudah membangun startup dengan berbekal ide dan modal uang yang tidak terlalu besar. Namun dari pengalaman yang saya amati selama ini, hanya segelintir saja (1-2%) yang mampu membangun skala bisnis digital yang cukup signifikan di tengah maraknya ekosistem yang sedang bertumbuh.

Melihat peran startup seperti Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak dalam pertumbuhan ekonomi nasional, tentunya ekonomi digital menjadi salah satu prioritas pemerintah teratas saat ini. Namun demikian, banyak yang tidak menyadari bahwa semua ini tidak terjadi seketika, tetapi tahapan demi tahapan.

Jika kita napak tilas, tahun 2009 merupakan awal mula “lahirnya” ekosistem digital di Indonesia yang masih berlanjut hingga kini. Saat itu tidak banyak yang mengerti apa perbedaan antara startup dan usaha kecil menengah (UKM), bahkan tidak banyak ajang kompetisi startups maupun hackaton terlihat seperti saat ini.

Memasuki tahun 2010, mulailah terlihat modal yang cukup signifikan masuk ke bisnis digital, salah satunya yaitu Yahoo! mengakusisi startup Koprol. Satu dekade setelah dot-com bust di Amerika Serikat dan 12 tahun setelah krisis keuangan di Asia, Indonesia – disadari atau tidak – telah memasuki ranah ekonomi digital. Transaksi akusisi perusahaan digital semakin terlihat semakin serius ditahun berikutnya ketika Detik.com diakusisi oleh CT Corp dan Kaskus diinjeksi mayoritas oleh Djarum Group.

MDI Ventures

Sumber: Riset MDI Ventures ASEAN Startups M&A (http://www.mdi.vc/bitsxbricks.pdf)

Setelah itu komunitas-komunitas digital yang tadinya hanya berisikan kurang dari 100 digital antusias, mulai didatangi investor koboi – atau yang juga dikenal dengan nama pemodal ventura (venture capitalist).

Tantangan Ekosistem Digital Indonesia

Startup pun mulai menjadi topik hangat pakar motivasi hingga kampanye politik tentu menarik perhatian demographic dividend di Indonesia dengan hampir dari setengah populasinya berada di umur produktif merupakan digital native dan digital migrant.

Namun, pada kenyataannya hampir semua startup yang sekarang membawa nama harum ekonomi digital di Indonesia melewati masa yang sangat sulit pada tahap pendiriannya. Apalagi pemodal ventura tidak selalu menjadi ‘malaikat’, bahkan ada yang menjadi ‘racun’ bagi startup yang di kelolanya.

Mungkin sampai saat ini masih banyak yang mengatakan bahwa lanskap startup di Indonesia penuh dengan informasi yang terdengar bombastis dan terkadang tidak dilandasi dengan logika rasional. Bagaimana sebuah startup seperti Airbnb memiliki nilai valuasi lebih besar dari perusahaan seperti Hilton atau Hyatt?

Ketika Gojek atau Tokopedia masih ‘kecil’ saat itu, tidak banyak yang memperhatikan proses mereka menjadi perusahaan kelas ‘unicorn’ yang nantinya mendisrupsi business as usual (Go-Jek mendisrupsi perusahaan transportasi dan Tokopedia mendisrupsi bisnis ritel). Masyarakat awam seakan berfikir startup datang seketika dan dengan ‘ajaib’ mendominasi di industrinya masing-masing overnight. Pola pikir seperti inilah yang menjadikan banyak pendiri startup pemula menjanjikan ‘keajaiban’ kepada calon investor mereka.

Investor tahap awal (early-stage investor) biasanya bertaruh dengan modal awal kecil yang dikenal dengan metodologi spray-and-pray: investasi ke banyak startup pemula dan berharap satu atau dua dari investasi tersebut membuahkan hasil yang meremunerasikan nilai investasi keseluruhan. Metodologi ini digunakan oleh kebanyakan pemodal ventura di Amerika Serikat, tetapi demikian ekosistem digital di Indonesia penuh dengan banyak tantangan, salah satu yang sangat krusial yaitu pengalaman. (Umumnya pendiri startup di Indonesia masih tergolong pemula tanpa dimodali pengalaman dan track-record panjang)

Menurut CB Insights, pada kenyataannya 70 persen startup gagal dalam kurun waktu 20 bulan dari pendanaan perdananya. Angka tersebut tentunya lebih besar untuk ekosistem yang masih di tahapan dini seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Pendiri startup pemula belum sepenuhnya siap dengan kenyataan bahwa mereka akan diminta target pertumbuhan yang signifikan oleh pemodal ventura. Metrik skala pertumbuhan menjadi prioritas utama ketimbang metrik revenue atau profit. Untuk mencapai metrik yang ditargetkan, pendiri startup perlu mengingat kembali perbedaan antara perusahaan yang venture scale yang mengejar explosive growth dan UKM (usaha kecil menengah) yang mengejar steady growth.

Jika anda salah satu calon investor yang didatangi oleh pendiri startup yang mengatakan: “Kalau tidak sekarang invest di perusahaan saya, nanti akan mahal!”. Maka anda harus berhati-hati, karena seorang pendiri startup yang pandai tidak akan pernah berkata demikian.

Nothing comes overnight. Not even Gojek.

Komitmen Membangun Ekosistem Startup yang Lebih Baik

Saat ini, 3 dari 5 orang yang anda kenal pasti adalah pendiri startup (atau UKM yang dinamakan sebagai startup). Tanpa menyadari perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Pendiri startup memiliki dilema yaitu: skala pertumbuhan ventura (venture scale) atau skala pertumbuhan berkelanjutan (steady scale).

Sumber: Riset MDI Ventures (http://www.mdi.vc/bitsxbricks.pdf)

Terlebih lagi, pangsa pasar Indonesia — meskipun terbesar di ASEAN — tidak sepenuhnya mirip dengan pasar yang homogeneous dan maju seperti Amerika Serikat dan China. Indonesia tidak memiliki penetrasi kartu kredit seperti Amerika Serikat atau penetrasi dompet digital seperti China. Menurut data terakhir World Bank’s Financial Inclusion Index, Indonesia hanya memiliki 36 persen populasi yang memiliki akun bank.

Monetisasi produk digital telah terbukti cukup sulit bahkan untuk beberapa startup manca negara yang ingin masuk ke dinamika pangsa pasar Indonesia. Sebelum era-Internet, masyarakat umum (dan pebisnis) menggunakan software bajakan adalah suatu hal yang cukup lumrah. Ini berdampak kepada under-appreciation bagi pertumbuhan produk digital lainnya. Menurut riset dari Business Software Alliance, jumlah software tanpa lisensi masih berada pada angka 84 persen dan merugikan perusahaan piranti lunak sebesar US$ 1,1 billion.

Grafik ilustasi perbedaan antara startup dan usaha kecil menengah diatas menggambarkan bahwa startup setelah melewati “lembah kematian” (valley of death) diharapkan mencapai trajectory growth diatas usaha kecil menengah pada umumnya. Trajectory growth ini yang akhirnya membedakan Gojek dengan app transportasi ojek lain yang tidak pernah terdengar namanya, atau Traveloka dengan app travel lain yang kurang populer. Pada intinya semua startup harus venture scale dan untuk mencapainya tiap startup harus melakukan percepatan scaling-up.

Dengan dinamika lanskap digital di Indonesia yang unik, startup dan korporasi saling menarik perhatian satu sama lain. Startup memiliki kelincahan (agility) dan inovasi yang melahirkan konsep (proof of concept) dan korporasi memiliki infrastruktur bagi melancarkan proof of concept ke pasar luas.

Melihat hal ini, MDI Ventures berkomitmen untuk membangun kemajuan ekosistem startup di Indonesia. Melalui dua program yang telah kami jalani dengan Telkom Indonesia (Indigo Creative Nation) dan Bank Mandiri (Mandiri Digital Incubator), kami membantu banyak startup yang lewat dari “lembah kematian” berevolusi menjadi scale-up.

Memasuki tahun ketiga, Indigo Creative Nation milik Telkom Indonesia menancapkan kaki sebagai inkubator terbaik di ASEAN. Dengan 70 persen startup berhasil mendapatkan dana lanjutan dari pihak ketiga (follow-on funding) dan 90 persen dari cohort masih aktif dan operasional, Indigo Creative Nation berhasil melejitkan beberapa nama seperti Payfazz, solusi pembayaran dan mobile banking; PrivyID, universal identitas dan tanda tangan digital; Kofera, platform pemasaran berbasis performansi, dan Sonar, analisa media sosial.

Kolaborasi antara startup dan korporasi menjadi kunci utama membangun ekosistem digital yang lebih baik di Indonesia. Kolaborasi yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada startup menjadi vendor atau B2B terhadap korporasi, melainkan membangun kemitraan yang saling melengkapi. Beberapa contoh kolaborasi yang baik terjadi antara Telkom Group dengan portfolio MDI Ventures misalkan Kata.ai dengan Telkomsel yang bersama dengan Accenture meluncurkan chatbot Veronika. Wavecell dengan MD Media yang bersama membuka pangsa pasar ASEAN dengan menggunakan teknologi komunikasi A2P. Kofera dengan MD Media yang bersama meluncurkan digital yellow pages, dan seterusnya.

Membangun ekosistem startup yang lebih baik juga berarti mampu menjaganya dari hype yang sedang terjadi saat ini. Komitmen untuk menghindari terjadi valuation bubble yang tercipta oleh rumor dan misinformation. Indonesia memang menciptakan jumlah startup yang kelewat banyak setiap harinya, namun yang dibutuhkan saat ini bukan hanya ide saja, tetapi startup yang mumpuni mampu memberikan nilai tambah dan kontribusi bagi perkembangan ekosistem digital saat ini.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved