My Article

Utang Korporasi: Ungkitan atau Hantu

Oleh Editor
Utang Korporasi: Ungkitan atau Hantu

Oleh: Profesor Bramantyo Djohanputro – Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Prof. Bramantyo Djohanputro, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Obrolan sekitar utang korporasi tidak segencar utang negara atau pemerintah, paling tidak di dunia media sosial. Banyak alasannya, antara lain utang negara berdampak kepada semua warga jadi semua orang ingin tahu. Alasan yang lebih banyak kalau di media sosial adalah, bagian hangat dari perbincangan politik. Terkadang bukan masalah benar atau tidak argumentasi dan data yang digunakan, yang penting ambil posisi politis: pro atau against.

Alasan tersebut tidak lazim digunakan di dunia pinjam-meminjam korporasi. Paling tidak, tidak lazim di media sosial. Bila mendiskusikan utang korporasi, biasanya didorong oleh rasa ingin tahu berdasarkan pemikiran rasional. Kalau pun ada pro-kontra, biasanya yang diskusi adalah para akademisi atau praktisi untuk membahasnya dari sisi konseptual atau akademis.

Untuk mendiskusikan konsep dan landasan teori korporasi berutang. Kalau ada masyarakat berdiskusi utang korporasi di media sosial di luar konsep dan teori, biasanya didorong oleh rasa khawatir terhadap utang, apalagi saat krisis. Itu masih wajar, karena utang mengandung risiko, salah satu sisi dari konsekuensi berutang.

Sepertinya halnya utang negara, utang korporasi pun mengandung dua sisi, yakni membantu korporasi dalam mendongkrak kinerja dan sekaligus bisa menghantui korporasi pada kondisi tertentu.

Yang dimaksudkan utang di sini adalah dana yang diterima dan digunakan oleh korporasi dengan segala bentuknya yang mengikat dan mewajibkan korporasi untuk mengembalikan pokok dana tersebut beserta imbal hasilnya, baik yang dinamakan bunga maupun dengan nama lain.

Utang korporasi membantu korporasi karena bisa mengungkit kinerja, me-leverage. Intinya, dengan modal sendiri, atau ekuitas yang terbatas, korporasi bisa meningkatkan kinerja lebih dari kemampuannya karena bantuan utang.

Tentu kinerja bisa diukur dalam beberapa dimensi, mulai dari mengembangkan cakupan kegiatan, jumlah jualan, banyaknya karyawan, jumlah pabrik dan saluran distribusi, dan sebagainya. Semua butuh dana, dan utang membantu mewujudkan hal-hal tersebut.

Salah satu ukuran kinerja tersebut adalah laba bersih. Semakin banyak utang, selama utang tersebut membantu mengungkit kinerja korporasi, maka laba bersih meningkat. Misalnya, perusahaan yang memiliki ekuitas seratus miliar, tanpa pinjaman bisa menjual produk senilai 250 miliar rupiah. Bila laba operasi korporasi tersebut adalah 20%, maka laba operasinya adalah 50 miliar rupiah, yaitu 20% dari 250 miliar.

Bila pajak badan korporasi 25%, maka pajak yang dibayarkan adalah sebesar 25% dari 50 miliar, yaitu 12,5 miliar rupiah. Dengan demikian, laba bersih korporasi tersebut adalah sebesar laba operasi dikurangi pajak, 50 miliar rupiah dikurangi 12,5 miliar rupiah, atau sama dengan 37,5 miliar rupiah.

Dalam mengukur kinerja, korporasi menggunakan rasio keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat membandingkan kinerja dengan korporasi lain yang sejenis. Karena kalau menggunakan rupiah, perbandingan tidak adil, tidak fair.

Perusahaan yang ukuran asetnya 100 miliar tidak dapat dibandingkan keuntungan rupiahnya dengan perusahaan yang ukuran asetnya 500 miliar. Oleh karena itu menggunakan persentase. Untuk menghilangkan efek dari ukuran korporasi, size effect. Salah satunya adalah menggunakan rasio antara laba bersih terhadap ekuitas, ROE, return to equity. Untuk perusahaan di atas, ROE-nya adalah 37,5 miliar dibagi 100 miliar rupiah, atau sama dengan 36,5%.

Bayangkan perusahaan menambah modal dengan utang sebesar 100 miliar rupiah di tahun kemudian. Dengan demikian total modal korporasi menjadi 200 miliar, yaitu 100 miliar dari ekuitas dan 100 miliar dari pinjaman. Catatan, anggap saja laba bersih yang 37,5 miliar tadi dibagi semua dalam bentuk dividen, sehingga tidak menambah ekuitas perusahaan.

Dengan modal yang menjadi dua kali lipat tersebut, perusahaan mampu meningkatkan penjualan dengan tingkat keuntungan yang setara. Bayangkan lagi, perusahaan dapat memperoleh penjualan sebesar 500 miliar rupiah. Dengan struktur biaya yang sama dengan saat sebelum pinjaman, maka laba operasi sebesar 20%, atau setara dengan 100 miliar. Catatan tambahan, semakin besar korporasi sebenarnya mampu meningkatkan efisiensi. Itu pada umumnya. Jadi laba operasi bisa lebih besar dari 100 miliar rupiah.

Jadi, misal mampu menghasilkan laba korelasi 100 miliar rupiah saja. Perusahaan mesti membayar bunga atau imbal hasil kepada kreditor atau pemberi utang. Kalau bunga atau imbal hasil sebesar 10% dari dana pinjaman, maka yang dibayarkan tersebut sebesar 10 miliar. Dengan demikian laba setelah bunga, yaitu laba operasi dikurangi beban bunga, sama dengan 90 miliar. Dan mesti membayar pajak badan korporasi. Dengan pajak sebesar 25% dari laba setelah bunga, maka besarnya pajak adalah sebesar 22,5 miliar. Sehingga laba bersih sebesar 67,5 miliar rupiah.

Bayangkan, dengan ekuitas 100 miliar rupiah, dengan bantuan pinjaman 100 miliar rupiah, maka laba bersih menjadi 67,5% rupiah. Dengan demikian, ROE menjadi 67,5%. Naik jauh lebih tinggi dari ROE tanpa pinjaman. Inilah leverage atau ungkitan, dari utang.

Sisi lain dari utang adalah momok, seperti hantu. Ini bisa muncul saat terjadi krisis. Ada beberapa macam krisis yag dihadapi korporasi. Bisa krisis internal korporasi, krisis industri, krisis rantai pasok logistik, pergeseran kondisi makro, sampai krisis ekonomi.

Tulisan kali ini tidak membahas bagaimana detail dari berbagai krisis tersebut. Mudah-mudahan lain kali akan muncul hal-hal tersebut.

Cukup dituliskan di sini, krisis tersebut berdampak pada turunnya profitabilitas, turunnya laba. Itu bisa terjadi antara lain karena turunnya tingkat penjualan. Bayangkan setelah korporasi meminjam 100 miliar rupiah seperti cerita di atas tiba-tiba ekonomi lesu dan memasuki masa siklus kontraksi ekonomi, masuk ke dalam resesi sepuluh tahunan, atau menghadapi pandemi seratus tahunan.

Penjualan langsung drop, harapan penjualan naik dari 250 miliar ke 500 miliar rupiah malah turun, misalnya menjadi 200 miliar. Hanya mencapai 80% dari penjualan sebelumnya, tanpa disajikan apa dampaknya terhadap laba operasi dan laba bersih di tulisan ini, Anda bisa mencoba otak-atik angka berapa ekspektasi laba bersih. Celakanya, laba operasi bisa begitu rendahnya, apalagi kalau korporasi tidak mampu mengendalikan biaya, bisa-bisa laba operasi tidak cukup untuk membayar bunga atau imbal hasil ke kreditur, dampaknya laba bersih bisa negatif.

Oleh karena laba bersih bisa negatif, maka pimpinan korporasi perlu mengambil langkah-langkah penting supaya laba negatif tersebut jangan sampai terjadi. Maka dilakukan berbagai inisiatif, salah satunya adalah efisiensi, penghematan biaya operasional, sampai pengurangan tenaga kerja atau karyawan. Dan ini yang selalu menjadi dampak yang paling tidak diinginkan oleh korporasi, karyawan, sampai pemerintah.

Saya rasa cukup sampai di sini bicara hantu dari utang korporasi, sebelum menjadi horor dan menakutkan semua orang.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved