My Article

Kisah Ramadan, Pandemi, dan Donasi

Kisah Ramadan, Pandemi, dan Donasi

Oleh: Fitri Safira, M.M. – Faculty Member of PPM School of Management – Ph.D Student at Southern Illinois University

Fitri Safira M.M.

Bagi penulis, Ramadan kemarin merupakan yang pertama dijalani di Amerika Serikat. Berpuasa di negara empat musim memang punya tantangannya sendiri. Paling terasa, tentu saja durasi puasa yang hampir 16 jam. Namun, tantangan durasi puasa yang lebih lama daripada di Indonesia menjadi tidak seberapa berkat kebaikan hati komunitas muslim Amerika di Carbondale, kota tempat penulis menetap. Kota Carbondale sendiri terletak di selatan Illinois, kira-kira lima jam perjalanan mobil dari Chicago.

Bulan Ramadan kemarin juga terasa berbeda karena dibayangi oleh pandemi COVID-19 di seluruh dunia. Perekonomian dunia nyaris lumpuh dibuatnya. Di Amerika sendiri, tercatat tingkat pengangguran sebesar 14,7% per April 2020. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak The Great Depression pada 1929.

Peningkatan tingkat pengangguran ini merupakan efek domino dari penurunan permintaan secara agregat yang kemudian berdampak pada berbagai sektor industri. Karena permintaan turun, pelaku usaha pun mau tak mau perlu melakukan efisiensi. Salah satunya adalah dengan melakukan pengurangan karyawan.

Di Indonesia terjadi hal serupa. Mengacu pada informasi dari Kementerian Ketenagakerjaan, per April 2020 sebanyak 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan sebagai dampak atas pandemi COVID-19. Pada kuartal pertama 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun hanya bertengger di angka 2,97%, meleset dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya sebesar 4,4%. Seolah ikut tertular virus, nilai tukar Rupiah sempat melemah hingga nyaris menyentuh angka Rp 17.000/USD.

Namun demikian, di tengah situasi ekonomi yang tengah kacau balau akibat virus corona, ada hal-hal menarik yang terjadi.

Setiap hari selama bulan Ramadan, Islamic Center/Masjid di lingkungan tempat tinggal penulis, rutin membagikan makanan kepada komunitas muslim Amerika di Carbondale untuk berbuka puasa. Makanan ini terdiri dari satu set Nasi Biryani dan satu kotak kurma Medjool khas California.

Dalam satu hari, pengurus masjid perlu menyiapkan bujet sebesar USD 400-500 untuk mendanai program tersebut. Pendanaan untuk makanan berbuka ini datang dari donasi para muslim Amerika di Carbondale. Di tengah masa pandemi, kehilangan pekerjaan, dan situasi perekonomian yang tak pasti, mereka masih tetap bisa dan bersedia berdonasi.

Senada dengan yang terjadi di lingkungan penulis, di Indonesia pun dilakukan berbagai kampanye donasi. Mulai dari donasi APD (Alat Pelindung Diri) bagi para tenaga kesehatan, serta donasi makanan, sembako, dan material lainnya untuk berbagai pihak yang terdampak atas adanya pandemi ini. Mulai dari pengemudi ojek online, pekerja harian, pelaku usaha mikro kecil dan menengah, serta banyak lagi.

Pada akhir April lalu, kampanye donasi APD dan sembako melalui kitabisa.com contohnya, mencapai 119 Miliar Rupiah. BAZNAS sendiri mencatat kenaikan donasi (zakat, infak dan sedekah) sekitar 40-50% dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. Angka ini pun diprediksi masih akan terus meningkat hingga 70%.

Berbagai aktivitas kemanusiaan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, kenapa banyak orang masih sedemikian rupa bersedia memberikan bantuan di tengah kondisi yang sulit dan serba tidak pasti seperti saat ini?

Keputusan rasional yang seyogyanya dilakukan saat ini adalah sebisa mungkin mengurangi pengeluaran, mengingat saat ini pendapatan pun berkurang. Tetapi mengapa banyak orang malah “menambah” pengeluaran melalu berbagai pos-pos donasi?

Dalam perspektif sosiologi, perilaku yang terlihat irrasional ini dikenal dengan istilah altruistic behavior. Altruistic, merupakan kata sifat dari altruism; altruisme. Altruisme sederhananya merupakan dorongan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, dengan mengorbankan kesejahteraan kita sendiri. Berbagai contoh di atas, aktivitas donasi yang dilakukan oleh masyarakat, ini semua merupakan contoh dari altruistic behavior.

Perasaan kasih sayang, iba, dan empati yang dirasakan individu inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan sebuah perilaku yang altruistik. Tidak hanya itu, perilaku altruistik juga dapat muncul atas dorongan perasaan bersalah dan rasa malu.

Ketika seorang individu menyadari bahwa dirinya memiliki privilese tertentu (pendapatan yang lebih tinggi dari kebanyakan orang, kekayaan yang lebih besar daripada kebanyakan orang), maka seseorang mungkin akan merasa bersalah dan malu jika tidak memberikan bantuan kepada orang lain yang tidak lebih beruntung (underprivileged).

Kesejahteraan dirinya yang ia “korbankan” untuk orang lain akan terkompensasi dengan perasaan bahagia, kepuasan batin dan perasaan lega telah melakukan sesuatu yang membuat orang lain merasa bahagia dan membuat kondisi orang lain menjadi lebih baik.

Seperti yang pernah dikatakan oleh filsuf Karl Marx, orang yang berbahagia adalah orang membuat orang lain merasa bahagia. Maka, sahih rasanya jika penulis menganjurkan kita semua untuk melakukan lebih banyak lagi donasi, dan hal lainnya yang bisa membuat orang lain merasa bahagia di tengah masa kelam pandemi COVID-19.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved