My Article

Kesenjangan Kompetensi: Problem dan Solusi

Oleh Editor
Kesenjangan Kompetensi: Problem dan Solusi
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Dalam berbagai wacana membahas SDM, acap dikemukakan masalah kesenjangan kompetensi (competency gap). Kesenjangan kompetensi dimaksudkan sebagai perbedaan tajam antara kompetensi pekerja dengan standar kompetensi atau kinerja yang ditetapkan perusahaan.

Karyawan yang memiliki highest competency gap memiliki potensi besar mengancam munculnya peningkatan pengangguran akibat kebijakan perusahaan. Pertama, kesenjangan kompetensi karyawan rawan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kedua adalah banyak lamaran ditolak perusahaan karena calon karyawan tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan.

PHK yang saat ini banyak dilakukan perusahaan global dan nasional ancam peningkatan pengangguran. Sementara kegagalan calon karyawan dalam proses seleksi perusahaan pun dapat meningkatkan statistik angka pengangguran.

Di Amerika Serikat (AS), kesenjangan kompetensi menjadi keprihatinan nasional. Banyak perusahaan gagal menemukan calon terbaik untuk mengisi ribuan pekerjaan yang lowong. Samir Hassan (2022) menulis di laman forbes.com, meski sistem pendidikan dan pelatihan di AS sangat baik, namun hingga saat ini menghadapi masalah adanya skills gap.

Perusahaan mendidik dan melatih karyawan sesuai ketentuan perundang-undang untuk meningkatkan kinerja baik individu maupun tim. Dalam pelatihan, karyawan belajar skills dan pengetahuan kemudian sukses menerapkannya ke dalam pekerjaan mencapai kinerja terbaik.

Keberhasilan karyawan menerapkan pengetahuan dan skills yang telah diperoleh dari pendidikan dan pelatihan merupakan harapan perusahaan yang bersifat adil dan rasional. Namun perusahaan tak mudah memastikan karyawan mampu menerapkan kompetensi hasil pelatihan ke dalam pekerjaan. Perusahaan juga tak mudah meraih Return on Investment (ROI) dalam hitungan layak dari program pelatihan karyawannya.

Menurut Hassan, ekosistem pendidikan di AS sudah well-established bagi perusahaan didukung sistem pembelajaran, sumber daya, atau konten atraktif. Namun, kesenjangan keterampilan di AS masih sangat besar mencapai 87% (survei McKinsey). Faktor penyebabnya adalah visi para pendidik belum terpadu dengan visi dan kepentingan pengusaha di AS.

Di sisi yang lain, rerata investasi SDM oleh perusahaan AS sangat besar yakni mencapai US$1.308/karyawan guna membiayai aksi pembelajaran dan pengembangan. Namun, hanya 12% dari karyawan yang mampu menerapkan knowledge dan skills di dalam pekerjaannya.

Kesenjangan kompetensi dan kondisi mutu SDM di Indonesia pun sama dengan kondisi pekerja di AS. Hanya saja faktor sistem pendidikan dan pelatihan untuk karyawan di Indonesia belum mencapai kadar yang lebih baik dibandingkan sistem di AS. Namun, ada persamaan yakni belum ada keterkaitan dan keterpaduan (link and match) antara visi pendidikan dan kepentingan perusahaan.

Merujuk situs datanesia.id, ada 8,4 juta penduduk belum/tidak bekerja sebagai unsur dalam tingkat pengangguran terbuka (TPT) atau 5,8% dari total angkatan kerja Indonesia pada Februari 2022. Penduduk belum/tidak bekerja didominasi generasi milenial yang amat produktif dengan rentang usia 15-19 tahun dan 20-24 tahun.

Sementara dari sisi pendidikan, kontributor terbanyak pengangguran ternyata adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau sekolah vokasi yang diandalkan sebagai penyedia tenaga kerja terampil. Data menunjukkan, di awal 2022 pengangguran dari lulusan SMK mencapai porsi 11,1% dari total pengangguran terbuka. Ironis, karena pendidikan vokasi sangat diidealkan sebagai jalur sekolah yang dapat menekan tingginya tingkat pengangguran.

Pendidikan vokasi di Indonesia sengaja dirancang agar menghasilkan lulusan yang siap bekerja dan mampu menjawab tantangan sehingga dapat terserap oleh dunia kerja. Lulusan jalur pendidikan vokasi pun digadang mampu berwirausaha sesuai bidang yang diminatinya.

Jika lulusan vokasi banyak yang menganggur alias belum/tidak bekerja, disinyalir ada gap yang tajam antara kompetensi riil lulusan vokasi dengan standar kompetensi yang ditetapkan perusahaan.

Data yang disajikan dalam situs datanesia.id juga merujuk hasil riset yang dipublikasikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2021. Di dalam riset tersebut ditemukan horizontal mismatch atau ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dengan kualifikasi pekerjaan yang mencapai angka sangat tinggi yakni 68,4%.

Sebagian besar individu bekerja di luar bidang kompetensi alias pendidikan yang diperoleh tak sesuai dengan bidang pekerjaan yang dilakukan.

Selain horisontal, juga vertical mismatch yakni lulusan sarjana mengerjakan bidang atau pekerjaan yang dapat dilakukan karyawan berkualifikasi lulusan tingkat menengah (SMA/SMK). Ketidaksesuaian level pendidikan yang diperoleh dengan pekerjaan memengaruhi jumlah gaji atau upah yakni lebih rendah.

Solusi

Dengan merujuk pada hasil kajian yang dipublikasikan dalam laporan terbaru dari Harvard Business School’s Project on Managing the Future of Work (MFW), tanpa ada kesamaan visi antara pendidik dan pengusaha sebagai pemberi kerja bakal dapat merugikan kepentingan tenaga kerja di AS.

Sistem pendidikan dan pelatihan yang telah terbangun sangat kuat dalam periode waktu yang panjang harus mampu menemukan titik temu antara pandangan nilai-nilai edukasi normatif dari para pendidik dan kepentingan praktis pengusaha. Dengan demikian, metode dan materi yang disajikan dalam proses pendidikan dan pelatihan bagi peserta didik maupun karyawan adalah sesuai dengan kebutuhan pekerjaan secara praktis.

Pemerintah AS juga mengembangkan community college sebagai lembaga pendidikan yang dapat diakses masyarakat lebih mudah. Di AS community college merupakan tempat terbaik dan paling terjangkau bagi warga AS untuk belajar dan berlatih mengembangkan diri memenuhi kebutuhan perusahaan.

Community college menghasilkan lulusan dengan kualifikasi sebagai pekerja dengan kategori “berketerampilan menengah” (middle skills). Lulusan dapat disetarakan dengan posisi dengan jalur diploma di sekolah menengah dengan upah lebih dari $45.000/tahun. Sekalipun non-gelar kesarjanaan, lulusan community college di AS berkesempatan dapat menembus karir hingga ke level atas.

Di dalam community college para pendidik berkolaborasi dengan praktisi. Mereka berada dalam posisi strategis yakni berfungsi untuk merancang kurikulum yang berfokus pada skills yang paling dibutuhkan pemberi kerja. Selain itu, kolaborasi tersebut untuk memastikan pesertanya dapat dipekerjakan setelah dinyatakan lulus. Namun, saat ini, kolaborasi pemberi kerja dengan pendidik belum masif sehingga perlu ditingkatkan lebih efektif.

Dalam tulisan Nancy Kathryn Walecki (2022) bertajuk “Diagnosing the “Skills Gap” dipublikasikan Harvard Magazine ditegaskan “educators and employers aren’t collaborating well—and what to do about it” yang menunjukkan kekuatiran bahwa kolaborasi pendidik dan pemberi kerja sangat diperlukan AS namun belum terjadi dalam level sistemik dan masif.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan kolaborasi tersebut, tim yang dibentuk Universitas Harvard yang bekerjasama dengan American Association of Community Colleges telah melakukan survei mengukur kolaborasi pendidik dan pemberi kerja. Data hasil survei diperoleh dari lebih 25% atau seperempat pemimpin perguruan tinggi di AS dan 347 pemimpin bisnis.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa ada kesenjangan antar pemangku kepentingan. Laporan hasil survei juga menyertakan tawaran kepada para pengusaha sebagai pemberi kerja dan kalangan pendidik (educators) berupa 51 item yang tertera dalam buku pedoman kemitraan untuk meningkatkan kolaborasi demi kepentingan bersama.

Bangsa Indonesia dapat belajar dari upaya pemerintah, pengusaha, dan para pendidik di AS untuk bersatu padu membentuk konfigurasi kolaborasi yang saling menguntungkan. Kolaborasi antar stakeholders perlu dilakukan demi memajukan generasi muda sebagai tenaga kerja yang hebat.

Pemerintah telah mengembangkan akademi komunitas. Mirip dengan di AS, akademi komunitas di Indonesia menyelenggarakan pendidikan vokasi bidang tertentu hingga setingkat diploma satu atau dua (D1/D2). Akademi komunitas memerhatikan keunggulan lokal daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus serta mendukung masyarakat melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Pemerintah harus konsisten dalam mengembangkan akademi komunitas yang tersebar di penjuru tanah air untuk meningkatkan mutu SDM pekerja Indonesia yang kompeten sesuai kebutuhan pengusaha.

Di bidang pendidikan, pemerintah mengembangkan metode pembelajaran perguruan tinggi yang kini populer disebut sebagai Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Mahasiswa berpeluang belajar lintas jurusan baik di dalam maupun luar kampusnya sehingga memperoleh pengalaman, pengetahuan, dan skills sesuai kebutuhan perusahaan atau pemberi kerja.

Dua opsi strategis yakni akademi komunitas dan model pembelajaran MBKM hanya akan dapat berhasil jika pemerintah, masyarakat, pengusaha, dan pemangku kepentingan lainnya bersatu padu dan berkolaborasi serta menyatukan visi dalam meningkatan mutu SDM dan mengatasi kesenjangan kompetensi.

Referensi:

Datanesia. (2022). Kesenjangan Dunia Kerja dengan Pendidikan. Retrieved from: https://datanesia.id/kesenjangan-dunia-kerja-dengan-pendidikan/

Nancy Kathryn Walecki. (2022). Diagnosing the “Skills Gap”. Harvard Magazine. Retrieved from: https://www.harvardmagazine.com/2022/12/education-employment-divide-partnership-imperative-report

Samir Hassan Forbes Councils Member (2022). Despite Of All Learning Resources, Why Do We Have The Skills Gap? Retrieved from: https://www.forbes.com/sites/forbesbusinesscouncil/2022/07/19/despite-of-all-learning-resources-why-do-we-have-the-skills-gap/?sh=74131dd94ef0


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved