My Article

Kebijakan Hanya untuk yang Bermasalah

Kebijakan Hanya untuk yang Bermasalah

Oleh: Ricky Virona Martono – Trainer, Executive Development Services – PPM Manajemen

Ricky Verona Martono

Ribuan manusia dan barang setiap harinya melalui Bandar Udara Schiphol-Amsterdam, bandar udara terbesar ke-dua di Eropa, dan Pelabuhan Rotterdam, pelabuhan terbesar di Eropa, untuk tujuan perjalanan manusia dan ekspor-impor barang dari daratan Eropa ke seluruh dunia maupun sebaliknya.

Dari seluruh proses inspeksi perlintasan manusia dan barang, ada sekitar 40 inspeksi per bulan tidak tercatat (UNESCO IHE, 2016). Sebenarnya angka ini jauh di bawah 0,1% dari seluruh inspeksi barang per bulan. Kenyataannya, tingkat keamanan di Belanda adalah salah satu yang tertinggi di dunia (Nijdam, 2016).

Inspeksi manusia dan barang yang melalui Schiphol dan Pelabuhan Rotterdam menggunakan beberapa teknologi seperti: anjing pelacak, pendeteksi logam, alat pendeteksi kontainer truk, X-ray scanning, sampai nuclear detection. Inspeksi ini penting untuk menjamin barang yang masuk ke daratan Eropa sudah memenuhi syarat legal, keamanan bagi konsumen dan masyarakat, mencegah penyelundupan obat-obatan terlarang, senjata, kulit hewan, sampai mencegah penyelundupan manusia (imigran gelap) dan pencucian uang.

Pertanyaannya, bagaimana menjamin proses inspeksi yang efisien? Apakah inspeksi dilakukan terhadap setiap manusia dan barang? Ternyata, dari semua penumpang yang mendarat di sebuah bandara hanya satu-dua saja yang diperiksa secara detail dan diminta masuk ke ruangan staf custom.

Prinsip yang diterapkan adalah: memperlakukan kebijakan yang berbeda untuk setiap manusia/barang. Sampel (manusia maupun barang) yang diinspeksi sebenarnya sudah dibedakan dengan sampel yang tidak diperiksa. Bagaimana membedakannya?

Benchmark yang diterapkan oleh Bandara Schiphol dan Pelabuhan Rotterdam adalah pertandingan sepakbola di Eropa. Sebuah stadion sepakbola dihadiri 40.000 penonton bahkan lebih. Ketika pertandingan berakhir, terjadi kerusuhan oleh 200 suporter di luar stadion. Semua perusuh ditangkap dan didata: identitasnya, rekam jejak kriminal, perkumpulan yang diikuti setiap perusuh, sampai transaksi keuangan kartu kredit, kartu debit, dan pembayaran pajak.

Pada pertandingan berikutnya, jika di antara 200 perusuh tadi ikut membeli tiket pertandingan, dan ternyata ada transaksi keuangan membeli (misalnya) sebuah pentungan (atau barang lain yang bisa dipakai untuk membela diri atau melukai orang lain) beberapa hari sebelum pertandingan, maka data yang ‘menarik perhatian’ ini juga diterima oleh pihak keamanan. Pihak keamanan mendata nomor kursi orang tersebut di stadion, lalu melakukan pemeriksaan khusus kepadanya. Jangan-jangan (sebagai langkah antisipasi), orang tersebut membawa pentungan yang baru dibelinya untuk membuat rusuh lagi.

Intinya adalah, menerapkan kebijakan inspeksi terhadap yang bermasalah saja, bukan menginspeksi 40.000 penonton hanya untuk mendeteksi 200 orang perusuh. Tentunya ada penonton lain yang bukan perusuh ikut diperiksa, sifatnya untuk berjaga-jaga. Namun, inspeksi terhadap 200 perusuh sifatnya untuk mencegah.

Maka, Bandara Schiphol dan Pelabuhan Rotterdam bekerja sama dengan institusi keuangan (misalnya: kartu kredit Visa dan Master Card), berbagi informasi dengan negara lain terkait perusahaan dan individu yang melakukan perdagangan dengan Belanda, mempelajari rekam jejak dari perusahaan yang akan mengirim barang melalui negeri Belanda.

Setiap orang yang akan masuk ke Schiphol sebenarnya sudah terdeteksi melalui transaksi kartu kredit ketika dia membeli tiket, maupun jika dia pernah membeli benda berbahaya menggunakan kartu kredit. Perjalanan masa lalunya juga sudah diketahui karena ada kerjasama antar negara berbagi informasi jika dia pernah melanggar hukum ketika berpergian ke negara lain.

Barang yang melalui perlintasan negeri Belanda pun sama! Setiap pengirim barang (individu atau perusahaan) sudah terdeteksi rekam jejaknya. Jika ada perusahaan yang pemiliknya pernah terlibat hukum, maka barang yang dikirim oleh perusahaan tersebut akan diperiksa. Bahkan, seorang pengusaha (si A) yang duduk di sebuah asosiasi usaha di sebuah negara, dan di asosiasi tersebut ada seorang pengurusnya yang diketahui pernah terlibat kriminal di Eropa (si B), sangat mungkin setiap barang yang dikirim si A akan ikut diinspeksi.

Sehingga, sebenarnya manusia atau barang yang akan diinspeksi sudah dipersiapkan sebelum perjalanan pesawat atau kapal itu berangkat dari negara lain. Dan, keterlibatan dengan pihak lain yang bersalah (dengan si B) juga bisa menghambat proses custom seorang pengusaha (si A). Kecuali jika si A tercatat selalu mengirim barang yang aman dan legal, maka proses custom tidak terlalu rumit.

Disini kita melihat bahwa segala hal harus dibedakan menurut perilakunya, dan kita menerapkan kebijakan yang berbeda terhadap yang bermasalah saja. Bukan menerapkan satu kebijakan yang sama untuk semua yang bermasalah dan yang tidak. Secara logis, seharusnya ada lebih sedikit sampel yang bermasalah dibandingkan dengan populasi yang tidak bermasalah. Misalnya:

Proses memeriksa keamanan dan pembayaran pajak untuk setiap moda transportasi yang sering bermasalah.

Proses melakukan stock opname untuk seluruh jenis barang yang sering hilang atau rusak.

Memperlakukan karyawan yang memiliki kemauan dan kemampuan bekerja rendah harus berbeda dengan karyawan ‘normal’ lainnya.

Memperlakukan kendaraan bermotor di lapangan parkir yang hanya ‘numpang parkir’ harus berbeda dengan kebijakan parkir bagi karyawan dan tamu perusahaan.

Sebenarnya, ada lebih banyak moda transportasi yang aman dibandingkan dengan yang tidak aman; ada jauh lebih banyak barang yang tidak pernah hilang dibandingkan dengan yang sering hilang; ada lebih banyak karyawan ‘normal’ dibandingkan jumlahnya dengan karyawan bermasalah.

Jadi, jangan sampai ada satu kebijakan untuk ‘mengamankan’ yang jumlahnya sedikit, tapi mengorbankan yang jumlahnya banyak tapi sebenarnya tidak bermasalah.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved