My Article

Siklus Hidup Tech Startup Indonesia: Boom and Bust

Oleh Editor
Siklus Hidup Tech Startup Indonesia: Boom and Bust

Oleh: Hendra Ridwandhana – Konsultan di PPM Manajemen

Oleh: Hendra Ridwandhana – Konsultan di PPM Manajemen

Fenomena tumbuhnya aktivitas entrepreneurship pada tech startup di Indonesia merupakan sebuah berkah dari bonus demografi, namun hal itu perlu diwaspadai agar semangat ini terus tumbuh dan berbuah hasil yang manis.

Menjamurnya perusahaan tech startup merupakan fenomena yang umum terjadi pada negara yang sedang dalam fase bertumbuh. Amerika Serikat mengalaminya pada akhir tahun 1980-an hingga awal 2000-an, Asia pun menyusul 10 tahun kemudian dan setelahnya. Secara umum, fenomena tech startup tersebut memiliki 3 fase dalam ekosistemnya, yaitu: bloom, boom, and bust.

Fase pertama adalah bloom, atau berbunga yang ditandai dengan munculnya banyak semangat anak muda membawa ide mereka ke permukaan dan mulai berani mengeksekusi ide tersebut dengan bantuan dana keluarga, sanak saudara, dan handai tolan. Ide mereka umumnya berasal dari hasil penelitian di laboratorium ataupun hasil dari tugas kuliah, sehingga dapat dikatakan masih mentah dan butuh penyempurnaan.

Kelemahan mereka di luar produk umumnya ada pada tim manajemen yang belum lengkap, serta minimnya permodalan yang dimiliki. Setelah itu, masuklah perusahaan modal ventura jika ide mereka dinilai cukup memiliki keunikan dan terobosan baru. Modal ventura masuk dengan membawa modal serta pengalaman industrial.

Pertumbuhan ini didukung oleh aktivitas modal ventura dengan dukungan dana investasi yang sangat besar. Di Amerika Serikat, pada tahun 2000 aktivitas investasi pada tech start up meningkat dengan pesat hingga melampaui USD 30 miliar, meningkat dari sekitar USD 2,5 miliar pada tahun 1995. Pada fase ini mereka dituntut untuk bisa bertumbuh cepat jika mereka tidak ingin gulung tikar.

Dalam survei Harvard Business Review terhadap perusahaan rintisan di Amerika Serikat pada 1996 terdapat beberapa hal yang memengaruhi perusahaan rintisan dapat bertumbuh, di antaranya; kecukupan permodalan, kapabilitas manajemen, kecakapan eksekusi, strategi pricing dan faktor eksternal seperti supremasi hukum, pelanggan, dan kompetitor.

Berikutnya, fase kedua, boom. Pelaku pasar dipenuhi oleh euforia terhadap pertumbuhan jumlah perusahaan rintisan yang luar biasa. Pada fase ini mungkin hampir tidak ada orang yang skeptis terhadap pertumbuhan startup. Euforia mereka pun berlanjut saat banyak perusahaan rintisan melantai di bursa efek.

Para pelaku pasar sangat antusias untuk membeli kepemilikan/saham dari perusahaan rintisan pada saat initial public offering walau dengan valuasi yang tidak wajar dan tanpa mempertimbangkan fundamental perusahaan di masa datang. Bahkan praktik-praktik prudent investing ala investor kawakan Warren Buffet dan Benjamin Graham dianggap sudah tidak relevan dan ketinggalan jaman.

Dalam kurun waktu 1995 hingga Februari 2000, Pasar modal Amerika Serikat mengalami booming pasar modal untuk tech startup. Pada masa itu indeks NASDAQ sebagai indeks acuan perusahaan perusahaan teknologi melonjak sekitar 400% dari 755 poin menjadi 4696 poin atau bertumbuh 42,49% per tahun secara rata-rata.

Hal yang cukup irasional mengingat kebanyakan tech startup belum mampu mencatatkan laba bersih dan juga arus kas positif. Walau valuasi sudah terbilang sangat tinggi, hal ini tidak menyurutkan minat dari calon investor untuk memiliki saham tech startup yang diprediksi akan menjadi raksasa di masa depan. Tercatat pada penutupan perdagangan hari pertama, secara rata-rata saham perusahaan tech startup naik 89% selama tahun 1999 hingga awal tahun 2000.

Fase terakhir adalah bust, di mana pelaku pasar menyadari kesalahan investasi mereka. Praktis mereka akan berbondong-bondong menjual kepemilikan saham mereka yang menekan turun harga-harga perusahaan tech startup/dot com.

Pada detik ini dapat dikatakan kepercayaan pasar mulai runtuh terhadap prospek bisnis masa depan perusahaan-perusahaan tech startup/dot com. Turunnya indeks acuan perusahaan teknologi secara drastis diikuti dengan turunnya jumlah investasi yang dilakukan perusahaan modal ventura. Pada akhirnya turut juga menekan pertumbuhan aktivitas entrepreneurship pada tech industry/dot com.

Contoh klasik dari dot com bust terjadi di Amerika Serikat pada awal tahun 2000-an. Setelah indeks NASDAQ naik secara signifikan dalam lima tahun terakhir, indeks NASDAQ jatuh 78% pada Oktober 2002. Penurunan ini secara singkat membawa indeks NASDAQ kembali ke titik awal sebelum terjadinya bubble dot com.

Pada saat itu banyak perusahaan teknologi terdampak kapitalisasi pasarnya. Perusahaan-perusahaan e-commerce seperti Pets.com, Webvan, Boo.com, Worldcom, dan Northpoint Communication pada akhirnya jatuh bangkrut. Sementara perusahaan seperti Cisco, Amazon, dan Qualcomm pada saat itu mengalami penurunan valuasi hingga 86% walaupun pada akhirnya mampu menjadi perusahaan teknologi besar.

Statistik survival tech startup yang rendah dan potensi dot com bubble kedua

Secara statistik memang tidak dapat dikatakan menarik. Survei yang dilakukan Gompers et al. (2020) menunjukkan dari 101 proposal yang masuk hanya akan ada 1 atau 2 proposal yang mendapatkan pendanaan.

Sementara itu dari 100 startup yang didanai berdasarkan survei Harvard Business Review (1996) hanya akan ada sekitar 17 startup yang akan bertahan. Dari dua survei tersebut artinya setidaknya butuh sekitar 300-600 ide/proposal yang datang dari tech entrepreneur yang dapat bertumbuh dan melantai di bursa efek dan menjadi perusahaan raksasa seperti Cisco, Amazon, Qualcomm yang bertahan dari badai dot com.

Secara umum, mendapatkan pendanaan fantastis dari modal ventura merupakan tahap awal bagi para tech entrepreneur. Selanjutnya mereka harus mampu membuktikan perusahaan mereka dapat bertumbuh dan mampu menghasilkan nilai dari operasi bisnisnya, bukan hanya sekadar valuasi bombastis yang didasarkan pada euforia semata.

Kemampuan untuk dapat agile menyesuaiakan kondisi pasar dan persaingan, bertumbuh dengan cepat, beroperasi secara efisien, hingga pada akhirnya mampu menghasilkan laba dan arus kas positif dari operasi bisnisnya mutlak diperlukan. Jika tidak, maka mereka hanya akan menjadi pelengkap statistik korban dot com bubble selanjutnya.

Tanda-tanda “the second dot com bubble” mulai terlihat. Goldman Sachs mengeluarkan sebuah indeks harga saham yang berisikan perusahaan-perusahan tech-startup yang masih merugi di Amerika Serikat. Sejak awal 2020, indeks rata-rata saham perusahaan teknologi yang merugi ini menunjukkan peningkatan sekitar 460% hingga awal 2021.

Sesuatu hal yang bertolak belakang dari catatan performa bisnisnya yang belum pernah memperoleh keuntungan dalam 4 tahun terakhir. Beberapa contoh emiten penghuni indeks ini sebut saja Spotify, Workday, Pinterest, dan Uber yang harganya sudah naik 97%, 365%, 216%, dan 62% sejak awal diperdagangkan walaupun perusahaan-perusahaan ini merugi 4 tahun terakhir.

Refleksi Indonesia

Fenomena yang hampir sama terjadi di Indonesia kendati tidak sesemarak di Amerika Serikat sekitar 20 tahun lalu. Hingga akhir tahun 2019, setidaknya sudah terdapat 8 perusahaan tech startup yang mencoba melantai di Bursa Efek Indonesia melalui registrasi pada papan akselerasi, sebuah jalur yang ditujukan untuk perusahaan rintisan dengan tingkat persyaratan yang lebih rendah.

Tahun 2017, Kioson Komersial Indonesia (KIOS), dan M Cash Integrasi (MCAS) melantai di Bursa Efek Indonesia yang kemudian diikuti oleh Distribusi Voucher Nusantara (DIVA), NFC Indonesia (NFCX), Yeloo Integra (YELO) pada 2018, dan Hensel Davest Indonesia (HDIT), Telefast Indonesia (TFAS), dan Digital Mediatama Maxima (DMMX) pada 2019.

Kedelapan perusahaan tersebut merupakan perusahaan tech startup yang mencoba melantai melalui skema akselerasi. Sebuah skema yang dikembangkan oleh Bursa Efek Indonesia khusus untuk Perseroan Terbatas yang baru berdiri dan masih boleh mencatatkan kerugian dalam proyeksi maksimum 6 tahun ke depan dan telah memiliki laporan keuangan teraudit dengan opini wajar tanpa modifikasian.

Dengan persyaratan ini maka wajar jika perusahaan tech-startup tersebut belum mampu menghasilkan keuntungan yang stabil apalagi menghasilkan arus kas positif dan stabil. Tercatat walaupun pada akhir 2019 hampir seluruh tech-startup tersebut memperoleh keuntungan kecuali KIOS, namun belum ada yang mampu mencatatkan arus kas positif dari aktivitas operasi bisnisnya kecuali YELO sebelum jatuh karena korona.

Walaupun ke delapan tech-startup belum mampu menghasilkan laba yang konsisten dan juga arus kas operasi positif, namun hal yang berbeda tercermin dalam pergerakan harga saham perusahaan-perusahaan tersebut. Sejak pencatatan pada hari pertama, tech-startup yang melantai sebelum 2019 mengalami peningkatan harga 25% dalam waktu kurang lebih 10 bulan secara rata-rata. Sedangkan tech-startup yang melantai setelah 2019 mengalami peningkatan secara rata-rata 560% dalam tempo kurang lebih 18 bulan.

Sebuah kenaikan valuasi yang luar biasa jika melihat catatan laporan keuangan yang ada. Mungkin perlu menjadi refleksi bagi para pelaku pasar utamanya investor pemula untuk menilai ulang apakah keputusan investasi mereka pada tech-startup sudah tepat atau ini hanya euforia sesaat.

Pasar modal Indonesia yang merupakan pasar emerging memiliki karakteristik yang tidak terlalu efisien jika dibandingkan dengan pasar negara maju seperti Amerika Serikat. Informasi yang bersifat material dan memengaruhi valuasi tidak dapat langsung terefleksi dalam harga saham.

Dalam keadaan seperti sangat mungkin pergerakan harga akan lebih didominasi oleh behavioural bias, seperti euforia sesaat dan promosi influencer untuk sebuah emiten saham tech-startup yang sebenarnya tidak memiliki pengaruh apapun kepada valuasi saham. Valuasi tinggi karena behavioural bias seperti ini pun cepat atau lambat akan terkoreksi saat pelaku pasar menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada tech-startup tersebut.

Namun, melantainya tech-startup pada Bursa Efek Indonesia tetaplah menjadi satu bagian siklus hidup tech-startup yang perlu dijaga agar ekosistem entrepreneurship pada bidang teknologi tetap hidup.

Initial Public Offering (IPO) sebagai salah satu alternatif exit strategy bagi industri modal ventura. IPO dari tech startup kelolaan modal ventura sangat diperlukan agar modal ventura dapat memperoleh imbal hasil yang layak. Sehingga industri ini dapat terus hidup untuk memutar uangnya kembali kepada tech entrepreneur lain yang masih menunggu giliran untuk didanai.

Dari sisi regulator pasar (BEI) dan juga otoritas OJK memiliki kepentingan untuk kepercayaan pasar. Tech-startup yang memiliki teknologi dan proses bisnis yang unik, sehingga investor ritel menghadapi risiko adverse selection karena adanya informasi asimetrik. Tech-entrepreneur dan perusahaan modal ventura yang memiliki informasi paling lengkap dari perusahaannya sangat mungkin untuk memberikan informasi material yang tidak lengkap.

BEI dan OJK perlu memastikan disklosur informasi yang optimal dari tech-startup kepada publik ketika mereka memutuskan untuk go public. Regulasi terkait dengan insider trading juga perlu diperketat untuk menjamin integritas pada pasar modal dan untuk menjaga kepercayaan pasar, seperti pemberlakuan lockup period tertentu untuk untuk tech-entrepreneur dan perusahaan modal ventura sebelum mereka dapat menjual kepemilikannya.

Pada akhirnya seleksi alam terhadap kemampuan bisnis untuk beradaptasi dengan kondisi ekternal tidak dapat terhindarkan. Tech-startup yang mampu beradaptasi, tumbuh dengan cepat dan memiliki fundamental kuat akan terus hidup. Pada akhirnya performa tech-startup tersebut akan tercermin pada valuasi harga saham yang akan terus naik yang bukan sekadar dipengaruhi oleh euforia semata.

Pertanyaannya adalah, apakah tech startup di Indonesia saat ini dapat melalui fase boom and bust-nya?


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved