My Article

Kala Rupiah Lesu

Kala Rupiah Lesu

Oleh: Aries Heru Prasetyo, Ph.D – Core Faculty PPM School of Management

Melemahnya nilai tukar Rupiah masih terus terjadi. Rupiah kini diperdagangkan di level Rp. 14.600,- lebih. Riak turbulensi ekonomi mulai terasa. Salah satunya di industri pangan, sektor yang konon masih didominasi produk impor ini terpaksa menaikkan harga jual produk untuk dapat terus bertahan.

Namun taktik ini tak sepenuhnya jitu. Masyarakat yang tidak mengalami peningkatan pendapatan malah kehilangan daya belinya. Mereka pun berbondong-bondong pindah ke produk substitusi lebih murah, atau bahkan ada pula yang menunda konsumsi atas barang-barang tertentu. Bila situasi ini berlarut, apa saja yang perlu diperbuat agar aksi pelemahan Rupiah tidak terlalu membebani perekonomian keluarga?

Secara konseptual, pengelolaan keuangan keluarga terdiri dari tiga alokasi utama: untuk keperluan konsumsi, tabungan, dan investasi/asuransi. Dalam kondisi ekonomi yang stabil, ketiga alokasi tersebut boleh dikatakan wajar. Namun tidak demikian halnya ketika laju pertumbuhan ekonomi melambat.

Tingginya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari secara langsung membuat dana alokasi konsumsi meningkat drastis. Realitas ini yang sering memicu timbulnya panic decision dari para pengelola keuangan keluarga. Mereka cenderung mengikuti laju kenaikan harga barang dengan mengorbankan kebutuhan alokasi untuk tabungan dan investasi serta asuransi. Meski sekilas langkah itu tepat, namun melupakan dua alokasi itu bukanlah keputusan yang bijak.

Yang perlu dilakukan adalah. Pertama, lakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan konsumsi keluarga. Awalilah fase ini dengan mengidentifikasi kebutuhan dari tiga tipe – primer, sekunder dan tersier. Nah, untuk dapat melakukan identifikasi dengan tepat kita perlu merumuskan definisi kebutuhan pada tiga tipe tersebut.

Anda dapat melansir cara pandang tertentu dalam merumuskan definisi, namun perlu disadari bahwa pemahaman tipe kebutuhan antar individu berbeda-beda. Yang penting adalah menemukan definisi yang paling cocok dengan gaya hidup dan misi yang sedang Anda jalankan.

Setelah definisi berhasil disusun, hal berikutnya yang patut dimiliki adalah komitmen atas definisi tersebut. Efisiensi hendaknya dapat dilakukan atas kebutuhan bertipe sekunder dan tersier. Artinya, ketika harga produk-produk kebutuhan di dua tingkat tersebut bergerak naik karena melemahnya nilai tukar Rupiah maka proses penjadwalan ulang konsumsi hendaknya segera dilakukan.

Kedua, perlunya kita untuk tetap fokus menyisakan dana bagi kepentingan tabungan dan investasi serta asuransi. Sampai saat ini para pakar keuangan pribadi terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama meyakini bahwa ketika alokasi kebutuhan konsumsi meningkat maka hal yang perlu dikorbankan adalah mengurangi alokasi untuk tabungan dengan mempertahankan target alokasi untuk investasi. Bagi kelompok ini, upaya tersebut wajib dilakukan mengingat pengembalian investasi jauh lebih tinggi daripada tabungan.

Tak ada yang salah dengan pandangan tersebut, namun kita hendaknya perlu mempertimbangkan risiko atas investasi. Bila tingkat pengembalian yang besar diikuti dengan tingginya risiko maka bisa jadi akan menghasilkan pendapatan yang setara dengan hasil tabungan.

Kelompok kedua mengusung prinsip bahwa alokasi tabungan perlu dipertahankan, dengan kata lain, alokasi untuk investasi jualah yang dikorbankan. Konon bagi penganut kelompok ini, upaya itu dilakukan dengan pertimbangan tingkat risiko investasi. Pelemahan Rupiah diyakini sebagai dampak realitas makro ekonomi yang nantinya juga akan berpengaruh pada kinerja mikro.

Atas kedua pilihan tersebut, Anda perlu menyikapi pilihan mana yang paling sesuai dengan profil pengelolaan keuangan pribadi. Lalu bagaimana dengan alokasi untuk asuransi? Patut dipahami bahwa dalam studi yang penulis lakukan beberapa waktu lalu, di Indonesia, Malaysia dan Filipina, konteks pentingnya asuransi belum sepenuhnya menjadi pemahaman masyarakat luas. Masih banyak kalangan yang melihat asuransi sebagai beban dan bukan media penyeimbang atas risiko yang mungkin ditanggung di kemudian hari. Merujuk pada fungsi asuransi sebagai alat pengelolaan risiko, imbas kenaikan alokasi kebutuhan konsumsi hendaknya tidak mengganggu aktivitas kewajiban di bidang ini.

Ketiga, yang wajib diperhatikan adalah melakukan prinsip matching di mana kebutuhan dalam mata uang asing (USD) hendaknya dilunasi dengan mata uang dominasi yang sama. Sehingga kebutuhan dalam Rupiah juga ditutup dengan pola pendanaan Rupiah. Upaya ini dilakukan agar kita terhindar dari risiko nilai tukar.

Pada praktiknya, sesaat setelah kebutuhan pelunasan dalam mata uang asing teridentifikasi, kita perlu segera menyiapkan pendanaan dalam mata uang yang sama. Bisa melalui tabungan dalam denominasi USD atau investasi asing dengan jangka waktu yang sama. Melalui skema ini, saat jatuh tempo, swap antara tabungan atau investasi asing dengan kebutuhan pelunasan dapat dilakukan.

Lesunya nilai tukar Rupiah merupakan dampak dari skema keuangan global. Karenanya, beradaptasi di kala kondisi ini terjadi merupakan hal yang penting. Setujukah Anda dengan pandangan tersebut?

Selamat berefleksi, dan sukses senantiasa menyertai!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved