My Article

Kunci bagi Pemimpin Para Milenial

Kunci bagi Pemimpin Para Milenial

Oleh: Ningky Sasanti Munir – Kelompok Keahlian Transformasi Stratejik dan Inovasi PPM Manajemen

Dr. Ningky Sasanti Munir - Koordinator Kelompok Keahlian Manajemen Strategi dan Entrepreneurship | PPM School of Management
Ningky Sasanti Munir – Kelompok Keahlian Transformasi Stratejik dan Inovasi PPM Manajemen

Generasi milenial memang selalu jadi sorotan. Yang positif, generasi ini antara lain dipandang kreatif, fasih dengan teknologi informasi (gawai), biasa multitasking (minum kopi, ngemil, nonton Netflix, balas WA, update Instagram, browsing, belanja online, sambil ngobrol), kritis karena kebanjiran informasi, peduli dengan isu-isu kemanusiaan dan lingkungan hidup. Sedangkan yang negatif, mereka adalah generasi yang manja, inginnya serba instan, tidak suka membuat rencana jangka panjang (tidak menabung untuk masa depan), kurang keterampilan sosial, dan kurang berani mengambil risiko.

Istilah “milenial” pertama kali dicetuskan oleh dua orang ahli sejarah dari Amerika Serikat, William Strauss dan Neil Howe, dalam buku best seller-nya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan istilah ini tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Saat itu media mulai menyebut milenial sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.

Tidak ada konsensus mengenai rentang tahun lahir generasi milenial. Dalam Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia yang diterbitkan tahun 2018, konsep generasi milenial Indonesia adalah Penduduk Indonesia yang lahir antara tahun 1980-2000.

Memahami generasi milenial itu penting karena sejak tahun 2017, sebesar 33,75 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia adalah generasi milenial. Bila dilihat jumlah penduduk usia produktif yang berusia antara 15-64 tahun, sekitar 50,36 persen adalah generasi milenial. Sebagai penduduk terbesar, tentunya generasi milenial akan berperan besar pada era bonus demografi, khususnya pada rentang tahun 2020-2030.

Jumlah penduduk milenial, bukan hanya penting bagi para pebisnis yang melihatnya sebagai pasar yang besar. Generasi inilah yang akan memegang kendali atas roda pembangunan khususnya di bidang perekonomian yang diharapkan akan mampu membawa bangsa Indonesia menuju ke arah pembangunan yang lebih maju dan dinamis. Sebagai modal besar pembangunan suatu bangsa, diharapkan generasi milenial memiliki potensi lebih unggul dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.

Oleh sebab itu, penting bagi mereka yang memiliki anggota kelompok atau bawahan para milenial untuk memahami karakteristik milenial agar dapat memengaruhi mereka menuju tujuan perusahaan atau tujuan bersama yang disepakati. Para junjungan – istilah milenial untuk mereka yang dipandang sebagai pemimpin – tidak berarti selalu berasal dari generasi yang lebih tua dibandingkan para milenial. Para milenial yang memiliki peran sebagai pemimpin kelompok, organisasi, atau perusahaan juga perlu memahami cara memimpin dengan efektif.

Karakteristik Para Milenial

Banyak sekali penelitian akademik yang mencoba mengidentikasikan sikap, perilaku, dan preferensi para milenial. Menurut penelitian tersebut, para milenial tumbuh dalam lanskap teknologi yang berkembang pesat sehingga menjadi pengguna intensif produk high-tech. Dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, milenial lebih mengerti teknologi dan terbiasa melakukan bayak kegiatan sekaligus, atau multi-tasking. Mereka cenderung percaya pada aksi kolektif dan kerja tim. Juga, mereka memiliki kecenderungan untuk mempertanyakan aturan dan menantang norma-norma di tempat kerja.

Milenial adalah idealis, sangat optimis, dan percaya diri. Mereka memiliki harapan yang tinggi dan sangat bangga dengan diri mereka sendiri. Selain itu, mereka percaya bahwa mereka memberikan kontribusi besar untuk pekerjaan mereka dan pimpinan diharapkan untuk mengakui pekerjaan baik mereka. Mereka juga mengharapkan promosi dan pengembangan yang cepat. Oleh karena itu, pengakuan dan penghormatan penting bagi mereka. Anehnya, meskipun milenial memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, mereka lebih cenderung mencari arahan dan panutan dari sosok yang menjadi idola dan dihormati.

Generasi Milenial mirip dengan Generasi X (lahir antara 1965-1979) karena mereka tidak terlalu loyal kepada majikan mereka. Mereka suka menjaga pilihan karir mereka tetap terbuka. Jika ada peluang karier yang lebih baik, mereka bersedia meninggalkan posisi pekerjaan dan junjungan mereka saat ini. Tidak seperti generasi lain, kepuasan kerja dan budaya tempat kerja Millenial tidak terkait dengan komitmen mereka pada organisasi. Apa yang membuat mereka tetap berkomitmen pada organisasi mereka, sebagian besar adalah karena kinerja mereka sendiri dan program retensi organisasi.

Dalam hal sentralitas kerja, milenial kurang mau mendedikasikan sebagian besar waktu mereka untuk bekerja. Kehidupan sosial sangat penting, dimana work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kerja memainkan peran kunci bagi mereka. Way of life atau cara menjalani kehidupan dinilai oleh milennial sebagai nilai kerja yang paling penting. Oleh karena itu jadwal kerja yang fleksibel dianggap sebagai batu loncatan menuju kesuksesan. Memiliki jadwal kerja yang fleksibel berarti bahwa pekerjaan itu tidak diukur oleh waktu yang mereka habiskan untuk itu. Yang paling penting adalah apakah pekerjaan itu selesai dan tujuan yang diperlukan tercapai.

Para milenial juga ditemukan lebih termotivasi oleh penghargaan ekstrinsik. Misalnya, imbalan upah/gaji, bonus, promosi, atau sekedar pujian. Milenial menganggap economic return atau imbalan yang akan diperoleh dari investasi pada waktu dan pekerjaan merupakan nilai-nilai kerja yang jauh lebih penting dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Ketika memilih alternatif pekerjaan, tunjangan pensiun akan menjadi salah satu faktor penting untuk dipertimbangkan. Hal ini mungkin terkait dengan fakta bahwa milenial cerdas secara finansial.

Studi berbeda juga menemukan bahwa penghargaan finansial kurang penting daripada pekerjaan yang bermakna. Pekerjaan dianggap bermakna oleh milennial jika melayani orang lain, meningkatkan kehidupan, dan membawa kebahagiaan pribadi. Sementara itu, milennial memandang pekerjaan ideal sebagai posisi yang mencakup interaksi dengan orang lain dan lebih santai.

Semua faktor yang disebutkan di atas dapat digunakan oleh organisasi untuk mengembangkan strategi kepemimpinan yang memaksimalkan kinerja milenial.

Perspektif Milenial mengenai Pemimpin

Survei yang dilakukan majalah Forbes di akhir tahun 2019 menunjukkan bahwa para milenial di Amerika Serikat sangat menyukai Elon Musk (sebelumnya Steve Jobs). Mereka ingin bekerja di bawah pimpinan Musk, seorang insinyur berusia 49 tahun, pendiri, dan pimpinan dari perusahaan-perusahaan futuristic Tesla, Inc., SpaceX, Boring Company, dan lain-sebagainya.

Majalah yang sama juga memilih Musk, bersama Jeff Bezos pendiri amazon.com, sebagai pemimpin paling inovatif di Amerika tahun 2019. Para milenial menyukai Musk karena lima alasan: futuristik, realistis, good guy, selalu menjaga hubungan dengan penggemarnya melalui media sosial, dan punya rencana jelas untuk mengirim milenial ke bulan.

Terlepas dari hasil survei di Amerika Serikat tersebut, survei lain menunjukkan tujuh sifat kepemimpinan yang paling sering diidentifikasi oleh milenial: membuka komunikasi (97,9%), menghargai orang (85,4%), memiliki visi (79,1%), mempunyai pengaruh positif (75%), percaya diri (68,7%), integritas (64,5%), dan menghargai kerja tim (62,5%).

Sifat-sifat manajerial yang paling memotivasi bagi milenial adalah lead by example atau memimpin dengan memberi contoh, pekerja keras, ramah, memotivasi, mendorong, dan memahami. Sebaliknya, milenial tidak menyukai pimpinan yang minim komunikasi, kasar, malas, berorientasi teknis, terlalu ngatur dan senang menghukum. Selain itu, milenial lebih suka pemimpin yang peduli tentang mereka dan dapat dipercaya.

Kepemimpinan Transformasional dan e-Leadership

Jadi, kepemimpinan atau cara seperti apa yang paling cocok diterapkan oleh para junjungan untuk memengaruhi para milenial? Studi tahun 1978 menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional menyarankan agar pemimpin menginspirasi pengikut melalui pencapaian tujuan kelompok atau organisasi. Versi terbaru dari teori ini memuat empat dimensi kepemimpinan transformasional yang lebih kekinian. Dimensi-dimensi itu adalah karisma atau pengaruh ideal, motivasi inspirasional, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual.

Studi mendalam mengenai milenial di Amerika Serikat dengan idolanya, Elon Musk, menunjukkan bahwa milenial menyukai Musk karena menguasai data dan informasi dengan baik, mampu membicarakan hal-hal yang kompleks dengan gamblang dan inspiratif. Dengan kata lain, pemimpin transformasional dicirikan sebagai sosok yang berperilaku dengan cara yang mengagumkan sehingga pengikut mengidentifikasi diri mereka dengan pemimpin, mengartikulasikan visi yang menginspirasi kepada pengikut, mendorong dan merangsang kreativitas pengikut, dan memenuhi kebutuhan masing-masing pengikut melalui kegiatan pendampingan atau pembinaan.

Pemimpin transformasional memiliki kemungkinan untuk disukai oleh karyawan milenial dengan cara mereka menantang pengikut dengan standar tinggi, mengkomunikasikan optimisme tentang pencapaian tujuan masa depan, dan mengumpulkan gagasan-gagasan pengikut. Pendekatan ini cocok dengan karakteristik milenial, yaitu optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi.

Dengan memberikan pertimbangan individual kepada pengikut, pemimpin transformasional lebih cenderung dihormati oleh milenial karena mereka lebih suka pendekatan kepemimpinan seperti mentor, yang memberikan komunikasi individual dan perhatian khusus.

Milenial juga lebih tertarik memiliki pemimpin yang menjadi model atau panutan. Pemimpin transformasional, yang perilakunya mengagumkan, akan menciptakan identifikasi pengikut-pemimpin, dapat menggunakan karakteristik ini untuk melibatkan karyawan milenial.

Namun demikian, para pimpinan yang menjadi panutanque bagi para milenial, perlu berhati-hati dengan karakter milenial yang cenderung individualis. Mendorong perilaku kolektif pada milenial yang individualis terbukti bukan tugas yang mudah. Majalah terkemuka TIME, pernah mengangkat topik milenial sebagai tajuk utama dengan judul: The Me Me Me Generation (TIME, 9 Mei 2013), dengan ulasan yang antara lain mengangkat karakteristik individualis milenial. Lebih jauh lagi, penurunan sentralitas kerja secara signifikan menurunkan minat pada visi yang diberikan oleh pemimpin dan, sebagai konsekuensinya, mengurangi kekuatan motivasi inspirasional dari pimpinan.

Untuk melengkapi kepemimpinan transformasional, perlu dipertimbangan hasil studi yang memunculkan teori e-Leadership. Teori ini mempelajari kepemimpinan dalam lingkungan kerja yang didukung teknologi, yang berdampak pada potensi interaksi, jarak ruang fisik, dan jaringan komunikasi elektronik. Pendekatan teori e-Leadership bisa sangat efektif ketika diterapkan pada karyawan milenial karena mereka sebagian besar ahli teknologi.

Penerapan e-Leadership dapat mendukung proses kepemimpinan dalam organisasi dengan cara yang prosesnya lakukan secara virtual. Misalnya, pertemuan dan pelatihan rutin dilakukan melalui internet. Hal ini memungkinkan karyawan untuk memiliki jadwal dan pengaturan kerja yang lebih fleksibel karena mereka tidak harus datang ke kantor pada jam yang sama setiap hari dan mereka dapat melakukan pekerjaan dari rumah. Ini dapat mengarah pada keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik – nilai kerja yang penting bagi milenial.

Akhirnya, bagi para junjungan dari generasi kolonial ataupun milenial, tampaknya menjadi junjungan para milenial ini tidak mudah. Tapi siapa bilang menjadi pimpinan bawahan atau anggota kelompok yang berasal dari generasi baby-boomers dan Generasi X lebih mudah?

Kepemimpinan didefinisikan sebagai proses memengaruhi orang lain, bawahan atau anggota kelompok, untuk mencapai tujuan yang sudah disepakati. Bisa tujuan organisasi, perusahaan, kelompok, bahkan tujuan pribadi sang pemimpin.

Disarankan agar para pimpinan menjadi panutanque bagi para milenial tersebut, karena punya visi, menginspirasi, layak dihormati, cerdas, berkomunikasi dengan baik, menggali gagasan-gagasan, dan tidak lupa memberikan pujian. Oh ya, milenial menghargai hubungan interpersonal yang kuat antara pemimpin dan pengikut, oleh sebab itu 100 persen komunikasi virtual melalui internet tidak akan efektif. Hubungan tatap muka masih tetap diperlukan untuk bisa saling menafsirkan emosi dan membangun hubungan pemimpin-pengikut yang kuat.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved