Profile

Alfi Irfan Bangun Simbiosis Mutualisme dengan Petani

Alfi Irfan Bangun Simbiosis Mutualisme dengan Petani

Berangkat dari hasil riset tentang kondisi pertanian di Indonesia, Alfi Irfan memantapkan keinginannya untuk menjadi seorang social entrepreneur. Di saat banyak anak muda yang tidak melirik bidang pertanian, ia justru memperlihatkan bahwa pertanian itu tidak sekadar mencangkul dan membajak sawah.

Risetnya dimulai tahun 2014 untuk mendirikan Agrisocio. Ketika itu ia melakukan wawancara sederhana dengan para petani wanita di desa sekitar Bogor, mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi, dan mencari informasi mengenai adopsi di bidang teknologi pertanian.

Hasilnya, ia menemukan bahwa permasalahan pertanian di Indonesia mayoritas berkaitan dengan bidang ekonomi dan sosial. Sebesar 82 persen petani kekurangan modal untuk mengelola lahan dan kegiatan paska panen. Sebagai alternatif, mereka harus meminjam modal ke bank keliling. Pilihan lainnya menjual hasil panen dengan harga murah ke tengkulak.Ia melihat bahwa dalam hal ini bukan membicarakan pemeretaan kesejahteraan tetapi pemusatan kesejahteraan.

Alfi Irfan, CEO Agrisocio

Alfi Irfan, CEO Agrisocio

“Sisi lain kami ada lihat peluang besar. Kebetulan saya kuliah di IPB, sehingga mendapat banyak informasi pertanian. Saya temukan ada gap antara peluang dengan realita yang dialami petani. “Kenapa Agrisocio berdiri? Kami mencoba untuk memperkecil gap tersebut menjadi hal yg memberi banyak peluang dan nilai tambah. Ya semacam efek bola salju,” ungkap pria lulusan Ekonomi Sumberdaya Lingkungan, IPB ini.

Setelah ia menemukan bahwa sebanyak 92 persen ibu-ibu di Desa Ciampea tidak memiliki pekerjaan, ia pun memutuskan untuk merekrut mereka untuk memproduksi hasil pertanian menjadi olahan yang memiliki nilai tambah.

Meyakinkan masyarakat petani bukan sesuatu yang mudah. Awalnya ia mendekati satu orang dari masyarakat yang saat ini menjadi ketua kelompok wanita. Untuk memilih tim produksi, proses seleksi pun dilakukan. Mereka sama sekali tidak mengetahui proses produksi hingga packaging.

Dalam program manufacturing ini, ia memberi pelatihan mengenai hard skill sekitar satu hingga dua bulan, seperti cara memilih hasil panen yang baik hingga mengolahnya menjadi produk siap jual. Selain itu mengadakan pelatihan manajemen waktu untuk mengasah soft skill.

Produksi Bernilai Tambah

“Agrisocio memiliki lahan. Sedangkan untuk produksi, kami butuh role material singkong untuk King Chips dan rempah-rempah untuk produk Indo Rempah, dimana bahan baku kami dapatkan dari petani. Kami beli hasil panen mereka di atas harga pasar, yaitu Rp 2300/kg singkong. Begitupun dengan rempah-rempah,” ujarnya.

Pada awal mula penjualan, ia menerapkan sistem profit sharing. Hal ini karena saat itu produk belum banyak diketahui sehingga penjualan belum tinggi. Lambat laun, ia merasa sistem tersebut tidak efektif dan tidak memberi peningkatan pendapatan bagi ibu-ibu tani. Ia pun melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga untuk investasi mesin, kolaborasi di bidang pemasaran, research & development, dan lain-lain.

Strategi promosi pun dilakukan melalui harga. Untuk penjualan dalam negeri, Indo Rempah dijual seharga Rp 15 ribu dan King Chips Rp 7 ribu. Strategi lain pun dilakukan yaitu aktif mengikuti berbagai event, sistem beli satu gratis satu. Sedangkan untuk promosi melalui iklan, ia dan tim sedang melakukan pemetaan di saluran yang pasarnya tergolong strategis, dimana sifatnya lebih unntuk brand awareness.

Profitable Agricultural Business, produk Indo Rempah

Profitable Agricultural Business, produk Indo Rempah

Untuk penjualan offline, kedua produk dijual di 117 outlet baik modern retail maupun toko oleh-oleh. Selain itu melalui reseller yang terdapat di wilayah Bogor, Surabaya, Bandung, Pandeglang, Medan, dan Jakarta. “Kami juga menjual melalui online melalui BukaLapak.com. Respon baik sehingga banyak purchasing yang terjadi. Di e-commerce kami memberi diskon 10 persen hingga 20 persen,” katanya.

Ia mengatakan hasil kerja keras petani dan tim Agrisocio membuahkan hasil. Hingga kini, ia dan tim berhasil memperoleh omset rata-rata Rp 20 juta-Rp 30 juta per bulan. Ia berharap 3 tahun ke depan, produknya dapat menembus pasar ekspor.

Pencapaian Agrisocio

Memasuki tahun keduanya, berbagai prestasi pun didapatkan. Saat ini Agrisocio sudah memiliki 10 ibu-ibu binaan di rumah produksi, terhubung dengan 43 kelompok tani dengan sekitar 600 buyer terhitung per September 2015. Selain itu daerah binaan yaitu Desa Cibanteng dan Desa Benteng, Bogor menjadi desa percontohan tingkat nasional.

Dari seluruh pencapaian tersebut, menurutnya yang paling besar adalah Agrisocio dapat bertahan. “Social enterprise di satu sisi bertujuan untuk meningkatkan profit tetapi juga bagaimana menghasilkan social impact terhadap masyarakat. Kelompok binaan kami disini masih memiliki ketergantungan, karena memang termasuk baru terbentuk. Ke depannya mereka akan semakin terlatih dan tujuan kami agar petani bisa mandiri,” tutup pria berusia 24 tahun ini. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved