My Article

Memproteksi Pasar E-Dagang Tanah Air

Oleh Admin
Memproteksi Pasar E-Dagang Tanah Air

Rasa-rasanya, setidaknya mengacu pengalaman penulis, semakin jamak di sekeliling kita, entah kawan atau kolega, memasarkan barang jualan pada akun pesan instan/media sosial miliknya. Terutama di BlackBerry Messenger, Facebook, Twitter, dan Instagram.

Muhammad Sufyan

Muhammad Sufyan

Situasi ini sejalan dengan kian gempitanya bisnis dalam jaringan/daring, atau e-dagang (e-commerce), di tanah air belakangan. Fenomena pemanfaatan akun personal tadi adalah sedikit representasi dari kian banyak, sekaligus bervariasinya, perdagangan berbasis internet.

Ambil contoh rumah123.com untuk laman jual-beli-sewa properti, zenius.net (bimbingan belajar bentuk video SD s.d SMA), klik-eat.com (pesan-antar makanan), Gojek.com (transportasi), orori.com (perhiasan), bahkan pembantu.com (asisten rumah tangga).

Apa yang tersaji di awal tadi sebenarnya menandakan betapa kian sempurnanya struktur pasar e-dagang di Tanah Air. Terlebih, jika kita merujuk konsep e-commerce dari David Baum dalam “Buku Pintar Internet Membangun Web-E-Commerce (2000)”, maka semuanya sudah ada.

Sebagai model bisnis, ada lima implementasi primer e-dagang. Pertama, model iklan baris (classified), dimana penyedia laman tidak terlibat proses jual beli secara langsung, namun mereka menawarkan iklan premium seperti dilakukan OXL.

Kedua, model marketplace C2C (consumer to consumer), yang mana penyedia jasa memfasilitasi langsung transaksi untuk mengutip komisi seperti dilakukan Tokopedia dan Bukalapak. Ketiga, shopping mall, hanya penjual ternama yang bisa jualan model bisnis komisi seperti Blibli.

Keempat, model toko daring B2C (business to consumer), yakni penjual skala besar pemilik barang menjual, memasarkan, bahkan mendistribusikan sendiri untuk bertumpu pada profit produk terjual seperti dilakukan Lazada, Bhineka, dan Zalora.

Terakhir, model paling populer –karena dilakukan oleh banyak lapisan masyarakat di sekitar kita saat ini– tentu saja yang menggunakan media sosial dan pesan instan populer, dengan menerapkan skema bisnis profit per penjualan.

Di mata penulis, yang menggelembungkan ini semua dengan cepat, selain banyak kota urban di Indonesia yang kian terjebak kemacetan kronis plus gaya hidup masyarakat makin praktis, tentu saja hal ini terkait guliran peminat serta nominal bisnis yang demikian besar.

Dalam beberapa kesempatan, baik Kementerian Perdagangan dan Departemen Komunikasi Informatika menyebutkan, pembeli daring tahun 2012 lalu 3,1 juta dari total pengguna internet 59,6 juta. Lalu, 4,6 juta dari 72,8 juta (2013) dan 5,9 juta pembeli dari 83,7 juta (2014).

Tahun ini diperkirakan mencapai 7,5 juta dari 93,4 juta atau mendekati 10% populasi. Nilai bisnisnya? Tergolong jumbo, karena estimasi tahun ini 20 miliar dolar AS (Rp180 triliun) atau naiknaik lebih dari 2 kali lipat dari angka tahun 2013 sebesar 8 miliar dolar AS.

Pun demikian, mengacu data yang penulis himpun, 42% pemimpin pasar eksisting e-dagang ini berasal dari perusahaan asing (Jepang 63%, Amerika Serikat 17%, Singapura 8%, Jerman 8%, serta Inggris 4%), murni modal Indonesia 50%, dan sisanya 8% joint venture.

Untuk itulah, proteksi bisnis lokal dan nasional harus jadi prioritas saat ini. Jangan sampai, seperti kita sudah saksikan sebelumnya, terutama dalam industri telekomunikasi seluler, bangsa kita sebatas konsumen di tengah hajat besar bangsa asing di rumah kita.

Agar tak (lagi-lagi) jadi penonton, langkah utama yang harus dilakukan adalah memastikan pebisnis lokal, terutama sektor logistik/ekspidisi dan institusi keuangan (internet banking dan internet payment) dilibatkan pebisnis asing e-dagang dari sisi regulasi.

Regulator pun harus selalu memastikan, terutama pemain asing di sektor e-commerce, mutlak mematuhi aturan teknis. Seperti mulai dicanangkan Kementerian Keuangan melalui SE-62 tentang kewajiban perpajakan maupun Depkominfo soal sertifikasi pebisnis daring.

Muhammad Sufyan, Dosen Fakultas Komunikasi Bisnis Telkom University)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved