My Article

Made in Internet

Oleh Editor
Made in Internet

Oleh: N. Rengka Johanes, Direktur Lesca Dana Jakarta

N. Rengka Johanes,Direktur Lesca Dana Jakarta

Dunia perbankan dewasa ini sedang berbenah diri. Keberadaan internet dan kemajuan teknologi yang semakin pesat, mau tidak mau, “ memaksa “ perbankan mesti menyesuaikan diri. Sesungguhnya bukan hanya lembaga keuangan, tetapi juga industri lain. Sekedar contoh. Tahun 2007-2009, sebuah survei tentang penggunaan internet secara global menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen masyarakat global menggunakan internet sebelum memutuskan membeli atau menggunakan sebuah produk perbankan. Datanya seperti berikut : Untuk personal loan 4%; fixed income product 2%; Kartu Kredit 10%; Deposito Berjangka 18%; Membuka Rekening Baru 14%; Membeli Saham 12%; membeli Asuransi Umum 11%; Mebeli valuta asing 9%; Mutual Funds atau Obligasi 10%. Angka-angka ini sudah menunjukan bahwa kebutuhan internet sulit dihindari.

Kemudian di wilayah Asia, sejak munculnya Octopus di Hongkong, T-Money di Korea dan Edy & Suica di Jepang, lalu lintas transaksi pembayaran semakin bergeser. Tiga “prodiuk” yang disebut di atas, merubah perilaku masyarakat dalam bertransksi. Baik pembelian barang ataupun melakukan pembayaran. Kartu ATM semakin jarang digunakan. Cukup menggerakan jari di telepon genggam, maka dalam sekejap transaksi pembayaran selesai. Di Indonesia, jika anda ingin membeli barang, cukup masuk ke salah satu lapak E-commerce, maka barang yang anda inginkan akan sampai di rumah dalam waktu cepat. Membeli melalui lapak E-Commerce, anda tidak lagi memperhatikan negara asal barang tersebut, tetapi cukup jenis barang yang diinginkan. Karena itulah Jack Ma dalam sebuah presentasi tahunan Taobao, memberi judul presentasinya: Netrepeneurs: Made in Internet yang saya pakai sebagai judul tulisan ini.

Di lembaga keuangan, mari kita lihat data jalur interaksi pada retail Banking di Amerika tahun 2016. Data ini memperlihatkan jumlah interaksi nasabah dengan bank. Berapa kali seorang nasabah berhubungan dengan bank, baik melalui ATM, datang ke kantor ( cabang) atau melalui tablet atau telepon genggam. Datanya seperti ini : Melalui Mobile (telpon genggam) 20 sampai 30 kali per bulan. Melalui Web / Tablet, 7 – 10 kali per bulan; melalui ATM (Automated Teller Machine) 3 – 5 kali per bulan; Melalui Call Center sebanyak 5 – 10 kali per bulan; dan datang ke kantor bank (cabang) hanya 1 – 2 kali per tahun. Apa artinya data ini? Masyarakat cenderung tidak mau lagi datang ke kantor ( cabang ) bank untuk urusan transfer dana atau pembayaran. Interaksi fisik antara orang semakin kecil. Maka fungsi Check Tunai pun semakin tidak relevan. Pergeseran ini sungguh terasa sejak tahun 1990an.

Pertanyaan yang cukup relevan adalah, bagaimana dengan perbankan di Indonesia? Perbankan di Indonesia pun menghadapi persoalan yang sama. Banyak kantor cabang yang ditutup, karena terasa semakin kurang efektif. Data OJK per bulan April 2021, memperlihatkan jumlah kantor cabang berkurang sebanyak 1.232 unit. Angka yang tidak kecil.

Dalam pandangan penulis, tantangan perbankan di Indonesia paling tidak mencakup beberapa hal. Pertama, kesiapan lembaga keuangan itu sendiri. Dalam hal ini, persoalan infrastruktur teknologi yang dimiliki dan sumber daya manusia. Dua hal ini berkaitan dengan tema besarnya yaitu Anti Money Laundering ( AML ). AML bukan saja menjadi isu di Indonesia, tetapi juga menjadi isu global. Apalagi sejak munculnya kelompok teroris di seluruh dunia dengan tingkat kecanggihan mereka melakukan penggalangan dana. Berkaitan dengan AML, ada isu penting yaitu bank mesti mampu mengidentifikasi calon nasabahnya secara tepat ketika seorang nasabah ingin membuka rekening di bank. Padahal kompleksitas Know Your Customer ( KYC ) bukan sekedar kartu identitas calon nasabah.

Selain itu, dalam perspektif mitigasi resiko, KYC lebih kepada adanya perjumpaan langsung (face to face) antara personel bank dengan calon nasabah. Hal ini lebih kepada untuk meyakinkan dan konfirmasi tentang latar belakang dan identitas calon nasabah. Padahal ini belum sepenuhnya mampu memitigasi resiko AML. Di beberapa negara maju, seperti China, kredit untuk Usaha Kecil Menengah, cukup dengan foto wajah yang dapat diperoleh dari tempat-tempat umum seperti café, stasiun kereta, atau yang terpampang dalam face book, Instagram milik si nasabah. Dari sana dengan menggunakan algoritma (cloud computing) yang super canggih bisa mengalisis latar belakang nasabah hanya dengan data wajah yang diperoleh dari berbagai media atau tempat. Dengan demikian mitigasi resiko jauh lebih baik ketimbang sekedar kartu identitas dan perjumpaan face to face dengan nasabah.

Kedua, belum ada regulasi yang jelas mengenai digital banking. Regulator, dalam hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih melihat plus minus jika pintu digital banking ini dibuka lebar. Namun jika ini dibiarkan terlalu lama, maka dunia perbankan kita akan berjalan dalam keraguan yang berkepanjangan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved