My Article

Through The Eyes of Love

Through The Eyes of Love

Ada seorang wanita buta yang membenci dirinya sendiri karena kebutaannya itu. Tidak hanya terhadap dirinya, ia juga membenci semua orang di dunia ini kecuali suaminya. Suaminyalah yang selalu ada di sampingnya untuk menemani, merawat dan menghiburnya. Wanita ini berkata bahwa ia akan selalu setia mendampingi dan memberikan apa pun yang diminta suaminya jika ia bisa melihat dunia.

Suatu hari, ada seseorang yang mendonasikan sepasang mata kepadanya sehingga ia bisa melihat semua hal, termasuk suaminya. Suaminya bertanya, “Sekarang kamu bisa melihat dunia. Apakah kamu mau setia dan mendampingiku?”

Wanita itu terguncang saat melihat bahwa suaminya ternyata buta. Dia menolak untuk mendampingi suaminya. Akhirnya, suaminya pergi dengan air mata mengalir, dan kemudian menulis sepucuk surat singkat kepada wanita itu, “Sayangku, tolong jaga baik-baik mataku. Karena akulah pendonor mata itu.”

Pembaca yang budiman, ini adalah sebuah cerita cinta yang tragis dan memilukan. Bagaimana mungkin wanita ini bisa mengkhianati suaminya yang sudah berkorban begitu besar kepadanya?

Cinta sesungguhnya adalah sebuah kasih yang tulus dan tanpa syarat. Cinta yang sejati selalu bersifat memberi karena pemberianlah sesungguhnya ukuran terpenting dari cinta. Tak sekadar pemberian materi, cinta justru ditunjukkan dengan besarnya perhatian, pengorbanan dan pengabdian. Bukankah tak ada yang lebih indah dari cinta selain memberikan jiwa dan raga kita untuk orang yang kita cintai?

Maka, cinta yang sejati adalah cinta yang berawalan “me” bukan “di”. Cinta adalah mencintai, bukan dicintai. Orang yang mencintai senantiasa gandrung untuk memberi, menjaga, merawat dan menyenangkan orang yang dikasihinya. Inilah yang ditunjukkan si suami dalam cerita di atas. Namun, cinta si istri ternyata hanya cinta “di”, sebuah cinta yang berpusat pada diri sendiri.

Ketika berpusat pada diri sendiri, kita sesungguhnya sedang membangun tembok yang kokoh yang menghalangi kita dari sentuhan orang lain. Tembok ini sedemikian rapat dan tingginya sehingga membuat kita terkurung, tak mampu keluar dan melihat dari sudut pandang orang lain. Padahal, bukankah kunci dari kasih adalah kemampuan kita untuk “bertukar posisi” dengan orang lain? Bukankah langkah pertama kasih adalah memandang melalui mata orang lain, dan merasa melalui perasaan orang lain?

Kemampuan memandang melalui mata orang lain inilah yang akan menghancurkan tembok-tembok ego kita, melunakkan hati kita dan mengisi jiwa kita dengan belas kasih yang tak terhingga. Bertukar posisi akan membuat kita mampu menghayati tantangan dan penderitaan orang lain. Ini akan membuat hati kita selalu lembut, jiwa kita diguyur perasaan iba dan membuat rasa kasih memenuhi seluruh relung jiwa kita. Situasi seperti ini adalah situasi meditatif yang membuat kita selalu dalam kondisi damai, tenteram dan penuh kebahagiaan.

Namun, mempertahankan situasi meditatif semacam ini bukanlah hal yang mudah. Sebagai makhluk, kita perlu hidup, perlu eksistensi yang berarti memperhatikan diri sendiri. Kita perlu memperhatikan penampilan kita, prestasi kita, kesejahteraan kita. Tanpa memperhatikan diri sendiri, kita tak akan bisa hidup dengan layak. Namun, di sinilah terletak jebakannya. Pikiran kita hanya dapat memikirkan satu hal di satu waktu, karena itu ketika kita sedang memikirkan diri sendiri, kita akan kehilangan kesempatan untuk memikirkan orang lain. Dan ketika itulah kasih yang kita miliki akan memudar.

Saya kira di sinilah letak masalah yang melanda seluruh umat manusia. Demi menjaga eksistensinya, manusia memang perlu mementingkan dirinya sendiri, memikirkan dirinya, menjaga dirinya. Mementingkan diri sendiri ini bisa diperluas menjadi konteks keluarga, masyarakat, perusahaan, bangsa dan negara. Akan tetapi, intinya tetap sama, yaitu menjaga kepentingan kita sendiri. Dan ketika mementingkan diri sendiri menjadi agenda utama kita, akan lahir situasi “I vs. you” atau “us vs. them”.

Ketika pikiran kita dipenuhi kedua paradigma ini, kita akan sulit mengasihi. Kita akan masuk ke dalam tembok-tembok yang kita buat sendiri. Kita akan merasa berbeda dari orang lain, kita akan merasa lebih penting dari orang lain, kita akan bersaing dengan orang lain. Perasaan-perasaan ini bertentangan dengan kasih. Kasih justru adalah merasakan kesamaan dan kebersamaan. Kasih merasakan bahwa kita tidaklah berbeda dari orang lain.

Ketika kita melihat dunia dengan kacamata kepentingan, dunia akan terlihat rumit, ruwet, penuh dengan masalah dan jauh dari kebahagiaan. Melihat dengan kacamata kepentingan akan membuat kita merasa takut dan cemas. Kita takut target kita tidak tercapai, kita takut kepentingan kita terganggu, kita takut kalah, takut dirugikan. Semakin besar perasaan takut kita, semakin besar pula perhatian kita kepada diri kita sendiri. Dan semakin besar perhatian kita kepada diri sendiri, semakin besar pula perasaan takut kita. Lingkaran setan ini akan selalu membelit kita dan tak mudah diputuskan.

Maka, yang perlu dibangun sesungguhnya adalah kesadaran. Kesadaran bahwa tanpa sengaja kita sering membangun tembok yang tinggi, kesadaran bahwa banyak waktu yang kita habiskan untuk memikirkan kepentingan kita sendiri. Mementingkan diri sendiri memang merupakan keniscayaan hidup, sebuah hukum alam dan fitrah yang dilakukan siapa saja agar bisa hidup. Namun, hal ini memberikan dampak negatif, yaitu hilangnya sensitivitas, tumpulnya rasa kasih, dan kerasnya hati.

Agar hal itu tidak terjadi, kita perlu membangun kesadaran untuk selalu keluar dari tembok ini dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ini akan membuat kita melihat dunia dengan mata yang penuh cinta.

Arvan Pradiansyah Happiness Inspirer Pertama di Indonesia Managing Director Institute of Leadership & Life Management (www.ilm.co.id) Follow @arvanprawww.arvanpradiansyah.com

*) Penulis best seller The 7 Laws of Happiness & narasumber talkshow Smart Happiness di SmartFM Network.

Artikel ini diambil dari Rubrik “Pernik” Majalah SWA


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved