My Article

Lima Kebiasaan Negatif dalam Coaching

Lima Kebiasaan Negatif dalam Coaching

Oleh: Achmad Fahrozi, M.M. – HR Consultant, Organization Development Services PPM Manajemen

Achmad Fahrozi

Dedi tidak bisa menahan kekecewaannya. Proses coaching yang dijalankannya gagal total. Padahal sehari sebelumnya, ia telah mempersiapkan pertemuan coaching dengan sangat detail dan terencana. Jauh panggang dari api, alih-alih pertemuannya berjalan positif dan menghasilkan solusi terbaik untuk peningkatan kinerja bawahannya, malah sebuah percakapan kontraproduktif terjadi. Proses dan hasil coaching tidak seindah buku-buku motivasi yang telah dibacanya.

Banyak pemimpin atau atasan yang mungkin pernah merasakan seperti yang Dedi alami. Mereka mengaplikasikan coaching untuk membantu bawahan meningkatkan kemampuan dan kinerjanya. Para pemimpin meyakini bahwa coaching adalah jurus ampuh dalam mengeluarkan potensi dan meningkatkan kinerja bawahan. Tapi ketika mereka menerapkannya, prosesnya tidak semudah yang dibayangkan dan hasil yang didapat tidak semerdu bunyi teori yang dipelajari.

Coaching sebagai strategi jitu mendongkrak potensi karyawan memang tidak diragukan lagi. Namun untuk mencapai hasil coaching yang berkualitas, dibutuhkan proses coaching yang efektif. Itu hanya bisa terjadi paling tidak jika memenuhi tiga hal: tersedianya coach yang andal; metode yang terbukti; dan lingkungan yang mendukung. Dari tiga hal tersebut, coach yang andal memiliki kontribusi paling signifikan menentukan efektif tidaknya proses coaching.

Kabar buruknya tidak semua pemimpin adalah coach yang andal. Banyak pemimpin menilai dirinya sebagai coach hebat, tapi sebetulnya tidak demikian. Sebagaimana temuan riset yang dipaparkan Jack Zenger & Joseph Folkman dalam Harvard Business Review. Jack Zenger & Joseph Folkman mengamati data 3.761 pemimpin yang telah melakukan penilaian pribadi (self assessment) terhadap keterampilan coaching yang dimilikinya kemudian meminta orang lain untuk melakukan penilaian yang sama untuk mereka.

Jack Zenger & Joseph Folkman menemukan bahwa terdapat 24% pemimpin dari seluruh sampel yang menilai dirinya memiliki keterampilan coaching di atas rata-rata, namun pada kenyataanya tidak demikian. Fenomena ini dideskripsikan oleh ahli psikologi David Dunning & Justin Kruger, bahwa incompetent people fail to recognize their on deficiencies. Atau dengan kata lain, pemimpin gagal mengenali kelemahannya dalam coaching.

Kabar baiknya coaching bisa dipelajari semua pemimpin. Siapa pun bisa menjadi coach hebat asalkan mau belajar dan berlatih. Penekanan pada yang kedua, yaitu banyak-banyaklah berlatih. Semakin terlatih, perilaku pemimpin sebagai coach akan menjadi kebiasaan (habit). Kalau sudah jadi kebiasaaan, maka peran sebagai coach akan mudah dijalani.

Salah satu hal yang perlu dilatih agar pemimpin bisa menjadi coach hebat adalah meninggalkan perilaku atau kebiasaan negatif yang bisa mengurangi efektifitas coaching. Kebiasaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pendengar yang buruk

Coaching dikatakan berhasil seandainya bawahan (coachee) dapat memahami situasi yang dihadapinya dan mencari solusi yang paling efektif bagi dirinya sendiri. Untuk bisa mencapai tujuan itu, pemimpin harus mampu berempati terhadap bawahan. Peran tersebut tidak mungkin bisa dilakukan seandainya pemimpin memiliki kemampuan mendengar yang buruk.

Kemampuan mendengar yang buruk berakibat bawahan kurang terbuka untuk berbagi atas situasi yang dihadapinya. Mereka merasa kurang nyaman dan kurang percaya diri. Dampaknya, pemimpin kehilangan banyak informasi penting mengenai isu yang disampaikan bawahan. Pemimpin juga gagal memahami apa yang dikatakan dan apa yang tidak dikatakan (tersirat) bawahan.

Terlalu banyak memberi informasi, instruksi dan solusi

Jika Anda tipikal pemimpin yang sering memberi informasi, instruksi dan solusi, maka mulai saat ini tahanlah kebiasaan tersebut. Gantilah dengan kebiasaan baru. Yaitu kebiasaan untuk menggali informasi. Kebiasaan memberikan ruang kebebasan bagi bawahan Anda untuk memahami situasi mereka sendiri serta berkreasi menemukan solusi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Pemimpin mungkin paling banyak memiliki informasi. Pemimpin pun berhak memberikan instruksi. Bahkan solusi terbaik bisa dilahirkan dari pikiran pemimpin. Tapi coaching bukan tentang apa yang paling penting dan paling baik bagi pemimpin. Coaching tentang apa yang paling bermanfaat dan efektif bagi bawahan. Selagi atasan merasa percakapan coaching adalah untuk kepentingannya, maka seketika coaching bisa dikatakan gagal.

Untuk dapat menahan kebiasaan tersebut, pemimpin perlu melatih dua keterampilan penting. Pertama, keterampilan membuat pertanyaan yang efektif dan berdaya (Effective & Powerful Question). Kedua, keterampilan mendengar dengan aktif (active listening).

Menyalahkan orang lain

Suasana percakapan yang dipenuhi upaya mencari kambing tidak akan membuahkan hasil coaching yang efektif. Karena arah coaching akan berubah dari upaya menyelesaikan masalah menjadi upaya mempertahankan diri.

Dengan menyalahkan, atasan mungkin berharap akuntabilitas bawahan semakin meningkat. Bahkan, tak jarang atasan mengumumkan kesalahan karyawan di depan publik. Yakinilah perilaku tersebut tidak akan membantu bawahan menyelesaikan masalahnya. Malah karyawan merasa semakin terpojok dan berupaya keras menyelamatkan harga dirinya.

Memaksakan pendapat

Memaksakan pendapat merupakan perilaku buruk yang harus ditinggalkan oleh seorang pemimpin dalam coaching. Perilaku tersebut akan menghambat berkembangnya komunikasi dua arah dan mengunci percakapan menjadi satu arah.

Bawahan yang cenderung submisif, mereka akan diam dan menerima begitu saja pendapat atasannya. Meskipun belum tentu pendapatnya bagus dan mewakili kepentingannya. Mereka menjadi sangat bergantung pada atasan. Atasan gagal menghadirkan kemandirian dan tantangan bagi bawahan.

Bawahan yang cenderung agresif, mereka akan mengungkapkan pendapat yang mewakili pandangan dan kepentingannya. Jika pendapat dan idenya tidak diperhatikan, mereka akan terus memperjuangkan pendapatnya. Jika tetap tidak diperhatikan juga, mereka akan diam dan itu artinya mereka menjadi tidak peduli. Kata-kata “terserah apa kata dan maunya atasan” akan menjadi senjata pamungkas. Atasan gagal mengembangkan komitmen bawahan.

Fokus pada masalah

Seperti dalam konsep law of attraction, apa yang menjadi fokus perhatian, itulah yang akan terjadi. Fokus pada masalah, pembicaraan coaching akan berputar-putar pada masalah. Sementara jika coaching diarahkan pada penyelesaian masalah, maka solusi didapat.

Berhentilah fokus pada masalah. Fokus pada masalah membuat pikiran beku dan jiwa layu. bawahan bisa depresi membahas masalah tanpa solusi. Pemimpin harus menghadirkan tantangan bagi bawahan untuk keluar dari situasi dan permasalahan yang dihadapi. Pemimpin juga harus mampu menghidupkan harapan dan semangat bagi bawahan untuk meraih tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Dengan menghindari lima perilaku dan kebiasaan negatif ini, semoga para pemimpin bisa menjadi coach hebat. Selamat mencoba!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved