My Article

Kartini, Post Seksisme dan Pillow Challenge

Kartini, Post Seksisme dan Pillow Challenge

Oleh: Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn.

Masyarakat selalu menyuguhkan tema emansipasi, kesetaraan gender maupun perjuangan kaum perempuan dalam dalam perayaan hari Kartini. Pada artikel ini saya akan memulai dengan tren baru di kalangan para wanita yang menggunakan bantal sebagai bagian dari fashion. Tren pillow challenge ini sudah ramai digandrungi, khususnya di media sosial. Bagaimanapun pillow challenge ini menjadi tren di media sosial karena terdapat unsur seksisme diantara para wanita yang merias diri dengan menggunakan bantal sebagai busana utama.

Dikatakan seksisme sebagai unsur yang menyemarakkan tentu akan mendatangkan polemik, tapi faktanya di ribuan akun instagram para wanita muda berlomba memamerkan foto terbaik mereka dengan busana bantal. Pemahaman seksisme, sebagaimana diuraikan Dvon Ives (2009), adalah gerakan untuk membedakan atau memberi penilaian yang berbeda dengan mengacu pada jenis kelamin. Jika sebelumnya seksisme dalam konsep emansipasi selalu dilekatkan dengan budaya patriarki yang membatasi perempuan, maka kini nampaknya makna seksisme itu telah bergeser pada pembedaan untuk menunjukkan nilai lebih.

Pergeseran seksisme di era milenial ini adalah adanya perspektif yang berbeda terhadap gender tertentu tetapi dengan membawa asosiasi yang positif, bukan pembatasan. Guna menguraikan pergeseran pemahaman seksisme secara ringan maka penulis mengambil contoh tren pillow challenge yang tentu tidak akan meriah jika pesertanya adalah anak-anak saja atau kaum pria saja. Hal ini menunjukkan bahwa makna seksisme kini telah bergeser dari makna konotatif berupa pembatasan maupun eksploitasi, kini bergeser menjadi pembedaan gender untuk menunjukkan nilai lebih.

Seksisme saat ini dapat dimaknai sebagai peluang untuk berekspresi dan menunjukkan potensi berdasarkan gender. Tentu hal ini berbeda dengan seksisme yang diperdebatkan para feminis, seksisme yang menjadi pertentangan adalah ketika terjadi ketidakadilan (unfairness) berdasarkan jenis kelamin. Seksisme yang menjadi pertentangan adalah seksisme yang melahirkan kompetisi berdasarkan gender, tetapi seksisme yang baru (sering disebut sebagai gerakan Post Seksisme) adalah menyadari ada pembedaan gender untuk menghasilkan nilai lebih pada masing-masing gender. Itulah sebabnya tidaklah terlalu menarik jika pillow challenge melibatkan para bapak bukan?.

Bukan bermaksud menarasikan tubuh perempuan sebagai sebuah keindahan belaka dan tubuh lelaki sebaliknya, tetapi dalam kaca mata post seksisme apakah lelaki sama anggunnya dengan perempuan ketika dirias menggunakan berbagai macam aksesoris dengan bantal sebagai busana utama sebagaimana dipergunakan dalam tantangan pillow challenge?.

Sebaliknya pada kondisi kondisi tertentu lelaki akan memiliki additional value dibanding perempuan. Singh (2011), menjelaskan dalam pandangan post seksisme pembedaan akan menghasilkan nilai lebih (additional value) yang dapat saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan seksisme dan post seksisme adalah terletak pada ada atau tidaknya pembatasan berdasarkan gender atas nama budaya. Seksisme yang menjadi perdebatan kaum feminis sebelum era milenial selalu menonjolkan isu-isu emansipasi, ketidak setaraan , sebaliknya dalam beberapa tahun terakhir isu-isu yang bersifat kompetitif antar gender tersebut sudah tidak dipergunakan lagi.

Isu-isu yang dibawa oleh aliran seksisme adalah isu isu kompetitif antar gender, isu tersebut dipandang tidak menguntungkan lagi karena memperbesar conflicting interest antar gender. Sebaliknya pada aliran post seksisme memberi penyadaran bahwa pembedaan gender dimaksudkan untuk melahirkan nilai lebih yang berbeda (tergantung pada nature masing masing bidang). Post seksisme melahirkan budaya koopetisi antar gender (saling melengkapi) dengan menggabungkan nilai lebih (additional value by nature) pada masing masing gender.

Perlu reorientasi pada refleksi hari Kartini yang selalu diasosiasikan dengan keberhasilan perjuangan kaum perempuan atas berbagai pembatasan yang diciptakan budaya patriarki. Reorientasi yang perlu diciptakan pada hari Kartini era sekarang ini adalah bukan mengenang perjuangan melawan pembatasan, karena mengenang pembatasan dalam perspektif kompetitif akan memperbesar conflicting interest pada relasi antar gender.

Sebaliknya secara kontekstual dalam hal ini nilai-nilai spiritualitas perjuangan Kartini dapat dimaknai sebagai bentuk upaya menggunaka additional value by nature untuk melengkapi gender lain. Artinya dalam hal ini tujuan dari perjuangan Kartini secara kontekstual adalah menciptakan common interest antar gender dan meninggalkan budaya perjuangan yang mengacu pada conflicting interest antar gender.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Kata-kata habis gelap, terbitlah terang selalu dikenang setiap perayaan memperingati hari Kartini, Jika sebelumnya habis gelap terbitlah terang ditafsirkan sebagai kemenangan melawan pembatasan-pembatasan yang tercipta dari budaya patriarki, maka kini secara kontekstual makna habis gelap, terbitlah terang dapat dimaknai sebagai bentuk pergantian dari perjuangan perempuan untuk memenangkan conflicting interes antar gender menjadi perjuangan perempuan untuk berpartisipasi pada common interest saat ini.

Secara kontekstual makna habis gelap terbitlah terang mengacu pada satu hal yakni kesetaraan pada partisipasi, dalam hal ini dapat dimaknai sebagai adanya keterlibatan perempuan pada agenda yang sifatnya membangun bangsa. Makna kata terbitlah terang adalah adanya kemampuan partisipatif dan keterlibatan perempuan dengan memanfaatkan additional value (by nature) yang melekat pada diri perempuan secara kodrati untuk bersama sama mendukung agenda nasional.

Contoh kontekstual keterlibatan perempuan pada common interest antar gender. Dalam hal ini misalnya terkait pelaksanaan peran domestik rumah tangga sebagai bentuk kesetaraan karena adanya kepentingan yang sama (common interest) antara laki-laki dan perempuan. Dalam masa pandemi yang mengedepankan kebijakan stay at home adalah mengedepankan pencegahan dan pola hidup sehat di lingkungan keluarga, hal tersebut harus didukung dengan peran domestik.

Misalnya terkait pola asuh anak, pola hidup sehat keluarga di masa pandemi, artinya secara kontekstual dalam melaksanakan peran domestik posisi laki-laki dan perempuan adalah sebagai mitra yang sejajar. Adanya kesetaraan karena peran laki-laki dan perempuan sejajar dan peran domestik merupakan peran yang penting untuk dilaksanakan oleh keduanya (ada common interest) untuk mencegah dan melawan pandemi setidaknya di lingkungan keluarga.

Semangat habis gelap terbitlah terang mengandung makna filosofis yang amat dalam untuk memberi inspirasi bagi perempuan untuk secara produktif mendukung kepentingan bersama antar gender. Dengan demikian justru akan tercipta semangat saling melengkapi antar gender karena masing masing pihak telah memahami kekurangan dan kelebihan masing masing secara kodrat.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved