My Article

Peran ZISWAF dalam Situasi Pandemi Covid-19 dalam Kajian Akuntansi Syariah

Peran ZISWAF dalam Situasi Pandemi Covid-19 dalam Kajian Akuntansi Syariah

Oleh: Dr. Kautsar R. Salman, Dosen, Penulis Buku Akuntansi Syariah, dan Pengurus Ikatan Akuntan Indonesia Bidang Akuntan Syariah.

Dr. Kautsar R. Salman,

Sebagaimana berita resmi dari BPS (Biro Pusat Statistik) tanggal 15 Juli 2019, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang (9,41 persen), menurun 0,53 juta orang (0,25 persen). Bahkan, berdasarkan data finance.detik.com, Rabu 1 April 2020 pukul 08.28 WIB, jumlah orang miskin di Asia-Pasifik bisa bertambah 11 juta karena Covid-19. Menghadapi situasi yang genting ini, tidak hanya pemerintah yang bergerak, rakyat pun harus berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan kondisinya masing-masing. Dalam konteks ini, diperlukan pengorbanan dari orang kaya, dan kesabaran dari orang miskin yang terdampak corona. Kedua sifat itu, kedermawanan dan kesabaran, adalah ciri-ciri orang yang beriman. Hal ini diperkuat sebuah hadits, dimana Nabi berkata: “Sungguh mengherankan kondisi orang yang beriman, semua urusannya baik. Hal itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang beriman. Ketika dia mendapatkan kenikmatan, dia bersyukur, dan itu baik baginya, dan ketika dia mendapatkan musibah, dia bersabar, dan itu baik baginya.”

Dalam kondisi seperti saat ini, kedermawanan tidak hanya dilakukan oleh orang mampu saja, orang yang punya sedikit harta juga diupayakan untuk bersedekah. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad dari shahabat Abi Dzar, di mana beliau berkata: “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Kepayahan bersedekah orang yang hanya mempunyai sedikit.” Orang yang lebih sulit secara ekonomi di masa pandemi Covid-19 ini, bisa tetap bersedekah meskipun dengan sedikit, karena nilai sedekahnya lebih utama daripada sedekah hartawan yang hanya mengeluarkan sedikit dari hartanya sehingga tidak terasa berkurang baginya, sekalipun jumlahnya banyak. Bahkan, disebutkan dalam satu riwayat dari ‘Utsman bin ‘Affan, bahwa beliau berkata: “…Demi Allah, satu dirham yang diinfaqkan oleh seseorang dengan bersusah payah itu lebih baik dari 10.000 dirham orang kaya yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hartanya yang berlimpah.” Jika dihitung, umpamanya, ada orang yang tidak mampu bersedekah dengan Rp 4.308, itu lebih utama daripada sedekah orang kaya yang nilainya Rp43.089.000. Perbandingan 1:10.000, ini menjadi motivasi (targhib) bagi mereka yang sedikit harta untuk berinfak atau bersedekah di masa krisis seperti ini, karena lebih utama dari pahalanya di sisi Allah Ta’ala.

Salah satu bentuk kesyukuran dari orang yang mampu, di tengah ujian pandemi covid-19, adalah dengan menunaikan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Kewajiban zakat diatur dalam QS At-Taubah ayat 103, yang berbunyi: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Zakat yang ditunaikan, harus terpenuhi haul dan nishab, dapat fokus disalurkan kepada orang miskin yang terdampak covid-19 secara langsung, sebagai salah satu yang berhak menerimanya (mustahik). Amil zakat dalam hal ini, berperan besar dalam penerimaan zakat dan penyalurannya ke masyarakat yang kurang mampu. Namun, seperti dikutip dari cnbcindonesia.com, Kamis 16 Mei 2019 pukul 15.33 WIB, seperti peribahasa padi ditanam tumbuh ilalang, realisasi zakat yang masuk ke BAZNAS masih jauh dari harapan. Realisasi zakat tahun 2018 hanya Rp 8,1 triliun, sedangkan potensinya mencapai Rp 252 triliun.

Dalam standar akuntansi syariah (PSAK) 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) pada 6 April 2010, disebutkan bahwa zakat dapat berbentuk kas maupun nonkas. Jika zakat berbentuk kas, zakat yang diterima diakui sebagai penambah dana zakat sebesar jumlah yang diterima, sedangkan bila berbentuk nonkas diakui sebesar nilai wajar. Penentuan nilai wajar digunakan nilai pasar. Dalam standar tersebut dinyatakan, jika muzakki menentukan mustahik yang menerima penyaluran zakat melalui amil, maka tidak ada bagian amil atas zakat yang diterima. Amil akan menerima ujrah atas kegiatan penyaluran tersebut. Ujrah ini berasal dari muzakki, di luar dana zakat, dan diakui sebagai penambah dana amil. Dalam kondisi saat ini, penyaluran dapat difokuskan pada masyarakat yang tidak mampu dan terdampak langsung dari pandemi Covid-19. Selain itu, yang lebih urgen adalah agar dalam penentuan jumlah atau persentase bagian untuk fakir miskin harus lebih besar daripada bagian untuk mustahik lainnya, terlebih bagian untuk amil bisa disalurkan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu.

Jika zakat, melibatkan dua pihak, yaitu pemerintah, dalam hal ini amil zakat, dan wajib zakat (muzakki), infak serta sedekah, lebih fleksibel, karena hanya berasal dari satu pihak saja yaitu pembayar infak/sedekah. Infak dan sedekah harus digencarkan guna membantu mereka yang membutuhkan. Maukah kita masuk ke dalam golongan ashabul maimanah (golongan kanan)? Tentu semua orang mampu ingin masuk golongan itu, tapi ternyata hanya sedikit yang bisa. Mari disimak QS Al-Balad ayat 14-16, yang menyebutkan salah satu sifat dari golongan kanan, yaitu gemar memberi makan kepada orang tidak mampu, dimana Allah berfirman: “atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.”

Orang yang percaya ekononomi wahyu (divine economics) pasti meyakini bahwa harta yang dia infakkan atau sedehkan di jalan Allah akan mendapatkan pengganti berupa balasan yang berlipat ganda sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 245: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

Sejarah menuturkan, ketika turun ayat ini, sahabat yang mulia Abud Dahdah Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu yang memiliki kebun kurma yang didalamnya ada enam ratus pohon kurma, berkata kepada Rasulullah: “Sesungguhnya saya telah memberi pinjaman kepada Rabbku dengan kebunku, tatkala itu di dalam kebun tersebut ada istrinya, maka Abud Dahdah mengatakan, ‘Keluarlah wahai Ummu Dahdah, sesungguhnya saya telah menghutangkan kebunku kepada Rabbku’, segera istrinya keluar dan mendoakan keberkahan untuk perbuatan suaminya (Al-Manhaju al-Qawimu fi at-Ta-asiy bi ar-Rasuli al-Karimi karya Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali).

Bila dikalkulasi secara matematis, 1 pohon kurma setiap panennya menghasilkan 100 kg kurma dan katakanlah harganya 200 ribu per kg. Maka, 1 pohon kurma menghasilkan pendapatan (revenue) Rp 20 juta per pohon, dan bila dikalikan 600 pohon akan setara dengan Rp 12 miliar rupiah. Sungguh luar biasa, Abud Dahdah bersedekah dengan nilai Rp 12 miliar, suatu jumlah yang fantastis dan susah kita menemukan orang seperti itu di masa sekarang. Suatu perbuatan yang tidak akan dilakukan selain orang-orang yang sempurna sifat dermawanan, ketaqwaan, dan keyakinan tentang instrumen ilahi dan keutamaannya.

Kebolehan wakaf, diatur dalam QS Ali Imran ayat 92, Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (harta sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” Berdasarkan ayat ini, orang yang berwakaf dengan sebagian harta yang dicintainya, akan mencapai derajat kebaikan yang sempurna. Namun, setali tiga uang dengan zakat, realisasi wakaf sangat jauh dari potensinya. Menurut wartaekonomi.co.id, Selasa 7 Mei 2019 pukul 22.42, di mana potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 300 triliun, tapi realisasinya hanya Rp 300 miliar. Padahal, di antara instrumen yang ada, mungkin wakaf yang lebih dapat berkontribusi, sebab wakaf lebih fleksibel dan luas cakupannya dibanding dengan zakat, infak, dan sedekah. Wakaf boleh bersumber dari harta yang haram, dapat berupa wakaf tunai maupun wakaf aset non tunai.

Dalam menafsirkan QS Ali Imran ayat 92, Ibnu Katsir rahimahullahu menceritakan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, di mana Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman, tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Sesungguhnya harta kekayaanku yang paling aku sukai adalah tanah Bairuha’ dan aku bermaksud untuk menyedekahkannya yang dengannya aku berharap mendapatkan kebaikan yang sempurna di sisi Allah. Maka manfaatkanlah kebun itu, ya Rasulullah, seperti apa yang ditunjukkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu…” Dari kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa wakaf Abu Thalhah termasuk ke dalam wakaf produktif. Tanah Bairuha’-nya Abu Thalhah ini adalah kebun kurma yang terletak di depan masjid Nabawi dan dikelola serta dikembangkan sehingga memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan untuk mauquf alaih (pihak yang diberikan manfaat dari hasil wakaf). Wakaf kesehatan, contohnya, dapat dimanfaatkan untuk pengadaan alat pelindung diri (APD) wakaf, masker wakaf, pembangunan RS Darurat Wakaf (RSDW), rumah isolasi wakaf (RIW), pengadaan ventilator wakaf, dan lain-lain. Wakaf ini sangat besar perannya dalam mengembangkan ekonomi umat dan sekaligus mengatasi problematika yang dihadapi umat saat ini.

Menurut standar akuntansi syariah (PSAK 112) tentang Akuntansi Wakaf disebutkan adanya wakaf temporer, yaitu wakaf dalam bentuk kas yang diserahkan wakif kepada nazhir untuk dikelola dan dikembangkan dalam jangka waktu tertentu. Jenis wakaf ini mensyaratkan adanya pengembalian kembali ke pihak yang menyerahkan setelah jangka waktu tertentu, namun hasilnya dapat digunakan untuk mauquf alaih. Wakaf jenis ini diperbolehkan sebagaimana pernah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitabnya asy-Syarhul Mumti’. Beliau menjelaskan “Yang benar adalah boleh mewakafkan uang untuk dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Tidak mengapa ini dilakukan dan tidak ada dalil yang melarang. Semua ini dalam rangka menyampaikan kebaikan untuk orang lain.” Berdasarkan PSAK 112, aset wakaf temporer diakui sebagai liabilitas oleh nazhir karena nazhir wajib mengembalikan ke wakif di masa mendatang. Hasil dari pengelolaan dan pengembangan wakaf temporer diakui sebagai penghasilan bagi nazhir dan dialokasikan kepada mauquf alaih. Mauquf alaih dapat diarahkan pada kebutuhan masyarakat kurang mampu sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ingat, ada 9,41 persen masyarakat miskin yang sangat membutuhkan ZISWAF kita. Kita harus yakin bahwa instrumen ilahi (divine instrument) seperti ZISWAF dapat berperan dalam membantu masyarakat yang terdampak ekonominya karena pandemic covid-19. Oleh karenanya, marilah kita budayakan dan kobarkan semangat untuk berzakat, berinfak, bersedekah dan berwakaf!


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved