My Article

Model Bisnis di Era Inklusi Ekonomi

Oleh Admin
Model Bisnis di Era Inklusi Ekonomi

Oleh: Tasya Juwita, M.M. – Trainer, Executive Development Services PPM Manajemen

Sekali waktu penulis mendapati sebuah cuplikan artikel, “Perusahaan taksi terbesar di dunia, Uber, tidak memiliki kendaraan. Perusahaan media terpopuler, Facebook, tidak membuat konten. Perusahaan ritel dengan nilai tertinggi, Alibaba, tidak memiliki persediaan. Dan perusahaan penyedia akomodasi terbesar, Airbnb, tidak memiliki properti sama sekali. Sesuatu yang besar sedang terjadi.”

Penasaran yang menyerang membuat penulis mengulik lebih dalam. Kata kunci yang kemudian muncul pada sebuah artikel di media internasional adalah “The property is at the interface”. Lalu dilanjutkan dengan pendapat dari Tom Goodwin, seorang eksekutif grup media Havas dari Perancis, yang mengatakan bahwa saat ini perusahaan yang bernilai tinggi adalah perusahaan yang mampu menghubungkan konsumen dengan penyedia produk/jasa.

Pada model bisnis yang baru berkembang ini, penyedia produk/jasa bisa saja berasal dari perusahaan kecil atau perseorangan yang jangkauan pasarnya kecil, yang biasa kita kenal dengan UMKM atau bisnis mikro. Dengan konektivitas yang ditawarkan perusahaan-perusahaan besar tersebut, Si Mikro dapat memperbesar pasarnya, menjangkau bukan hanya lokal, tapi juga internasional. Ini adalah salah satu penerapan dari inklusi ekonomi.

Lalu apa itu konsep inklusi ekonomi? Secara sederhana dapat diartikan sebagai penyediaan akses bagi semua kalangan, termasuk mereka yang kurang beruntung, atau yang selama ini dianggap unbankable, agar pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan secara merata. Hal ini juga dikenal dengan sebutan inklusi pertumbuhan.

Tasya Juwita

Tasya Juwita, M.M. – Trainer, Executive Development Program

Pada ekonomi yang menginklusi seluruh bagian masyarakat, semua orang dapat mengambil peran apapun, baik itu produsen, penyalur, pekerja, maupun pembeli tanpa mengkhawatirkan keterbatasaan jangkauan. Semua dapat terjawab melalui kolaborasi dan partnership.

Selama ini seringkali pikiran kita terjebak dalam angka. Begitu angka pertumbuhan dan PDB meningkat, maka persepsi yang timbul adalah kondisi ekonomi negeri telah membaik. Pertanyaannya, apakah kondisi tersebut membaik di seluruh kawasan? Dari ujung barat sampai timur negeri? atau hanya di kota-kota besar, pusat pemerintahan, dan pusat ekonomi? Bagaimana dengan daerah perbatasan?

Dalam sebuah artikel yang berjudul “An Economy for The 99%”, Oxfam menuliskan bahwa saat ini ketimpangan ekonomi adalah ancaman utama terhadap kestabilan sosial. Salah satu hasil identifikasinya menyebutkan, delapan orang terkaya memiliki kekayaan yang setara dengan setengah populasi termiskin dunia. Hasil lain yang mencengangkan adalah, sejak 2015, 1% orang terkaya dunia memiliki kekayaan yang lebih besar dibandingkan aset milik 99% penghuni lain planet ini. Tidak heran jika timbul ungkapan yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin.

Fasilitator untuk pertumbuhan dan stabilitas pertumbuhan ekonomi adalah sektor keuangan. Sektor ini juga mampu memberikan multiplier effect pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Sektor ini dapat membantu menyalurkan dana dari yang lebih kepada yang butuh. Pentingkah hal ini untuk Indonesia?

Mari kita lihat persentase WNI dewasa yang memiliki rekening di bank baru 36% di tahun 2014, menurut Global Financial Inclusion Index. Bandingkan dengan negara tetangga kita, Thailand 78% dan Malaysia 81%. Bahkan Tanzania pun telah mencapai 40%. Tingkat keterlibatan masyarakat negara kita jauh tertinggal di sektor ini. Jadi jangan heran kalau permodalan berputar hanya di bagian tengah ke atas piramida masyarakat sehingga angka pertumbuhan ekonomi kita tidak lebih dari cerminan pertumbuhan ekonomi di kalangan menengah ke atas.

Sektor keuangan ini begitu penting karena mampu membuat seluruh bagian masyarakat terkoneksi dalam pasar serta memitigasi risiko. Berdasarkan fungsinya inilah sektor keuangan dianggap sebagai bagian dari strategi untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan melalui konsep inklusi keuangan.

Pasca krisis global di tahun 2008, terutama negara-negara maju merasakan bahwa para penghuni dasar piramida masyarakat, mereka yang selama ini dianggap unbankable, terkena dampak yang terparah dan mereka sangat membutuhkan bantuan untuk dapat bangkit. Pada G20 Pittsbugh Summit 2009, para anggota G20 satu suara mengenai kebutuhan akan peningkatan akses keuangan bagi kalangan ini.

Lalu disepakatilah 9 Principles for Innovative Financial Inclusion pada 2010 di Toronto Summit sebagai panduan kebijakan pengembangan inklusi keuangan. Prinsip tersebut adalah: leadership, diversity innovation, protection, empowerment, cooperation, knowledge, proportionality, dan framework.

Saat ini kita dapat melihat peningkatan skema ekonomi yang mengarah kepada kesepakatan tersebut. Sebut saja kredit mikro, asuransi mikro, micro-saving, micro-pension products, dan serangkaian produk keuangan untuk kalangan mikro lainnya. Di Indonesia sendiri sejak 2013 Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah diatur dan diawasi oleh OJK. LKM ini berjasa besar dalam mendorong pemberdayaan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan UMKM yang selama ini memiliki akses terbatas ke lembaga keuangan formal.

Komitmen inklusi keuangan ini sekarang makin ditunjang oleh teknologi. Oleh karena itu, mulai beberapa tahun terakhir Anda mulai terhubung kembali dengan para pelaku bisnis mikro. Siapa yang menyangka ojek akan sepopuler sekarang jika tidak ditunjang oleh partner bisnis berskala multinasional. Atau membayangkan mereka yang bermukim di pusat pemerintahan dapat belanja pakaian batik langsung dari produsennya yang ada di pedesaan dan berjarak ratusan kilometer. Bahkan berdonasi pun dapat dilakukan dengan lembaga amal dari belahan lain negara ini yang belum pernah Anda temui secara langsung.

Mengutip sebaris kalimat dari laman presidenri.go.id. “Tiga ratus sepuluh juta pengguna gadget yang terkoneksi internet di Indonesia adalah potensi besar dalam menciptakan kesejahteraan melalui inklusi keuangan digital.” Maka tidak heran, social entrepreneur yang saat ini berkembang sangat pesat, ternyata juga ditunjang fintech. Hal tersebut sudah dianggap sebagai tangan kanan para social entrepreneur untuk menjangkau semua partner dan customer-nya, dimanapun, dari kalangan apapun.

Inilah gambaran nyata dari bisnis di era keterlibatan. Pelaku bisnis akan berlomba-lomba berkolaborasi. Bahkan saingan pun dijadikan partner. Karena lebih baik berkolaborasi untuk menghasilkan kue yang lebih besar daripada memperebutkan kue yang tidak seberapa, bukan?

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh para pemain lama dalam lingkaran bisnis di negara ini? Cukupkah improvisasi dalam mengejar tuntutan dan perkembangan baru era inklusi? Ataukah transformasi model bisnis jawabannya?

Selamat berefleksi!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved