My Article

Unicorn, (Bukan) Sekadar Online-Online

Unicorn, (Bukan) Sekadar Online-Online

Oleh: Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn,Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Seberapa besar peranan unicorn, perusahaan rintisan berplatform digital yang memiliki nilai valuasi diatas USD 1 miliar di era revolusi industry 4.0? Mengacu pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI per 2018 bahwa unicorn mampu menarik Foreign Direct Investment ke Indonesia sebesar USD 2 miliar-2,5 miliar per tahun, dan diperkirakan akan naik 15 – 20 persen per tahun selama tiga sampai lima tahun mendatang.

Unicorn mampu menarik modal asing ke dalam negeri dan membawa dampak positif yakni menggerakkan perekonomian Indonesia. Modal asing yang ditanamkan pada perusahaan rintisan (unicorn) di Indonesia tidak perlu menjadi kekhawatiran bahwa kelak akan didominasi oleh asing, justru arus modal asing di tahun-tahun awal beroperasinya unicorn di Indonesia akan mampu dapat menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi, selain bergantung pada APBN, investasi dalam negeri maupun pendapatan dari sisi ekspor.

Kehadiran unicorn juga mampu membawa dampak multiplier bagi pertumbuhan dan pemerataan perekonomian seperti misalnya mampu menyediakan lapangan pekerjaan sekaligus menyerap tenaga kerja dalam jumlah masal sehingga mengurangi angka pengangguran secara signifikan, mempercepat arus distribusi barang dan jasa dari produsen pada konsumen dan mengurangi biaya logistik. Kehadiran unicorn ini selain mampu menggerakkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi juga mampu memberdayakan masyarakat menuju kemandirian ekonomi.

Khasali (2017), menjelaskan bahwa perusahaan start-up (rintisan) dipandang sebagai cara mengoptimalkan bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia, yakni dengan mengoptimalkan generasi milenial yang kini menjadi angkatan kerja paling produktif dengan sebaran sebanyak 40-45 persen dari total penduduk Indonesia. Unicorn sebagai perusahaan start-up (rintisan) dipandang cocok dengan karakter generasi milenial disamping memang memudahkan seluruh masyarakat dengan platform digital yang mengutamakan platform digital dengan kecerdasan buatan dan konektivitas.

Meskipun unicorn telah menunjukkan banyak kontribusi, kekhawatiran akan eksistensi unicorn sebagaimana disampaikan Capres (Calon Presiden) 02 dalam menanggapi pertanyaan Capres petahana terkait road map atas unicorn di Indonesia, sebenarnya dalam hal ini cukup beralasan. Meskipun Capres 02 seharusnya dapat mengemas melalui bahasa yang lebih konstruktif dan lebih mudah dipahami. Mengapa kekhawatiran Capres 02 memiliki alasan yang logis? Jawabannya adalah unicorn di Indonesia belum diatur dalam regulasi yang memadai.

Meskipun unicorn memiliki banyak aspek tapi kini satu-satunya regulasi yang mendasari operasional unicorn sebagai perusahaan rintisan adalah UU ITE, padahal UU ITE tidak secara khusus (bukan sebagai lex specialis) yang mengatur mengenai seluruh aspek tata kelola unicorn di Indonesia. Belum lengkapnya regulasi yang memayungi unicorn ini berdampak pada kekhawatiran akan arah bisnis unicorn maupun kepastian usaha dari perusahaan rintisan itu sendiri.

Menata Regulasi

Potensi unicorn di Indonesia memang harus dioptimalkan, tetapi dalam hal ini bahwa menggunakan UU ITE saja sebagai payung usaha rintisan tidaklah cukup memadai untuk menjawab berbagai kekhawatiran, sebagaimana kekhawatiran yang disampaikan oleh capres 02 pada acara debat Capres putaran kedua yang lalu. Regulasi yang diperlukan adalah regulasi yang menguntungkan dan melindungi semua pemangku kepentingan, selain itu regulasi yang hendak dibuat harus diarahkan pada peningkatan daya saing, bukan sebaliknya regulasi yang menciptakan business interruption atau entry barrier yang baru.

Setidaknya ada lima hal yang perlu diatur dalam regulasi terkait penguatan usaha rintisan bernilai valuasi diatas USD 1 miliar. Yakni pertama adalah aturan investasi, termasuk dalam hal ini perlu diatur porsi kepemilikan asing, kedua regulasi mengenai merger dan akuisisi dalam kaitannya dengan regulasi antimonopoli dan persaingan tidak sehat. Ketiga, ketentuan mengenai asuransi barang dan jasa, keempat adalah regulasi terkait perlindungan konsumen dan kelima adalah terkait perpajakan jual-beli barang secara online.

Pertama, perlu dikaji kembali dalam daftar negatif investasi (DNI) mengenai porsi kepemilikan PMDN dan porsi asing. Pemerintah sebagai regulator harus mengkaji profil kepemilikan asing pada unicorn Indonesia yang saat ini beroperasi. Pembatasan maupun pengurangan porsi kepemilikan asing pada unicorn di Indonesia akan berisiko mengakibatkan unicorn Indonesia ‘layu sebelum berkembang’, yakni disaat rintisan Indonesia masih memerlukan modal asing untuk berkembang namun jika kepemilikan dibatasi akan menyebabkan pertumbuhan dan operasional unicorn-unicorn Indonesia terganggu.

Sebaliknya, jika unicorn-unicorn Indonesia dikuasai asing melalui PMA, maka akan menciptakan ketergantungan terhadap modal asing dan juga persaingan untuk mengembangkan unicorn dalam negeri semakin berat. Idealnya dalam menimbang equilibrium PMA dan PMDN pemerintah sebagai regulator harus berpijak pada model relasi koopetisi pada PMA dan PMDN. Sebagaimana diuraikan Deaux,Dane & Wrightman (2003), dalam bukunya From Competition to Coopetition, bahwa coopetition adalah sebuah strategi yang menitikberatkan pada kerjasama disamping persaingan untuk mencapai keuntungan bersama (mutual benefit).

Kedua, jika unicorn-unicorn di Indonesia didesain menuju decacorn maka tentu akan terjadi banyak corporate action khususnya merger dan akuisisi antar perusahaan unicorn untuk memperkuat permodalan, jaringan distribusi dan logistik maupun merger dan akuisisi dalam rangka memperkuat pangsa pasar.

Terkait dengan hal ini perlu diatur aturan khusus terkait merger dan akuisisi unicorn, karena UU nomor 5 tahun 1999 didesain untuk industri konvensional dan tidak didesain untuk industri berplatform digital, seperti misalnya tafsir ketentuan penguasaan pasar dominan dalam usaha yang konvensional tentu berbeda dengan usaha berplatform digital yang mengandalkan kecerdasan buatan dan konektivitas seperti unicorn, sehingga dalam hal ini pemerintah perlu melengkapi dengan regulasi yang bersifat khusus (lex specialis).

Ketiga, perlu dibuat regulasi khusus terkait asuransi barang dan jasa mengingat dalam hal ini penjual dan pembeli bertemu secara virtual dengan melalui platform digital yang disediakan oleh rintisan tersebut. Guna melindungi semua pihak operasional unicorn perlu dilengkapi dengan asuransi yang secara khusus didesain sesuai resiko pada business model berplatform digital.

Klausula asuransi yang ada dalam KUHD maupun aturan perasuransian lainnya tidak dapat mencakup dan menguraikan resiko pada business model berplatform digital sehingga acapkali klaim asuransi tidak dapat digunakan karena deskripsi resiko pada asuransi berbeda dengan risiko aktual pada business model berplatform digital.

Keempat, perlu dibuat aturan khusus terkait perlindungan konsumen, mengingat dalam business model unicorn pembeli dan penjual bertemu secara virtual maka perlu dibuat aturan khusus yang lebih melindungi konsumen, mengingat UU 8 tahun 1999 tidak didesain untuk transaksi virtual, sehingga akan menyulitkan pengawasan maupun penegakan hukumnya.

Perlu dibuat aturan khusus sebagai lex specialis dari UU 8 tahun 1999 yang dapat menterjemahkan perlindungan hak-hak konsumen maupun kewajiban pelaku usaha pada transaksi berbasis digital. Dalam memperkuat unicorn Indonesia perlu diperhatikan pemenuhan dan perlindungan hak-hak konsumen, mengingat jika hak-hak konsumen terabaikan maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap transaksi virtual berbasis digital maka kondisi ini dapat mengancam pertumbuhan unicorn-unicorn Indonesia.

Kelima, terkait perpajakan pada transaksi jual beli online perlu dipertimbangkan formula dan besaran yang tepat sehingga tidak akan menurunkan minat dan daya beli maupun daya saing. Sebaliknya negara mendapat pemasukan dari pajak yang disumbangkan oleh para unicorn secara proporsional dan berkesinambungan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved