My Article

Strategi Maskapai Penerbangan Bertahan di Era Pandemi

Oleh Editor
Strategi Maskapai Penerbangan Bertahan di Era Pandemi

Oleh: Dwitya Agustina, S.T., MBA, pengajar di ESQ Business School dan konsultan di ACT Consulting (ESQ Group)

Salah satu armada Sriwijaya Air

Tragedi di Awal 2021

Saat baru memasuki sepuluh hari pertama tahun 2021, industri penerbangan Indonesia sudah dikejutkan dengan sebuah berita menyedihkan. Sabtu 9 Januari 2021 penerbangan Sriwijaya 182 dinyatakan hilang dari radar, hanya dalam waktu empat menit setelah mengudara dari Bandara Soekarno-Hatta Internasional. Penerbangan tujuan Pontianak tersebut diduga mengalami kecelakaan di atas perairan laut Jawa, tidak jauh dari Kepulauan Seribu. Pesawat tersebut mengangkut 62 penumpang dan kejadian ini menambah daftar panjang kecelakaan penerbangan yang berakibat fatal dan merenggut nyawa penumpang. Seperti halnya kecelakaan Lion Air di tahun 2018, pesawat Sriwijaya SJ-182 tersebut juga berasal dari jenis Boeing generasi lama.

Berbagai spekulasi muncul terhadap dugaan penyebab kecelakaan tersebut. Meskipun hasil penyelidikan belum dikeluarkan namun salah satu indikasi yang menyeruak kepermukaan adalah kondisi keuangan Sriwijaya Air yang mempengaruhi kemampuannya dalam melakukan perbaikan dan perawatan pesawat. Mengapa hal ini menjadi ramai dibicarakan? Publik mengkaitkannya dengan berita yang muncul mengenai Sriwijaya Air pada tahun 2019-2020. Dikabarkan bahwa Sriwijaya Air telah mengakhiri kerjasamanya dengan Garuda Indonesia, sehubungan dengan konflik yang tidak dapat diselesaikan mengenai penggunaan logo.

Sejak saat itu, SriwijayaAir berupaya mencari investor yang bersedia menyuntikkan danauntuk memastikanoperasional penerbanganterus berjalan. Diperkirakan, hutang Sriwijaya Air kepada PT. Garuda Indonesia mencapai US$ 118 juta. Hal tersebut diluar hutang terhadap anak perusahaan PT. Garuda Indonesia yaitu GMF AeroAsia yang menjadi mitra Sriwijaya Air dalam perbaikan dan perawatan pesawat terbang.Sementara itu, bisnis penerbangan semakin lesu dan persaingan semakin ketat. Tentu saja Sriwijaya Air harus menanggung beban turunnya pendapatan, di samping beban hutang yang sangat besar.

Sayangnya, Sriwijaya Air tidak mengungkapkan secara terbuka laporan keuangan mereka yang terkini. Salah satu informasi yang beredar menyebutkan bahwa terjadi penurunan biaya perawatan dan perbaikanselama beberapa tahun terakhir. Terlepas dari fakat tersebut, para ahli masih memiliki keyakinan bahwa terlepas fakta tersebut, Sriwijaya Air tidak akan berkompromi terhadap keamanan dan keselamatan penumpang.

Namun keyakinan para ahli tersebut bertentangan dengan sebuah memo internal Sriwijaya Air yang bocor ke khalayak dan kemudian menjadi viral. Memo tersebut dikeluarkan oleh mantan Direktur Quality, Safety and Security Director Sriwijaya Air, Toto Soebandorodi, pada akhir tahun 2019. Di dalam memo tersebut, Toto merekomendasikan penghentian sementara operasional penerbangan karena SriwijayaAir tidak memiliki cukup peralatan dan perlengkapan yang diperlukan guna melakukan perbaikan dan perawatan pesawat terbang. Toto juga menyampaikan bahwa Sriwijaya pun tidak memiliki suku cadang dan tenaga ahli, sesuai standard yang disyaratkan oleh Kementrian Perhubungan. Lebih buruk lagi, Toto juga mengungkapkan bahwa Sriwijaya Air saat itu belum memiliki kerjasama dengan penyedia jasa perbaikan dan perawatan pesawat terbang manapun. Semua kondisi tersebut bertentangan dengan laporan yang disampaikan kepada pemerintah selama ini.

Saat ini, Toto sudah tidak lagi bergabung dengan Sriwijaya Air. Ia diminta mengundurkan diri karena satu dan lain hal yang tidak diungkap secara jelas kepada publik. Dalam kapasitasnya sebagai pengamat industri penerbangan, Toto mengungkapkan bahwa keputusan mengistirahatkan dan memarkir pesawat sementara adalah salah satu strategi maskapaiuntuk menghemat biaya. Terlebih lagi saat jumlah penumpang yang semakin menurun di kala pandemi. Hal ini adalah praktek yang dilakukanseluruh maskapai dunia yang terpaksa menutup sebagian jalur penerbangan agar dapat beroperasi dengan lebih efisien menggunakan jumlah armada yang lebih sedikit.

Dilaporkan bahwa sepanjang badai pandemi, Sriwijaya Air harus memarkir 12 pesawat dari total 18 pesawat yang dimiliki, termasuk NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air yang melayani rute regional. Pesawat Boeing 737-500 yang mengalami kecelakaan tersebut merupakan satu diantara pesawat yang sudah diparkir sejak Maret hingga Desember 2020, sesuai laporan dari Kementrian Perhubungan. Hal lain yang semakin menambah kekhawatiran adalah fakta bahwa rata-rata usia pesawat milik Sriwijaya Air sudah mencapai 17,4 tahun. Selain itu, juga diperkuat oleh peringatan yang sudah dikeluarkan oleh United States Federal Aviation Administration (FAA), bahwa pesawat Boeng yang diparkir dalam durasi lama berpotensi mengalami korosi pada suku cadangnya.

Dalam pernyataan terpisah, perwakilan Indonesian National Air Carriers Association (INACA), Denon Prawiraatmadja, meyakinkan bahwa tidak ada pengaruh secara langsung antara pendapatan maskapai dengan prosedur perbaikan dan perawatan pesawat. Menurutnya, maskapai pada umumnya sudah memiliki kontrak jangka dengan produsen pesawat untuk hal tersebut. Sriwijaya Air pun selalu melakukan pembayaran tunai untuk perbaikan dan perawatan armadanya. Maknanya, jika tidak ada kemampuan untuk membayar maka armada tidak dapat beroperasi. Dengan kata lain, apabila Sriwijaya Air masih bisa menerbangkan pesawatnya maka pastilah sudah melalui prosedur perbaikan dan perawatan yang seharusnya.

Badai Pandemi Melanda

Meskipun industri penerbangan di Indonesia berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun tetap menyisakan kekhawatiran terhadap kemampuan mereka dalam mengelola bisnis agar dapat bertahan. Kekhawatiran ini terutama berhubungan dengan keselamatan dan keamanan penumpang. Terlebih lagi saat badai pandemi melanda industri penerbangan dan mengakibatkan jumlah penerbangan turun drastis.

Praktis dalam satu tahun terakhir, masyarakat menghindari perjalanan lintas daerah juga lintas negara baik untuk niaga maupun wisata. Dengan diterapkannya berbagai pembatasan serta protokol kesehatan yang ketat, diiringi ketakutan akan penularan Covid 19, masyarakat umumnya memilih menunda atau bepergian dengan menggunakan kendaraan pribadi. Dampak pandemi terhadap kondisi kesehatan keuangan maskapai salah satunya diakui oleh PT. Garuda Indonesia yang per September 2020 sudah membukukan kerugian US$ 1,07 milyar dibandingkan keuntungan sebesar US$ 122,4 juta pada periode yang sama pada 2019. Kerugian ini diakibatkan pendapatan yang terjun bebas sebesar 67,8 persen dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan laporan keuangan yang mereka umumkan, pendapatan selama sembilan bulan di 2020 hanya mencapai US$ 1,13 miliar.

Dari laporan tersebut, dijelaskan pula bahwa biaya perbaikan dan perawatan menurun 14,3 persen menjadi US$ 337,5 juta sampai dengan quarter ketiga, dibandingkan US$ 393,5 juta pada periode yang sama di tahun 2019. Hal senada disampaikan oleh Air Asia yang sudah membukukan kerugian sebesar US$ 120,7 juta per September 2020. Angka tersebut sangat kontras jika dibandingkan keuntungan di 2019 pada periode yang sama, yaitu sebesar US$ 422 juta. Biaya perawatan dan perbaikan Air Asia pun menunjukkan penurunan sebesar 48,1 % jika dibandingkan periode yang sama pada tahun 2019.

Jika hal tersebut melanda maskapai yang lebih mapan dan besar seperti Garuda Indonesia dan Air Asia, disinyalir kondisinya lebih buruk lagi terhadap Sriwijaya Air. Belum lagi bersamaan dengan beban hutang besar yang harus ditanggung.

Efektivitas Peran Pemerintah

Situasi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan terhadap peranan pemerintah dalam memonitor kondisi keuangan maskapai penerbangan, sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia, nomor PM 18 tahun 2015 mengenai kewajiban penyampaian laporan keuangan badan usaha angkutan udara niaga. Dijelaskan pada pasal 2, bahwa setiap badan usaha angkutan udara yang memiliki surat izin usaha angkutan udara niaga dan telah melakukan kegiatan secara nyata wajib menyampaikan laporan keuangan badan usaha angkutan udara niaga kepada Menteri. Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud, disertai dengan laporan kinerja operasi dan data dukung terkait. Laporan keuangan tersebut disusun untuk periode 1 (satu) tahun dan telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar serta wajib dilaporkan setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahunberikutnya. Sedangkan pada pasal 3 peraturan tersebut dijelaskan pula bahwa laporan keuangan yang disampaikan harus memuat sekurang-kurangnya laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan laba rugi komprehensif selama periode, laporan perubahan ekuitas selama periode, laporan arus kas selama periode, dan catatan atas laporan keuangan. Disyaratkan pula bahwa laporan keuangan harus merujuk pada format Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan.

Namun pertanyaannya, apakah regulasi tersebut di atas dijalankan secara konsisten oleh Kementrian Perhubungan? Lalu mengapa sampai saat ini Sriwijaya Air masih enggan membagikan laporan keungannya kepada publik? Dan, jika Sriwijaya Air sudah melaporkannya kepada Kementrian Perhubungan sesuai regulasi, lalu bagaimana analisa serta rekomendasi yang diberikanterhadap Sriwijaya Air?

Rasio Kesehatan Keuangan Maskapai

Apabila kita merujuk pada studi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan yang lengkap dan komprehensif akan sangat membantu maskapai dalam mengukur kondisi mereka serta merencanakan strategi bisnis yang sesuai. Bukan sekedar informasi mengenai pendapatan dan keuntungan yang diperoleh namun juga analisa berbagai rasio seperti return on equity, return of investment, cash ratio, current ratio, collection period, inventory turnover, total asset turnover dan total equity to total asset. Kedelapan rasio tersebut direkomendasikan oleh Daryanto (2020) dalam studinya bertajuk“Analisa Kinerja Keuangan dan Evaluasi Industri Penerbangan Indonesia, studi kasus PT.Garuda Indonesia dalam rangka mendukung visi 2020 “Beyond The Sky”, periode 2014-2018”.

Namun, tanpa keterbukaan terhadap laporan keuangan lalu bagaimana memastikan bahwa Sriwijaya Air memiliki rasio kesehatan keuangan yang memungkinkan untuk terus beroperasi? Selain itu, dengan adanya tekanan dari sisi pendapatan, apa saja strategi yang diterapkan oleh Sriwijaya Air untuk mengelola biaya operasional dengan baik ?Tentu hal ini berlaku bukan saja kepada Sriwijaya Air namun maskapai lainnya juga di Indonesia.

Berbagai Strategi Maskapai

Beberapa studi sebelumnya terhadap industri penerbangan terutama strategi pengelolaan biaya operasional serta perbaikan dan perawatan pesawat dapat menjadi referensi. Salah satu diantaranya adalah Yu-Hern Chang (2011) yang melakukan studi dalam konteks peningkatan harga bahan bakar yang sangat siginifikan pada tahun 2008, bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi dunia. Kejadian tersebut juga memberikan dampak buruk terhadap industri penerbangan. Sesuai studi empirikyang dilakukannya terhadap salah satu maskapai penerbangan internasional yang beroperasi di Taiwan, dapat disimpulkan10 faktor yang berpengaruh signifikan terhadap strategi penghematan biaya yaitu (1) optimalisasi penentuan jalur dan jadwal penerbangan, (2) menerapkan strategi hedging terhadap pembelian bahan bakar, (3) meningkatkan kinerja pesawat dalam penggunaan bahan bakar, (4) mengurangi beban mati pesawat, (5) mengoptimalkan kecepatan pesawat terhadap indeks biaya operasional, (6) menjadwalkan penerbangan pada waktu yang optimal bagi kru agar tidak ada biaya tambahan baik itu lembur maupun akomodasi, (7) memperbaiki rute pesawat dan alternatif bandara dengan biaya lebih rendah, (8) meningkatkan proporsi penjualan tiket secara lansung, (9) mendorong pegawai untuk mengusulkan strategi cost control yang mungkin diterapkan serta (10) melakukan peremajaan terhadap pesawat yang sudah tua.

Studi lainnya dilakukan oleh Vega, Pamplona and Oliviera (2016), yang menggunakan model ekonometri untuk perhitungan biaya perbaikan dan perawatan. Studi ini menyimpulkan bahwa maskapai besar memiliki keuntungan dalam hal efisiensi biaya perbaikan dan perawatan pesawat. Sesuai skala ekonomi yang dimiliki maka biaya perbaikan dan perawatan menjadi lebih rendah seiring dengan banyaknya jumlah pesawat. Namun bagi maskapai yang tergolong menengah-kecil sangat disarankan untuk bekerjasama dengan penyedia jasa perbaikan dan perawatan pesawat agar biayanya bisa lebih ekonomis.

Sementara itu, Zuidberd (2014) melakukan studi menggunakan pendekatan berbagai parameter untuk memprediksi pengaruhnya terhadap biaya operasional maskapai. Ternyata, terbukti bahwa density, load factor, aircraft utilization dan aircraft size adalah parameter mempengaruhi. Dalam studi ini disimpulkan bahwa pesawat baru memiliki rata-rata biaya operasional yang lebih tinggi sehingga biaya kepemilikan, baik itu depresiasi maupun sewa, tidak sebanding dengan peningkatan biaya perbaikan dan perawatan pesawat yang lebih tua. Selain itu, maskapai yang memberikan layanan secara lengkap kemudian menjadi anggota aliansi maskapai dunia akan menanggung rata rata biaya operasional yang lebih tinggi dengan diterapkannya sistem multi-hub. Studi ini juga mengkonfirmasi bahwa maskapai yang memiliki posisi dominan di lokasi atau wilayah tertentu cenderung memiliki rata rata biaya operasional lebih tinggi. Hal ini di dorong olehkesempatan untuk menetapkan harga lebih tinggi, akibat minimnya persaingan, sehingga maskapai cenderung mengabaikan upaya efisiensi yang sebenarnya bisa dilakukan.

Saran dan Rekomendasi

Dari ulasan berbagai sisi di atas, berikut ini adalah beberapa hal yang dapat penulis rekomendasikan, baik kepada pemerintah maupun maskapai. Pertama, peranan Kementrian Perhubungan sebagai regulator yang mengawasi maskapai sangat penting. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia, nomor PM 18 tahun 2015harus diterapkan. Pelanggaran atas ketentuan tersebut perlu diberikan sanksi karena laporan keuangan yang lengkap dan komprehensif dapat memberikan indikasi kondisi kesehatan keuangan maskapai serta kemampuannya untuk terus beroperasi. Kedua, bukan hanya memastikan pengumpulan laporan keuangan, namun pemerintah juga harus memastikan bahwa data yang disampaikan maskapai benar dan akurat. Kemudian berdasarkan data tersebut dilakukan analisa rasio kesehatan keuangan yang menjadi dasar evaluasi terhadap izin operasi maskapai.

Sedangkan bagi maskapai, berbagai kesimpulan dari studi yang pernah dilakukan sebelumnya dapat menjadi acuan. Pertama, perhatikan kembali sepuluh faktor tersebut diatas yang sangat berpengaruh terhadap optimalisasi biaya. Kedua, bagi maskapai yang tergolong menengah-kecil sangat disarankan untuk memastikan kerjasama dengan mitra penyedia jasa perbaikan dan perawatan pesawat. Ketiga, optimalkan pesawat yang ada dengan memperhatikan density, load factor, aircraft utilization dan aircraft size. Perlu diingat bahwa investasi terhadap pesawat baru belum tentu membuat biaya lebih efisien dan waspada terhadap jeratan zona nyaman yang diakibatkan dominasi pada wilayah tertentu.

Tentu saja, siapapun berharap bahwa daftar kecelakaan pesawat di Indonesia tidak lagi bertambah. Meskipun tekananan pandemi harapannya semua maskapai masih bisa terbang tinggi dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan penumpang.

REFERENSI

Daryanto, D. P. dan W. M. (2020). Financial performance analysis

and evaluation of airline industry indonesia: case study of pt

garuda indonesia to support vision 2020 “beyond the sky” for

the period of 2014 -2018. 20(1), 10–21.

Vega, D. J. G., Pamplona, D. A., & Oliveira, A. V. M. (2016).

Assessing the influence of the scale of operations on maintenance costs in the airline industry. Journal of Transport Literature, 10(3), 10–14. https://doi.org/10.1590/2238-1031.jtl.v10n3a2

Yu-Hern Chang. (2011). Operating cost control strategies for airlines. African Journal of Business Management, 5(26), 10396–10409. https://doi.org/10.5897/ajbm11.625

Zuidberg, J. (2014). Identifying airline cost economies: An econometric analysis of the factors affecting aircraft operatingcosts. Journal of Air Transport Management, 40, 86–95.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved