My Article

Jebakan Batman Gadai Saham

Jebakan Batman Gadai Saham

Oleh : Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., Praktisi Hukum dan Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Jaminan gadai saham adalah jaminan yang seringkali dipakai dalam perjanjian kredit pembiayaan. Secara hukum jaminan gadai saham adalah perjanjian acessoir dari perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok. Gadai saham perseroan terbatas diatur di dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang mengklasifikasikan saham sebagai benda bergerak sehingga dapat diagunkan secara gadai atau fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) UUPT.

Persoalan timbul ketika terjadi cidera janji (wanprestasi) oleh debitur pada perjanjian pembiayaan pokok dan tidak ditemukan solusi hingga eksekusi jaminan gadai saham menjadi penyelesaian. Perihal eksekusi gadai saham ini tidak ada kesamaan persepsi antara penegak hukum dan ketentuan terkait gadai saham di Indonesia sangatlah multitafsir. Perjanjian pembiayaan umumnya menggunakan klausula parate executie, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan secara langsung tanpa melalui pengadilan.

Aspek Litigasi Pada Eksekusi Gadai Saham

Terkait parate executie sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 KUH Perdata, para penegak hukum memiliki pemahaman yang berbeda dan bertolak belakang. Sebagaian hakim menafsirkan anak kalimat “jika oleh para pihak tidak diperjanjikan lain” berarti bahwa jika debitur cidera janji (wanprestasi) para pihak di dalam gadai saham tersebut dapat menentukan bahwa kreditur berhak menyuruh agar benda dijual di bawah tangan (private sale) tanpa melalui lelang. Penafsiran parate executie atas gadai saham dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui lelang mengacu pada Penetapan Pengadilan Nomor 332/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel sd Nomor 343/Pdt.P/2001/PN.Jak.Sel dengan pemohon Deutsche Bank Aktiengesellschaft, berdasarkan penetapan tersebut hakim menetapkan bahwa berdasarkan share pledge agreement, kreditur berhak untuk menjual keseluruhan saham yang telah digadaikan secara private atau tidak dimuka umum.

Dalam praktek, seringkali pihak kreditur selalu meminta surat kuasa mutlak (irrevocable power of attorney) untuk menguatkan posisi jaminan gadai saham. Surat kuasa yang berisi kreditur sebagai pemegang gadai atas saham jika terjadi debitur cidera janji (wanprestasi) maka kreditur berhak menjual saham yang digadaikan dengan cara dan harga yang ditentukan oleh kreditur.

Surat kuasa mutlak tersebut tidaklah mutlak karena debitur dalam perlawanan eksekusi gadai saham tentu akan berlindung pada Pasal 1154 KUH Perdata. Ketentuan tersebut secara prinsip melarang kreditur dengan perjanjian apapun serta merta menjual objek gadai dan dikuatkan dengan anak kalimat “ semua janji yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”. Ini artinya mengacu pada Pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata, barang gadai harus dijual melalui lelang artinya kreditur harus menggugat dan melalui proses peradilan untuk memperoleh putusan hakim dan mengeksekusi gadai saham melalui lelang. Mahkamah Agung berpendapat melalui Putusan Peninjauan Kembali nomor 115 PK/PDT/2007 juncto Putusan Kasasi Mahkamah Agung nomor 517/PDT.G/2003/PN.JKT.PST antara PT Ongko Multicorporation melawan PT BFI dinyatakan bahwa eksekusi dan penjualan saham yang timbul atas perjanjian gadai saham harus dilakukan dengan cara lelang di muka umum atau dengan cara yang ditentukan oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ketidakpastian berikutnya adalah terkait perbedaan penafsiran jika dilakukan melalui pengadilan apakah dengan gugatan atau permohonan, hingga saat ini pengadilan tidak mempunyai kesatuan pandangan terkait hal ini meskipun implikasinya berbeda jauh. Persoalan mengenai perbedaan cara eksekusi melalui pengadilan ini nampak dalam ketentuan Pasal 1156 KUH Perdata yang menyatakan bahwa untuk melakukan eksekusi atas gadai saham maka lembaga jaminan memerlukan penetapan pengadilan. Namun praktek di pengadilan bahwa prosedur eksekusi objek jaminan melalui perantaraan pengadilan adalah dalam hal ini perjanjian gadai saham adalah perjanjian ikutan yang bersifat accesoir dan merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok, sehingga termasuk dalam perkara sengketa dengan dua pihak yang saling berkepentingan yaitu kreditur dan debitur sehingga harus diajukan dalam bentuk gugatan dan pengadilan akan memutus dalam bentuk putusan.

Dalam hal ini, paska terjadinya default oleh debitur, jika akan dilakukan eksekusi terhadap perjanjian gadai saham tersebut maka ketidakpastian muncul mengenai cara eksekusi apakah dapat dilakukan secara langsung atau melalui perantaraan pengadilan. Jika melalui perantaraan pengadilan apakah prosesnya dengan permohonan maupun gugatan dengan putusan sebagai output. Perbedaan implementasi dan penafsiran ketentuan gadai saham ini umumnya merugikan kreditur mengingat kreditur harus menempuh jalan yang panjang dan berliku untuk melakukan eksekusi atas perjanjian gadai saham. Dalam hal ini jika gadai saham adalah satu satunya jaminan maka resiko terbesar ada pada pihak kreditur, bahkan dalam praktek tidak jarang perjanjian gadai saham tidak dapat dieksekusi.

Strategi Blokering Clause Debitur

Ketika kreditur melakukan penjualan atas saham yang digadaikan baik secara langsung maupun dengan cara melalui pengadilan akan muncul hambatan dan jika kreditur tidak jeli akan dimanfaatkan oleh debitur yang wanprestasi untuk menunda dan membatalkan eksekusi atas gadai saham. Dalam Pasal 57 ayat (1) UUPT terdapat tiga hal yang secara mekanisme akan menunda atau membatalkan eksekusi gadai saham. Persoalan tersebut adalah adanya keharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham atau pemegang saham lainnya, keharusan mendapatkan persetujuan dari organ perseroan, keharusan mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang. Jika hal tersebut (blokering clause) tercantum dalam anggaran dasar maka perjanjian gadai saham menjadi tidak ada artinya dan tidak dapat dieksekusi.

Walaupun Mahmakah Agung Melalui Penetapan Nomor 333/Pdt.P/2001/PN.Jaksel, bahwa penetapan seluruh saham yang digadaikan tanpa memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari pemberi gadai. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan adalah bersamaan dengan ditandatanganinya gadai saham adalah pemegang saham setuju melepaskan haknya untuk membeli saham yang digadaikan tersebut dan dibuat persetujuan notariil untuk melepaskan hak atas penawaran dan memberi persetujuan bahwa tidak memerlukan persetujuan pemberi gadai atas penjualan saham tersebut.

Rumitnya terkait eksekusi gadai saham tersebut akan menjadi sulit untuk diselesaikan jika Menteri Hukum dan HAM menolak permohonan persetujuan perubahan pemegang saham sesuai Pasal 56 ayat (4) UUPT. Kemungkinannya ada dua yakni jika putusan Kasasi Mahkamah Agung dikoreksi melalui putusan Peninjauan Kembali, padahal upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali tidak dapat menunda eksekusi. Kemungkinan lainnya adalah Mahkamah Agung melalui Penetapan menganulir Putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali dan rumitnya ketika eksekusi dan peralihan saham telah dilakukan. Dalam Penetapan No 09/2007 Eks Mahkamah Agung pernah membatalkan Putusan Peninjauan kembali Nomor 240PK/PDT/2006 juncto Putusan Kasasi nomor 123/PDT.G/2003/PN.JKT.PST antara PT Aryaputra Teguharta melawan PT BFI dalam penetapan tersebut dinyatakan bahwa eksekusi tersebut non-executable ketika saham-saham tersebut telah dijual dan lebih rumitnya lagi dijual di pasar modal.

Solusi dalam jaminan pembiayaan adalah sebaiknya jaminan gadai atas saham harus dibarengi dengan jaminan lainnya baik Hak Tanggungan, Fidusia serta jaminan lain yang lebih mudah, cepat dan murah eksekusinya ketika debitur cidera janji.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved